7. Warung Nasi Padang

1 0 0
                                        

Kanaya bersembunyi di balik tikungan koridor, ketika Farhan berjalan ke arahnya. Kanaya berdoa, semoga lelaki itu tidak melihatnya di sini.

Kelas sudah berakhir lima menit yang lalu, itu artinya ia harus segera kembali ke asrama. Tetapi namanya juga Kanaya, ia tidak ingin buru-buru kembali ke sana. Gadis itu justru keluar dari kampus, dan melipir di pinggir jalan. Ia tersenyum, melihat warung nasi padang di depan sana.

Sesampai di warung tersebut, Kanaya bernapas lega. Ia meletakkan tasnya, hari ini ponsel tidak diberikan. Padahal Kanaya sangat membutuhkan itu untuk mencari akun media sosial milik teman-temannya, terutama Sagara. Ia berusaha untuk mengabaikan keinginannya. Gadis itu justru memesan satu porsi nasi padang dan satu gelas teh hangat.

Ia menyantap dengan lahap, tidak peduli jika nanti ada yang menciduknya karena sudah membatalkan puasa di siang hari. Ya, Kanaya sedang puasa senin kamis, rutinitas dari pondok katanya. Tetapi ia tidak betah, jika bukan puasa wajib bulan Ramadhan.

Kanaya memang orang kaya, tetapi ia selalu suka makanan-makanan di pinggir jalan. Baginya, itu sangat enak tidak jauh berbeda dengan makanan di kafe dan restoran terkenal. Menurutnya ya.

"Enak banget ya makannya?"

"Enak banget! Lo harus co—"

Kanaya tersedak ketika menyadari siapa yang bertanya. Di  depannya Farhan geleng-geleng kepala. Kali ini, ia menatap Kanaya tajam.

"Aku datang bulan." Kanaya menyengir, ia terpaksa berbohong.

"Selesaikan makan kamu segera, setelah ini langsung kembali ke asrama."

Farhan tidak ingin memberi gadis itu petuah saat masih makan. Karena ia tidak mau, jika Kanaya berakhir marah dan meninggalkan makanannya. Membuat makanan tersebut mubazir jika masih tersisa.

Kanaya buru-buru kembali makan. Sayang juga, kalau tidak habis. Karena uang jajannya tidak sebanyak waktu ia di kampusnya dulu. Sekarang berkurang lima puluh persen. Orang tuanya benar-benar mengujinya.

Setelah beberapa saat, ia selesai dengan kegiatannya. "Udah."

Bak anak kecil, gadis itu laporan. Farhan bergumam pelan, "Seperti momong anak kecil."

"Apa, Pak?"

Farhan mendengus, tidak suka. "Ayo pulang. Ngapain kamu manggil saya 'Pak' di luar jam kampus?"

Kanaya mengikuti langkah lebar lelaki itu. Sedikit susah sejajar, karena Farhan berjalan lebih cepat. Sepertinya lelaki itu sengaja, karena tidak ingin dirinya berjalan di sampingnya.

"Ya, kenapa? Harusnya kan gitu, biar lebih sopan." Kanaya mengalibi, sebenarnya bukan itu alasannya. Dia hanya iseng.

"Panggil seperti biasanya saja, kalau di luar kampus." Farhan kembali bersuara.

Kanaya hanya bergumam pelan, perjalanan itu tak terasa sudah sampai. Banyak pasang mata yang mengarah ke mereka berdua. Pasalnya, mereka berjalan sama-sama memasuki gerbang. Kanaya mendengus, ia tidak suka jadi pusat perhatian. Seperti yang pernah terjadi di kampus dulu waktu ia dekat dengan Sagara.

"Pak?"

"Farhan."

"Iya-iya! Emang udah tua juga, dipanggil Pak ngga mau." Kanaya berdecak.

"Gue permisi dulu deh! Babay! Nanti fans lo gosipnya penuh gara-gara gue jalan bareng sama lo!" Kanaya segera berlari, tanpa mengucapkan salam.

Farhan menatap sekeliling, benar yang dikatakan Kanaya. Banyak pasang mata yang kini mengarah padanya. Sebenarnya ini yang ia takutkan. Takut, jadi sumber fitnah. Tetapi ia khawatir Kanaya kabur lagi. Di kampus tadi, ia sempat melihat Kanaya berjalan mengendap-endap. Mencurigakan sekali.

Memilih mengabaikan, ia kembali meneruskan langkahnya.

*        *          *          *          *

"Kak."

Farhan menutup laptopnya, kemudian menoleh ke arah pintu kamar. Umi di sana, berdiri dengan senyum manisnya. Segera, Farhan menghampiri wanita tersebut.

"Iya, Umi? Ada apa?"

Mereka berdua duduk di ruang keluarga. Sudah ada Aba di sana, tidak biasanya mereka bersikap seperti ini. Wajah Aba juga terlihat serius. Lelaki itu mengambil napas banyak-banyak, menyiapkan mental barang kali dirinya melakukan kesalahan.

"Kamu pulang terlambat tadi, Kak?"

Farhan mengangguk pelan. "Iya, Aba. Tadi—"

"Kak, di sini santriwati banyak. Kalau kamu ada perlu apa-apa untuk Kanaya, kamu bisa minta tolong mereka. Jangan kamu sendiri yang turun tangan. Tadi Aba nggak sengaja denger, banyak yang bicarain kalian. Padahal, kalian cuma nggak sengaja bareng. Apalagi kalau kamu keseringan sama dia."

Farhan menunduk. Merenungi kesalahannya. Memang, kehadiran Kanaya membuat ia tidak seperti biasanya. Itu karena ada perasaan ingin melindungi Kanaya yang menurutnya susah beradaptasi di lingkungan baru. Gadis itu juga penuh tekat, jika sudah berniat melakukan apapun. Farhan hanya tidak ingin Kanaya kabur ketika gadis itu tidak nyaman berada di sini.

"Iya Aba." Farhan menghelah napas pendek. "Aku usahain."

"Aba nggak masalah kamu mau sama siapa aja, asal jangan keseringan berduaan sama yang bukan mahrom kamu. Kak, setan sellau mencari cela dan kesempatan untuk menghasut manusia. Kita jangan berpikir bahwa iman kita sudah kuat. Manusia bisa kapan saja berubah," sambung Aba, sembari menepuk pundak Farhan sekali.

"Seminggu ke depan, Aba sama Umi ada urusan di luar kota. Aba titip pesantren ke kamu ya? Jaga diri kamu baik-baik."

Farhan menatap Aba dan Umi secara bergantian. Umi tersenyum tipis, membawa putranya ke pelukan. Ya, ia tahu apa yang putranya rasakan. Sebab ia pernah muda. Menahan perasaan tidak semudah kelihatannya.

"Semangat ya, Kak. Umi yakin kok kamu bisa jaga pandangan kamu. Kalau kamu memang sudah menemukan seseorang dan kamu sudah mantap sama pilihannya, jangan pernah ajak perempuan ke dalam hubungan haram ya? Inget, perempuan itu berharga," kata Umi, setelah melerai pelukannya.

Farhan tersenyum. Ia selalu bersyukur mempunyai orang tua seperti mereka. Aba tidak pernah berkata dengan nada tinggi, tapi maknanya dalam. Umi selalu berbicara dengan nada lembut dan itu membuatnya nyaman. Keduanya adalah kekuatan untuk Farhan dari bengisnya dunia. Dari kejamnya ujian di dunia ini.

"Iya, Aba, Umi. Aku selalu ingat pesan kalian. Kalian hati-hati ya perginya. Terlalu mendadak sebenarnya." Lelaki itu terkekeh pelan.

"Tapi nggak apa-apa, semoga urusan segera selesai dan dilancarkan."

"Aamiin."

Farhan mengantarkan kedua orang tuanya sampai pintu gerbang. Lelaki itu menghelah napas sekali lagi, dan melambaikan tangan ketika mobil mulai berjalan. Setelahnya ia berbalik, tetapi lelaki itu dikejutkan dengan kehadiran perempuan. Reflek ia mundur dan segera menunduk.

"Umi sama Aba mau ke mana?"

"Ke luar kota," jawab Farhan sekenanya.

Kanaya mangut-mangut. Kini ia tidak lagi marah ketika Farhan menunduk. Karena sudah paham kebiasaan lelaki tersebut.

"Lo abis ini sibuk nggak?"

Farhan hendak menjawab tidak, tetapi teringat nasehat orang tuanya. Akhirnya ia memilih mengangguk. "Sibuk."

Kanaya berdecak, Farhan berjalan menjauh.

"Kebiasaan deh! Gue ditinggalin mulu!"

Kanaya tidak menyerah, ia terus berusaha menyamakan langkahnya dengan Farhan. Sampai membuat Farhan terpaksa menghentikan langkahnya. Lelaki itu berbalik, membuang napas panjang. Tatapannya lurus pada ujung sandal yang ia kenakan.

"Mulai sekarang jaga jarak sama saya, Kanaya. Kamu jangan keseringan samperin sama. Saya tetap mengawasi kamu, tetapi mungkin nggak seperti biasanya."

"Saya pamit dulu, assalamualaikum."

Kanaya terdiam. Menatap punggung Farhan yang kian menjauh. Kenapa ada perasaan asing dalam dirinya ketika Farhan memintanya menjauh? Bukankah itu lebih baik, karena tidak ada yang bisa menganggu dirinya sama sekali?

Kanaya mengusap wajahnya kasar. "Gue kenapa?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 30, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KanayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang