3. Kampus

2 0 0
                                    

Pukul dua pagi, Kanaya menggerutu pelan karena petugas keamanan sudah koar-koar membangunkan para santri untuk sholat tahajud. Gadis itu menggeliat dengan mata yang sayup-sayup terbuka.

"Masih pagi juga! Itu mulut sama tangan apa nggak bisa diem ya?" Gadis itu turun dari ranjang susun dengan perasaan berkecamuk, mengikuti teman satu kamarnya keluar.

"Lo pagi-pagi ngapain sih? Ini masih gelap banget, mulut lo itu berisik banget tau nggak?"

"Kamu siapa? Santri baru?"

Kanaya memutar mata, menatap malas dua perempuan yang menggunakan baju gamis lebar dan hijab panjang  berwarna hitam, serta mukena putih di tangan mereka.

"Iya," jawabnya ketus. "Berisik tau nggak, kalo mau sholat ya sholat aja. Nggak usah bikin keributan di kamar orang. Nggak tau apa, orang lagi enak-enak tidur."

Salah satu di antara mereka berdua tentu saja tidak terima. Ia menatap Kanaya tajam. Bagaimana bisa santri baru berani melawannya? Kanaya tidak tahu saja siapa dirinya.

"Maaf ya, Mbak."

"Gue bukan mbak-mbak."

Perempuan itu berdecak. "Mending kamu ambil mukena sama sajadah dan berangkat ke masjid buat sholat tahajud berjamaah. Saya nggak punya waktu buat ladenin omongan kamu. Cepet, sebelum saya memaksa kamu."

Kanaya mencebik, bahkan ia keluar asrama dengan baju tidur dora emon pendek. Hijabnya saja entah ke mana, kini rambut panjangnya menjuntai, tidak peduli jika dirinya sekarang jadi pusat perhatian.

"Gue udah bilang, kalo mau sholat ya sholat aja. Nggak usah maksa orang. Apalagi ini sunah. Mending lo pada pergi sana, gue mau tidur. Satu lagi, pelanin suara lo."

"Nggak bisa gitu. Semua santri yang udah di sini, harus ikut peraturan yang ada di sini. Termasuk santri baru sekalipun." Perempuan itu mencoba untuk tetap sabar, masih terlalu malam untuk berteriak marah.

Kanaya mengusap wajahnya kasar. "Iya! Iya! Lo bawel banget."

Meskipun kesal, Kanaya kembali memasuki kamar dan mengambil mukena. Tidak lupa mengganti pakaiannya dan memakai hijab pendek. Ah, dia masih waras untuk berkeliaran tanpa hijab di lingkungan alim seperti ini.

Selama perjalanan menuju masjid yang tidak jauh dari asrama putra. Gadis itu menangkap sosok familiar. Ia memusatkan perhatiannya, dilihat-lihat lelaki itu tampan juga apalagi waktu senyum seperti sekarang. Lesung pipi yang tercetak jelas di kedua pipinya, membuat kesan manis lelaki itu bertambah. Kanaya dapat melihat jelas, meskipun pencahayaannya samar-samar.

Semakin lama semakin dekat, Kanaya tidak juga beranjak dari posisinya. Ia malah dengan berani menyapa, seperti orang bodoh.

"Eh lo! Yang tadi siang! Aduh namanya siapa ya, gue lupa! Oh iya, Farhan!"

Yang dipanggil reflek menoleh dengan dahi berkerut. Ia menunjuk dirinya sendiri dengan tatapan bingung. Kanaya tampak gemas, langsung saja ia mengangguk. Langkah Farhan agak ragu, menghampiri Kanaya. Memberi isyarat pada temannya untuk ke masjid duluan.

"Maaf ada apa ya?"

Kanaya terdiam sebentar, mengamati lelaki tersebut. "Nggak apa-apa, gue cuma kenal lo di sini."

Gadis itu mendekat, membuat Farhan reflek mundur. "Is lo kenapa sih? Nyebelin banget tau nggak? Kemaren nggak mau natap gue, sekarang malah mundur pas dideketin. Mata lo buta apa gimana? Ini orang cantik nggak akan buat lo alergi."

Kanaya mengusap dadanya sabar, yang seharusnya dilakukan Farhan karena posisi lelaki itulah yang terancam.

"Sebaiknya ke masjid, sholat sudah mau dimulai."

Kanaya menghembuskan napas panjang, tatapan gadis itu berubah sendu. Ia menggeleng ringan, "Farhan tolongin gue ya? Gue kangen sama orang tua gue. Tolong telpon mereka ya? Ponsel gue disita."

Farhan bergeming. Menatap ujung sendalnya, kemudian memberanikan diri menatap netra kecoklatan milik Kanaya. Sepertinya Kanaya benar-benar ingin menghubungi orang tuanya,  meskipun baru beberapa jam ditinggal. Namun, Farhan menggeleng. Takut nanti Kanaya jadi keterusan, dan membuat iri santri lainnya.

"Nggak bisa. Saya permisi dulu, Assalamualaikum."

Kanaya ingin menahan lelaki itu pergi, tetapi percuma, perasaanya berkecamuk menahan amarah. Giginya bergemelatuk seakan-akan siap memakan apa saja yang melewatinya.

"Sial! Jadi cowok pelit amat sih! Jangan sampai gue punya laki kayak lo! Gila lama-lama gue makan ati!"

*           *           *             *                *

"Ini kampus isinya orang alim semua apa tah?" Gadis itu bergumam, sambil berjalan menyusuri lorong menuju kelasnya yang tadi sudah diarahkan oleh pihak kampus.

"Eh! Tol—"

"Astagfirullahaladzim."

Reflek Kanaya membekap mulutnya yang hampir saja keceplosan berkata kasar. Dengan pelan gadis itu meniru ucapan lelaki yang tak sengaja ia tabrak. "Astagfirullahaladzim"

Gadis itu mendongak, ketika lelaki yang ditabraknya mundur beberapa langkah.

"Lain kali kalau jalan liat-liat. Biar tidak terjadi hal seperti ini lagi. Kanaya, kelas kamu kelewatan. Oh iya, lain kali juga jangan berkata kasar karena ini bukan lingkungan yang sembarangan."

Bukannya mendengarkan lelaki itu berbicara. Kanaya justru menatap sosok di depannya dari atas sampai bawah. Penampilan Farhan jauh berbeda dengan di pondok. Sekarang, lelaki itu mengenakan kemeja hitam dan celana senada. Rahangnya tegas, terlihat begitu berwibawa. Perawakannya tinggi, dan tubuhnya terlihat lebih berisi.

Ia menelan ludah susah payah. "Farhan? Lo kuliah di sini juga?"

Kanaya memukul kepalanya pelan, dia merasa bodoh karena sudah bertanya demikian. Belum mendapat jawaban, gadis itu menyengir. "Ya, ya pastilah. Kan kita satu pondok. Bahasa lo kok beda banget sih di pondok sama di kampus. Oh emang aturannya gitu ya? Apa gue juga harus gunain bahasa baku sama non baku?"

"Eh btw, lo ambil kelas apa?"

Farhan menggeleng pelan, menyadari Kanaya tidak memberinya kesempatan untuk menjawab pertanyaan beruntun gadis itu.

"Gue tanya sama lo, bukan sama setan. Jadi jawab dong! Gue rese gini, karena cuma lo yang gue kenal!"

"Nanti juga kamu tahu. Oh iya, tadi orang tua kamu telpon. Kalau mulai sekarang saya yang akan mengawasi pergerakan kamu. Kamu tidak bisa kabur dari saya."

Lelaki itu menyugar rambutnya, "Mama kamu juga bilang, kamu tidak boleh pergi setelah jam kuliah selesai. Ya, itu juga salah satu peraturan pondok sih."

Kanaya melotot tak suka, ia juga mendengkus kasar. Bibirnya merenggut masam.

"Terus lo nurut sama Mama gue?"

Farhan mengangguk cepat. "Sudah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi? Saya pergi dulu. Ingat, selesai kelas harus kembali ke asrama."

Kanaya mengepalkan tangannya, "Lo nggak bisa ngatur gue! Bodoamat, sama peraturan nggak jelas itu!"

Ia maju selangkah, lebih dekat dengan Farhan. Membuat lelaki itu reflek menunduk dan mengucapkan istighfar.

"Kalo lo yang ngawasin pergerakan gue, itu namanya modus!" Kanaya berteriak kencang. "Eh gue lagi ngomong nggak usah nunduk! Gue juga bukan setan yang setiap ketemu gue lo harus istighfar!"

Farhan menutup telinganya, berjalan mundur dan mengambil langkah berbalik menjauhi gadis itu. Jika terus bersama Kanaya, maka dirinya tidak akan aman.

Kekesalan Kanaya bertambah berkali lipat, ia menghentakkan kakinya. "Farhan sialan! Awas aja lo kalo ketemu lagi! Dasar cowok sok berkuasa! Udah gila kali lo baru kenal ngawasin gue!"

Kanaya tidak peduli, walaupun ia kembali menjadi pusat perhatian. Baru satu hari tinggal di sini, rasanya ingin menangis dan pulang saja.



KanayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang