2. Pondok Pesantren

5 0 0
                                        

Kanaya menghembuskan napas panjang. Ditatapnya asrama sederhana di depannya. Ia belum beranjak, ketika Mama dan Papa mendahului masuk gerbang untuk menemui pengurus pesantren tersebut.

Gadis itu sudah menghabiskan waktu selama satu minggu untuk berpikir bagaimana caranya lari dari perintah orang tuanya. Namun, ia tidak menemukan satupun jalan keluar.

Ia membaca dengan jelas di atas gerbang tersebut. 'PONDOK PESANTREN AL-IKHLAS'
klasik sekali namanya, seperti tempatnya juga masih terlihat kuno.

Setelah sedikit lama mengamati, gadis itu akhirnya memilih masuk menyusul Mama dan Papanya yang sudah jauh di depan.

Lalu lalang para santri dan santriwati, membuat Kanaya sedikit risih. Karena tidak jarang dari mereka yang sempat menatapnya dengan pandangan berbeda-beda. Padahal tidak ada yang salah dengan penampilannya kali ini. Ia sekarang mengenakan gamis berwarna merah muda dan hijab hitam.

"Ma! Pa! Tungguin dong! Masa yang dianterin malah ditinggalin!" Kanaya berteriak, sehingga mengundang beberapa tatapan kembali mengarah padanya.

"Orang-orang pada kenapa sih, kayak nggak pernah liat orang cantik aja," gerutunya, sambil mempercepat langkahnya menuju Mama dan Papa.

"Ya kamu kebanyakan ngelamun, mikirin apa sih, Kak?"

Kanaya merenggut, "Nggak ada pondok yang lebih baik dari ini tah, Ma? Selain tempat, di sini juga orangnya aneh-aneh."

Mama menggeleng pelan, sementara Papa mengabaikan ocehan anaknya. Pria paruh bayah itu, justru mengetuk pintu yang katanya 'Ndalem' sambil mengucapkan salam.

"Mama nggak pernah ngajarin kamu nilai sesuatu dari penampilan, Kanaya. Jaga ucapan kamu, inget lisan itu bisa jadi pedang. Mama nggak mau ada orang yang sampai sakit hati sama ucapan kamu. Jaga baik-baik, ucapanmu itu. Semua tempat itu baik, tergantung kamu beradaptasinya. Mama harap, kamu bisa jadi lebih baik di sini."

Kanaya memutar mata mendengar ceramah Mama. Ia tentu punya rasa hormat dan takut pada wanita itu. Tetapi tetap saja, jika urusan mendengar omelan sangat malas.

"Aku nggak janji." Gadis itu mengibas tangannya di wajah, kepanasan. "Ini mana sih orangnya nggak keluar-keluar? Udah tau panas juga."

"Walaikumsalam, Maaf Tante, Om. Baru bisa buka pintu, soalnya tadi masih sholat dan nggak kedengeran ada orang manggil."

Kanaya membekap mulutnya yang baru saja mencibir. Gadis itu terdiam sesaat, ketika mendengar nada halus sedikit serak-serak basah milik seorang lelaki dengan penampilan yang menurutnya sangat alim.

"Nggak apa-apa, Aba ada?"

Lelaki tadi mengangguk takjim, setelah menyalimi tangan Papa, ia mempersilahkan masuk.

"Ada, Om. Ayo kita masuk dulu, bicara di dalem."

Mereka semua masuk, tetapi Kanaya sempat berhenti dan menatap lelaki yang kini sedang menunduk. Gadis itu menautkan alis bingung.

"Kenapa lo?"

"Maaf ada apa ya?" Lelaki tadi bertanya tanpa menatap sedikitpun gadis di depannya.

Kanaya memutar mata, lelaki itu memang terlihat tampan dengan binar mata yang teduh. Kulitnya putih bersih sepertinya memang tidak pernah keluar rumah, itu pendapat Kanaya. Tubuhnya tinggi berisi. Satu lagi yang Kanaya tangkap, bulu mata lelaki yang sedang menunduk itu terlihat lentik.

Ia menggeleng pelan, menyadari dirinya telah mengamati lelaki itu lebih jauh.

"Nggak, lo aneh. Gue seenggak enak itu buat diliat? Sampai nunduk segala." Sambil menggerutu, gadis itu masuk 'Ndalem' dengan perasaan kesal.

KanayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang