5. bukan tentang kasta, namun tentang manusia

11 1 0
                                    

Gadis bernama Candala itu merengut ketika memindahkan nampah pada rak di dapur, tak seperti biasanya. Wajahnya memerah bukan karena tunggku yang ada di hadapanya, melainkan seperti ada amarah yang terpendam dalam benakanya.
"Ada apa denganmu? Tidak seperti biasanya?" tanya ibunya yang baru saja masuk dan duduk di kursi.
Candala hanya menggeleng sembaru melanjutkan kegiatanya.
"Biasanya kau bercerita seperti akan kehilangan napas, tapi kenapa kali ini kau diam saja, Dala?" goda ibunya.
"Bu, semalam aku bercerita dengan temanku dan dia bernama Arya, namun disaat kami sedang asik berceritah tiba-tiba mbah datang. Lalu memarahiku dan menyuruh untuk pulang! Aku kesal karena mbah memotong pembicaraanku!" jawab Candala.
"Mungkin saja mbah ada alasan kenapa dia memotong pembicaraanmu!"
"Tapi, bu?"
"Dala, kau merajuk hanya karena aku menyuhmu untuk pulang semalam? Kau ingin tahu apa alasanku menyuhmu pulang!?" kakek tua itu tiba-tiba masuk dan menghadap ke arah Candala.
"Aku hanya takut kau bernasib seperti Ibumu, yang melahirkan anak tanpa adanya Bapak! Tidak ada nasab sebenarnya dirimu. Namun, aku masih bisa menerima seorang cucu yang tak ku kenal Bapaknya. Ingat! Manusia lahir dari sebuah kesalahan, hidup dengan penuh kesalahan, dan mati membawa kesalahan! Dala, dengarkanlah mbah mu ini, yang sebentar lagi akan berselimut tanah!" kakek tua itu keluar lagi dengan langkah yang tergesa-gesa amarahnya seperti tersulut-sulut.
Candala hanya terdiam, meratapi dirinya sendiri yang sudah tahu jika dirinya adalah anak tanpa Bapak. Berdosakah dirinya yang telah lahir di dunia?
"Maafkan aku, Nak!" ucap ibunya, sembari memegang kedua pergelangan tangan Candala.
"Sudahlah, Bu, ini memang takdirnya!" jawab canda, kecut.
"Dulunya, Nak, saat gelap mulai jatuh, aku belum juga kembali ke rumah. Aku terlena oleh buaian setan sehingga bermalam di rumah laki-laki yang aku percayai! Namun, nafsu mengalahkan segalanya, aku dan laki-laki itu berbuat kesalahan yang tak seharunya kami lakukan!"
"Lalu?" tanya Candala.
"Aku mengandungmu, dan melahirkanmu!" jawan ibunya, menatap Candala dengan mata iba seperti melihat bayi mungil tersiksa.
"Lalu,Kakekmu, menamaimu dengan nama Candala yang bermakna rendah diri! Namun, aku selalu berdoa kepada Tuhan, agar kelak kau menjadi orang yang tinggi dan bisa bermanfaat bagi lainya dan kau tidak direndahkan begitu saja." ibunya mengusap pundak Candala.
"Tenangkan dirimu, semua orang pasti berbuat kesalahan, tapi Tuhan selalu memaafkan!"
♥♥♥
Arya masih menelan tidurnya bulat-bulat, dengan pakaian semalam yang tak dilepasnya. Dia mendengkur kecil dengan sedikit air liuar keluar dari mulutnya.
"Arya! Kang! Bangun kau akan terlambat!" Arga datang dengan membawa secanting air.
Dipercikannya air pada wajah Arya, namun Arya tidak merespon, dia berbalik arah memperbaiki tidurnya.
"Raden Mas Jago Pangestu Aryawinata! Cepat bangun Paman sudah menunggumu untuk pulang ke Dhalem!" Arga berteriak ditelinga Arya, membuat matanya terbelalak mendengar jika Ayahandanya sudah menunggu.
"Dimana Ayah? Tuhan, aku berdosa sekali!" Arya bangun mendadak membuat canting ditangan Arga terlempar dan membuat kasur Arya basah "Arga apa yanh kau lakukan? Lihat! Kau membuat kasurku basah! Dasar bayi bajang!"
"Syukur kau bangun, Raden Mas Jago Pangestu Aryawinata, aku kira kau mati sehingga dipanggil-panggil kau tiada menyahuti!" jawab Arga tanpa dosa.
"Astaga, apa?" sentak Arya pada adik sepupunya itu.
"Kang Mas, kau sekarang sudah kelas akhir yang sebentar lagi akan ujian. Seharunya kau pergi sekolah sekarang bukan tidur tanpa dosa di atas kasur empuk!"
Seketika Arya melihat arlojinya yang sudah menunjukan pukul 07.00 pagi. Darahnya seperti naik tiada kantuk lagi pada dirinya, dengan segera Arya mengambil segelas air yang berada di meja belajarnya, Arya membasuhkan pada wajahnya lalu bergegas mengambil tas yang telah berisi buku-bukunya.
Belum juga kering wajahnya karena air,  Arya berlari tergesah-gesah sembari memasang sepatu dikakinya. Tak dipikirkanya lagi baju yang dikenakanya itu adalah baju semalam, dia tidak lagi berpikir entah bajunya bau asap atau bau amis yang penting dirinya sampai pada tujuan. Berlari dengan cepat membuatnya sampai di sekolah, Arya dengan napas yang terengah-engah berdiri di depan kelasnya yang baru saja dimulai.
"Selamat pagi, Tuan Guru!? Maaf aku terlambat!" ujar Arya dengan bahasa Belanda.
"Arya?, belum pernah aku melihatmu terlambat. Baru kali ini." jawab laki-laki bertubuh jangkung dengan kulit putihnya, dan dengan tatapanya yang menjengkelkan.
"Hanya ada kendala sedikit!"
"Duduklah, aku tidak mau berlama-lama melihatmu yang seperti bangun tidur!"
Arya duduk di tempatnya yang bersampingan dengan Jein, dilihatnya Jein yang menunduk karena menahan tawa.
"beberapa bulan lagi kalian semua akan lulus, dan mungkin kalian akan melanjutkan sekolah kalian lagi, untuk mengambil gelar yang lebih tinggi dan kedudukan yang lebih tinggi dari pada sekarang!" Tuan Guru itu diam, dan melihat ke arah Arya "Kau! Pribumi elit, kau sebentar lagi akan melanjutkan kemana? Ke Leiden? Ah tidak mungkin kurasa." Tuan Guru itu mulai menjengkelkan.
"aku akan melanjutkan studiku di STOVIA, aku akan bersekolah lagi!" jawab Arya tegas.
"Lalu, apa tujuanmu bersekolah lagi di STOVIA?"
"Aku akan menjadi Dokter, dan aku akan menolong para pribumi yang terluka karena tertindaa oleh pekerja paksa orang-orang Eropa. Dan, mungkin aku akan lebih menghidupkan semangat para pribumi agar mereka tidak takut dan melawan jika tertindas."
"Tapi, kalian para pribumi tidak punya kuasa besar di Hindia-Belanda ini, dan orang-orang golongan sepertimu hanya menggunakan garis keturunan Raja juga Forum Privilegiatium,"
"Tuan Guru, yang memiliki kuasa sesungguhnya bukan mereka yang memiliki garis keturunan Raja atau pun Forum Privilegiatium. Tapi, yang berkuasa adalah mereka yang tidak serakah dan berani untuk menganggap sama semua manusia." jawab Arya, emosinya hampir pecah namun masih bisa ia tahan.
"Baiklah, jika itu mau mu!" Tuan Guru tidak membalas lagi peryataan dari Arya, dia hanya tersenyum mengejek dankembali ke depan lalu menuliskan materi di papan.
Jein yang tadinya menahan tawa, kini dia hanya bisa menganga mendengar pertanyaan mau pun peryataan tadi.
"Tidak seharunya kau begitu, apalagi dia Guru kita!" tegur Jein pelan.
"Sudahlah, biarkan saja dia menelan faktanya!"
"Arya, kau bisa-bisa tidak lulus karenanya!,"
Arya tidak menggubris Jein yang menegurnya, karena dadanya masih panas akibat menahan emosi.

Sembagi ArutalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang