Setelah selesai mengobati Kanaya, Umi pamit untuk kembali ke Ndalem.
"Makasih Umi udah mau ngobatin Kanaya yang ceroboh ini. Kalau aja aku nggak lari-lari, mungkin aku nggak jatuh."
Umi mengelus puncak kepala Kanaya, gadis itu sekarang sedang tidak memakai hijab. Mengangguk pelan, "Sama-sama. Nggak apa-apa, Umi seneng kok ngobatin kamu. Tapi kalau bisa, jangan sakit ya? Semangat Kanaya kamu pasti bisa kok. Kamu bisa lalui ini semua. Tempat tinggal kamu yang baru ini, nggak seburuk yang kamu kira. Semoga kamu betah ya."
Umi beranjak dari kasur, meletakkan minyak angin. "Umi pamit dulu, assalamualaikum."
Kanaya mengangguk lemah. "Walaikumsalam Umi."
Kanaya kadang menyesal, kenapa malam itu ia sangat ceroboh sampai mabuk? Sehingga ia harus berakhir di sini. Tetapi dengan kesalahan yang Sagara buat, tidak melunturkan rasa cinta Kanaya pada lelaki itu. Ia jadi rindu memandang diam-diam lelaki yang dicintainya. Mengobrol banyak hal dan melakukan kegiatan yang belum pernah ia lakukan. Bersama Sagara, ia merasa hidup. Tetapi setelah jauh dari lelaki itu, Kanaya seperti kehilangan dunianya.
Ia melihat sekeliling, sepi. Kamar juga tidak dikunci. Gadis itu membereskan barang-barang penting yang tidak memberatkannya di jalan nanti. Apapun caranya, Kanaya harus kabur dari pondok ini. Ia tidak bisa lama-lama di tempat yang menurutnya seperti penjara.
Ia menoleh kanan-kiri dengan menenteng satu tas. Memastikan tidak ada yang berlalu lalang, ia berjalan pelan. Berusaha sebisa mungkin tidak menimbulkan suara. Kanaya sudah mensurvei tempat untuk kabur yang jauh dari pengawasan petugas keamanan. Belakang asramanya terdapat pagar pembatas yang tidak terlalu tinggi.
Ia bernapas lega, karena sudah sampai tujuan. Sekarang, ia tinggal memikirkan bagaimana caranya lompat dari sana. Meski tidak terlalu tinggi, tetapi tetap saja untuk ukuran perempuan tergolong susah.
Pertama, ia melemparkan tasnya keluar pagar, biar mudah memanjatnya. Kanaya sudah menyiapkan dirinya seratus persen, sehingga ia memakai celana jeans agar memudahkan aktifitasnya.
Susah payah, ia berkali-kali mencoba memanjat. Ternyata tidak semudah bayangannya. Napas gadis itu naik turun tidak beraturan.
"Eh!" Satu kali lagi, Kanaya hendak berhasil tetapi urung ketika ujung hijabnya ditarik.
"Mau ke mana?"
Gadis itu reflek turun. Menggaruk tengkuknya dari luar hijab yang sama sekali tidak gatal. Menggeleng kikuk, "Lo ngapain di sini?"
Pertanyaan macam apa itu?
"Kembali ke asrama, kalau kamu nggak mau jadi gelandangan di luar sana."
Kanaya berdecak. "Gue pengen pulang, Farhan. Tas gue juga udah di luar. Bilang sama Mama Papa jemput gue, kalau nggak mau gue jadi gelandangan. Gue sama sekali nggak betah, lo nggak berhak maksa."
Farhan sendiri datang ke sini. Awalnya, ia hanya ingin mengecek tanaman di belakang asrama yang sudah ia tanam bersama para santri dua bulan lalu. Tetapi ia malah melihat Kanaya yang berusaha memanjat pagar. Akhirnya, ia memutuskan untuk menghampiri. Sengaja Farhan tidak memanggil gadis itu karena takut Kanaya nekat.
"Kamu baru belajar beradaptasi, jadi belum betah. Kanaya dengarkan saya. Terkadang, proses untuk lebih dekat dengan Allah itu sulit karena hadiahnya bukan sembarangan. Surga. Tetapi jauh dari Allah terasa lebih mudah, karena balasannya menyakitkan. Nggak ada manusia yang nggak berdosa, Kanaya. Termasuk saya."
Lelaki itu mengangguk, meyakinkan Kanaya agar gadis itu luluh. Karena menurut Farhan, tidak ada cara paling ampuh untuk menasehati perempuan kecuali dengan kelembutan.
"Kita sama-sama berjuang di jalan Allah ya? Banyak yang sayang sama kamu. Papa dan Mama kamu ingin kamu menjadi anak yang lebih baik, karena mereka nggak mau hidup kamu tersesat," lanjutnya pelan.
Kanaya masih bergeming. Tetapi dalam hatinya bergemuruh hebat. Farhan menyampaikan nasehat itu dengan sangat lembut, membuatnya terpana. Yang dikatakan Farhan ada benarnya, tetapi Kanaya belum sepenuhnya bisa menerima.
"Tapi gue mau ketemu mereka." Gadis itu menunduk lesu, memilin jemarinya.
Farhan berdiri di depan pagar, membelakangi Kanaya. "Nanti saya berikan izin telepon mereka."
Farhan memanjat pagar, membuat Kanaya reflek menoleh. "Lo ngapain Farhan? Kan gue yang mau kabur, kenapa lo yang manjat?!
Baru saja teriakannya menggema, Kanaya kembali dikejutkan dengan tas yang terlempar tepat di depannya. Di detik selanjutnya, Farhan kembali memanjat dari luar dan turun tepat di depan Kanaya.
"Ambil tas kamu, dan kembali ke kamar. Sebentar lagi memasuki waktu ashar. Ayo."
Kanaya membiarkan Farhan berjalan lebih dulu. Pasrah, ia mengambil tasnya, kemudian mengikuti Farhan dari belakang.
* * * * *
"Assalamualaikum."
"Walaikumsalam." Umi menyerngitkan dahinya, menyadari nada bicara Farhan tak seperti biasanya, bahkan wajah lelaki itu terlihat lesu.
"Kamu kenapa, Kak?"
Farhan meletakkan pecinya di meja. Menyugar rambutnya ke belakang, menyandarkan punggungnya pada sofa. Memejamkan mata sejenak, sebelum membukanya kembali. Ia bersuara pelan. "Kanaya nyaris kabur, Umi."
Umi tertegun, "Kapan? Kabur lewat mana?"
Farhan membuang napas agak kasar. Entah kenapa hari ini terasa lebih melelahkan dari biasanya. Ia juga merasa cemas setelah melihat Kanaya berniatan kabur. Farhan sudah menduga, jika Kanaya adalah gadis yang nekat. Lelaki itu juga tidak melaporkan ke petugas keamanan, karena bisa jadi Kanaya dihukum habis-habisan. Farhan tidak tega, entah kenapa.
"Tadi. Aku nggak sengaja liat dia mau loncat pager waktu aku jenguk tanaman."
Umi menggeleng pelan, menyadari ada raut kecemasan di wajah putranya. Tidak biasanya, Farhan akan sepeduli itu, mengenai santri yang berniat kabur. Karena tidak hanya Kanaya yang punya tekat seperti itu.
"Nanti Umi coba bicara lagi sama dia. Kakak tumben peduli banget sama santri yang kabur?"
Farhan segera mendongak, di detik yang sama ia menggeleng cepat. Berusaha untuk menyangkal duga-dugaan Umi yang pasti mengarah ke sana. "Bukan gitu, Umi. Ini karena orang tua Kanaya menitipkan secara langsung ke aku, bukan ke Aba. Mereka juga udah percaya sama aku kalau aku bisa jaga Kanaya. Aku nggak mau kecewain mereka."
Mama sekarang paham dengan kekalutan anaknya. Ia menyentuh pundak Farhan, kemudian tersenyum. Semoga, Farhan merasakan tenang. Ia selalu senang, ketika Farhan menjalankan amanahnya dengan penuh tanggung jawab. Lelaki itu memang tidak pernah main-main jika sudah mengatakan sanggup.
"Kalau kamu nggak sanggup, kamu bisa bicara baik-baik sama orang tua Kanaya. Biar Aba sama Umi yang turun tangan buat Kanaya," ucap Umi lembut.
Farhan berpikir keras. Antara yakin dan tidak. Dia memang punya hak untuk menolak. Tetapi kali ini, ia menyadari bahwa semua ini adalah ujian untuknya. Mampu tidak dirinya menahan setiap amarah ketika menghadapi sikap kekanak-kanakan Kanaya. Belum lagi, gadis itu sangat keras kepala. Farhan akhirnya menggeleng, menatap mata Umi seolah menjadi kekuatan untuknya.
"Nggak, Umi. Aba bilang, kalau punya tanggung jawab harus diselesaikan secara tuntas. Kanaya akan terbiasa seiring waktu. Umi do'ain aku ya? Semoga bisa mengajak Kanaya berubah."
Umi tersenyum hangat dan mengangguk singkat. Menyadari anaknya sudah besar sekarang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kanaya
Fiksi Remaja"Gue lagi nangis, bukannya ditenangin apa gimana ke! Malah nyuruh ke mana itu tadi?" Farhan menggeleng pelan. "Asrama putri. Kanaya itu kekanakan, sementara Farhan terlalu baik untuk Kanaya.