5. Kajian

1 0 0
                                    

Suara lantunan ayat suci terdengar mengalun merdu dan lembut. Siapa saja yang mendengarkan pasti akan merasa tenang dan nyaman. Suara yang semula bising juga kini hening, mereka fokus mendengarkan bacaan dari seorang lelaki di depan sana.

Kanaya sempat terpaku beberapa saat, mendengar suara tersebut. Apalagi ketika melihat bagaimana khusuknya lelaki itu. Farhan terlihat lebih menenangkan, wajahnya teduh dan tampak bersinar.

Kanaya sampai memejamkan mata, menikmati suara merdu tersebut. Setidaknya, malam ini dirinya tidak mengabaikan kesempatan yang langka. Mungkin juga, akan menjadi kebiasaannya suatu saat nanti.

Setelah membaca Al-Quran dilanjutkan dengan kajian. Materi itu juga disampaikan oleh Farhan. Kanaya sampai terheran-heran, sebenarnya apa yang Farhan tidak bisa? Lelaki itu sepertinya merangkap sebagai dosen, guru ngaji, penceramah dan entahlah apalagi. Sejauh ini, Kanaya baru mengenal sampai situ.

"Dalam Islam, berpacaran itu dilarang. Meski tidak ada penjelasan khusus tetapi di dalam Al-quran sudah ada penerangan."

"Walā taqrabuz-zinā innahụ kāna fāḥisyah, wa sā'a sabīlā. Yang artinya, dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk."

"Teman-teman semua, zina itu banyak macamnya. Seperti zina hati, lisan, mata, dan panca indra lainnya."

Di depan sana, Farhan tampak serius dengan ceramahnya. Lelaki itu saat ini mengenakan baju koko berwarna putih, peci hitam dan sarung hitam polos. Kanaya menduga, pasti banyak yang mengidam-idamkan lelaki tersebut. Kecuali dirinya, ya Kanaya tidak mungkin jatuh hati dengan lelaki tidak peka seperti Farhan.

"Menjaga pandangan itu wajib untuk yang belum halal kita pandang. Menjaga lisan agar tidak merayu lawan jenisnya sehingga membawa ke hubungan yang haram."

Farhan memang tidak sepenuhnya menatap santri putri, ia lebih fokus pada santri putra.

"Marilah kita bersama-sama berjuang. Semoga Allah senantiasa menjauhkan kita dari perbuatan zina dan melindungi kita dari perbuatan tercela. Mungkin hanya itu yang dapat saya sampaikan, saya akhiri wassalamualaikumwarrohmatullahiwabara
katuh."

Semua berhamburan dari tempat kajian, sementara Kanaya hanya diam di tempat. Dua hari di sini, ia belum punya teman sama sekali. Bukan mereka tidak ingin kenalan, tetapi Kanaya yang selalu mengundurkan diri.

Gadis itu menghampiri Farhan yang sepertinya sedang membahas sesuatu dengan orang yang pernah ia temui di Ndalem. Orang tua lelaki itu mungkin, Kanaya tidak terlalu tahu.

"Farhan."

"Assalamualaikum." Farhan meralat.

Kanaya menyengir, ia menautkan jemarinya satu sama lain. Gugup. "Eh walaikumsalam."

Pria yang bersama Farhan tadi berdehem, ketika Kanaya malah diam sembari mengamati Farhan padahal yang ditatap menunduk.

"Eh Aba." Kanaya tidak tahu harus memanggil apa, jadi ia mengikuti Papanya saja waktu pertama kali bertemu dengan pria tersebut.

"Kamu nggak kembali ke asrama?"

Kanaya menggeleng kikuk, "Aku nggak ada temen di sana. Aku cuma kenal sama Farhan. Jadi boleh kan aku main sama dia?"

Gadis itu berbicara hati-hati, sambil matanya melirik Farhan yang sama sekali tak menatapnya. Kadang Kanaya berpikir, apa ia seburuk itu untuk dipandang? Mungkin Kanaya tidak mendengarkan dengan serius penjelasan Farhan waktu ceramah tadi.

"Maaf, saya nggak bisa." Lelaki itu akhirnya bersuara. "Saya ada urusan. Assalamualaikum."

Setelah menyalami Aba, lelaki itu pergi dari sana membuat Kanaya mendelik tak terima. Susah amat sih bicara dengan Farhan? Ia tak tahu terbuat dari apa hati Farhan, sehingga selalu menolaknya. Ia tahu, bahwa dirinya pernah jadi primadona kampusnya dulu. Huh, tapi kenapa Farhan susah sekali untuk sekedar didekati. Kanaya tidak suka dengan Farhan, tetap hanya lelaki itu yang ia kenal.

Buru-buru ia pamit dengan Aba, dan menyusul Farhan.

"Farhan!"

Farhan tetap berjalan, membuat Kanaya menambah kecepatan berlarinya. Sampai ia tidak melihat ada batu di depan. Detik itu juga ia tersandung.

"AAAAA! ANJ—FARHAN TOLONGIN GUE!" Gadis itu meringis, sembari membekap mulutnya yang nyaris berkata kasar lagi.

Mendengar itu, Farhan akhirnya berhenti. Ia terkejut melihat Kanaya tersungkur sangat tidak estetik sekali. Kepalanya nyaris menyentuh batu di depannya, dengan tangan menyangkut dahan pendek di sebelah kanan. Bajunya sudah tidak rupa terkena debu.

Farhan menghelah napas. "Kalau mau atraksi nggak di sini tempatnya Kanaya."

Lelaki itu melepaskan sorbannya. Mengulurkan tepat di depan Kanaya. "Pegang, saya bantu kamu bangun."

Gadis itu mengeluh pelan, sembari menahan sakit, ia memegang sorban Farhan. Kemudian dengan gerakan pelan tapi pasti, Farhan menariknya sampai gadis itu bangun seperti semula.

"Itu karena lo, nggak mau nungguin gue! Jadi gue buru-buru!"

"Jadi ini salah saya?" Farhan menatap malas, kembali berjalan.

"Tuh kan! Udah tau ada orang jatoh dan badan masih sakit semua, malah ditinggalin lagi! Farhan mata lo nggak buta kan? Aw! Farhan ini sakit banget!"

Lagi dan lagi Farhan menghentikan langkahnya kemudian berbalik, menemui gadis itu. "Kamu beneran nggak bisa jalan? Saya kira, masih bisa lompat."

Kanaya merenggut. "Nggak lucu. Ayo bantu gue!"

Farhan menggeleng pelan, untung saja ada santriwati lewat. Ia melambaikan tangan, meminta dua orang yang melewatinya berhenti.

"Saya minta tolong antarkan Kanaya di asramanya, ya? Dia sepertinya tidak bisa jalan, abis jatuh," pintanya.

Kanaya membelalakkan matanya, ia tidak ingin diantar siapapun. Ia hanya ingin dengan Farhan.

"Kok?" Kanaya menatap bingung, serta malas sekaligus ketika dua santri tadi membantunya berjalan. Sementara Farhan bersiap pergi.

"Lain kali hati-hati Kanaya. Saya duluan, assalamualaikum."

Kanaya menurunkan bahunya lesu. "Waalaikumsalam."

Sesampai di kamar, Kanaya merebahkan tubuhnya. Ia meminta dua orang tadi untuk membiarkannya sendirian. Gadis itu menunduk, sesekali meringis. Perlahan ingatan bersama orang tuanya terlintas. Baru dua hari, tetapi ia merasa rindu sekali. Tanpa sadar, air matanya menetes. Ia tidak betah berada di sini, suasananya sangat aneh.

"Ma, Pa, aku pengen pulang." Gadis itu semakin terisak.

Ia ingin menghubungi orang tuanya, tapi ponsel sudah disita lagi. Ia mendengus kasar, menutup matanya dengan bantal. Isakannya makin keras.

"Aku juga kangen sama temen-temen, Ma. Di sini aku nggak punya temen. Aku benci sama Farhan, Ma. Karena dia nggak mau temenan sama aku."

Baru saja, ia hendak menangis lagi tetapi urung ketika pintu kamar diketuk. Gadis itu beranjak, sambil menghapus sisa-sisa air matanya.

"Assalamualaikum."

Kanaya terkejut. "Walaikumsalam, Umi?"

Wanita berhijab coklat muda itu tersenyum, lalu mengangguk. "Farhan tadi bilang kamu abis jatuh dan ada luka. Gimana keadaan kamu sekarang? Ada yang perlu Umi bantu?"

Kanaya terdiam. Farhan tidak benar-benar mengabaikannya. Lelaki itu peduli padanya, buktinya ia memberi tahu Bunda. Kanaya juga tidak mengerti, kenapa Farhan melakukan ini untuknya? Apa semua santri yang sakit akan dijenguk Umi? Apa hanya yang baru saja? Tiba-tiba banyak pertanyaan muncul di kepalanya.

Menyadari Kanaya diam saja, Umi menyentuh pundak gadis itu dan mengamati wajahnya. "Dahi kamu sedikit luka, Umi obatin ya? Maafin Farhan ya? Dia udah cerita semua ke Umi."

Wanita tersenyum lagi, menatap wajah sendu Kanaya yang terlihat habis menangis. "Dia memang tidak ingin berurusan dengan perempuan yang belum halal untuknya. Tapi, ini untuk pertama kalinya, Farhan meminta Umi untuk jenguk santrinya yang sedang sakit."

Kanaya terhenyak. Tidak mengerti sama sekali apa yang Umi bicarakan.

"Ayo, Umi obatin."

KanayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang