2. Jagung Manis

23 3 0
                                    

    Arya dan adik sepupunya itu bukan sekadar mencari udara segar, akan tetapi membeli jajanan yang dilarang masuk ke pondok yang mereka tempati. Seperti kacang goreng, pisang goreng dan lainya.

Selama di pondok, mereka hanya mengonsumsi roti, susu, telur rebus, dan makanan Belanda lainya. Mereka jarang mengonsumsi makanan Pribumi, karena Nyonya Martinet wanita cerewet itu sangat percaya jika itu tidak sehat. Sehingga banyak anak pribumi elit seperti Arya dan Arga yang rela pulang lebih lama supaya bisa membeli makan di luar pondok.


Selesai membeli beberapa makanan, Arya melihat seorang wanita paru baya tengah duduk di sebelah barang jualanya. Dan yang dijual oleh wanita parubaya itu adalah jagung rebus, Arya yang melihat itu merasa perutnya belum kenyang dan ingin membeli jagung tersebut.

"Coba kau lihat wanita parubaya itu, dia berjualan jangung rebus dan aku sangat ingin membelinya!" ujar Arya pada adik sepupunya.

"Astaga, Kang Mas. Kau masih belum kenyang dengan semua yang telah kita beli tadi?" jawab Arga kaget.

"Lebih baik, kita puaskan saja makan-makanan lokal seperti ini, toh. Jika kita kembali ke pondok, kita akan makan roti keras dan telur rebus lagi! Apa kau mau?" tanya Arya, sembari menggoda adik sepupunya.

Arga menggeleng dengan cepat, kepalanya dipenuhi dengan bayangan Nyonya Martinet berserta roti yang di bawanya setiap pagi dan sore.

Arya dan Arga menghampiri wanita penjual jagung rebus itu.

Arya berjongkok, sedangkan Arga tetap berdiri. Mereka sama-sama memandangi jagung kuning yang aromnya tercium sangat manis.

"Bu, aku ingin jagung rebus dua!" ujar Arya dengan menujukan kedua jarinya.

"Baik," wanita itu menjawab dan menolehnya ke arah belakang "Can, bantu ibu sebentar!" panggil ibu penjual kepada seorang gadis yang berada di belakangnya.

"Kenapa, bu?" tanya gadis itu.

"Tolong kau layani Tuan muda ini, tanganku kotor dan aku ingin mencucinya sebentar!"

Gadis itu mengangguk, dan langsung mengambil alih duduk di tempat ibunya tadi.

"Berapa jagung yang Tuan inginkan?" tanya gadis tersebut kepada Arya.

"Bukanya ini wanita yang aku lihat saat pulang sekolah tadi?" batinya.

Arya tak langsung menjawab pertanyaan dari gadis tersebut, dia diam sejenak memandangi wajah cantiknya.

"Kau sedang di tanya!" sahut Arga dengan menyenggol Arya.

Arya tersadar dari pandanganya, kemudian menjawab pertanyaan gadis itu.

"Aku, ingin dua jagung!" jawab Arya kemudian.

Gadis itu mengangguk lalu memasukan dua jagung rebus di dalam daun pisang, Arya langsung membayarnya dan menerima jagung tersebut.

"Apa kau berjualan setiap hari?" Arya memberanikan diri bertanya.

"Ini hari kedua kami berjualan!" jawab gadis itu singkat di sertai senyuman manis.

"Apakah akan seterusnya?"

"Aku tidak tahu pasti, Tuan!"

"Baiklah, terima kasih. Aku akan datang kembali besok sore!" Arya bangun dari jongkoknya lalu pergi bersama Arga.

Gadis itu mengangguk lalu tersenyum.

Pergi bukan tak tenang melainkan seperti ada yang mengganjal dihatinya, Arya tidak langsung memakan jagung yang ia beli akan tetapi menyembunyikan di balik jasnya.

Sepanjang perjalan menuju pondok, Arya tidak berbicara sepatah katapun kepada adik sepupunya. Dia senyum-senyum sendiri sembari mendendam irama lagu.

"Kang Mas, apa kau sakit?" tegur Arga sembari menempelkan telapak tanganya dijidat.

"Kau ada-ada saja, apa kau buta? Aku baik-baik saja!" jawab Arya menepis tangan adik sepupunya itu.

"Lantas, mengapa kau cengengesan begitu?"

"Besok aku akan ceritakan,"

"Terserah dirimu."

Sesampainya mereka di depan gerbang, mereka sudah di sambut oleh jongos Nyonya Martinet.

Keduanya lekas kembali pada kamar masing-masing.

"Arya," panggil seseorang dari atas tangga, membuat Arya mendongak ke atas.

"Aku memintamu untuk menghabiskan makan siangmu, tetapi hingga sore ini kau tidak memakanya sama sekali!" ujar Nyonya Martinet.

"Aku masih kenyang, apa kau tega melihatku sakit perut kekenyangan?" jawab Arya sembari menaiki anak tangga.

"Lagi-lagi kau beralasan seperti itu, aku hanya ingin kau tidak sakit, Arya!"

"Terima kasih, kau sudah mau perduli dengan diriku. Tapi, aku juga ingin menikmati makanan Pribumi di luar sana, jadi, tolong jangan selalu paksa aku untuk makan-makanan orang Eropa terus." Arya memutar knop pintu hingga membuat pintunya terbuka.

"Arya," pekik wanita itu.

Namun Arya tidak memperdulikanya. Dia memilih untuk masuk ke kamar tanpa mendengar suaranya lagi.

Arya membuka jas yang di kenakanya lalu meletakan pada gantungan belakang pintu, dia langsung merebahkan badanya pada kasur. Menatap langit-langit yang sedikit di sarangi oleh laba laba kecil.

"Gadis itu sangat manis, dia yang pertama kali membuatku tersenyum sampai begini!" batinya, secara pikiran dia mengingat gadis yang di temuinya tadi.

"Apakah, aku jatuh cinta?" batinya, namun dia segera menepis pikiran itu.

"Astaga, Arya. Kau tidak boleh memikirkan hal itu terlebih dahulu, kau harus fokus! Karena kau akan segera lulus!" ujarnya pada dirinya sendiri.

Arya berdiri dan segera mengambil handuk di dekat lemari, karena waktu sudah sore dan sebentar lagi langit akan gelap dia harus segera mandi.
Mandi tak membutuhkan waktu yang lama, mungkin hanya sekitar lima belas menit saja. Setelah selesai mandi, Arya mengganti bajunya dengan kaus putih dan celana yang oversize. Tak lupa Arya menghidupkan lampu minyak mempelajari materi yang dia dapat dari sekolah.

Sejujurnya, Arya tidak ingin bersekolah di H.B.S dia ingin menekuni hobinya saja, yaitu melukis. Karena menurutnya melukis adalah sebuah luapa emosi yang paling baik, selain menghasilkan seni, melukis juga bisa menyalurkan perasaan kepada siapa dia ingin bertaut.

Tok..tok

Suara ketukan pintu terdengar, arya turun dan membuka pintu.

"Ada apa?" tanya Arya pada Nyonya Martinet yang sudah berdiri di depanya.

"Kau belum makan, Kau tidak mengambil jatahmu?"

"Aku masih kenyang, Nyonya. Perutku sudah kembung!"

"Baiklah, jika itu maumu!" wanita itu berpaling dengan wajah kecewa.

"Dasar wanita aneh, padahal dia sudah berumur." Arya kembali menutup pintunya dan kembali menguncinya.

Sekarang waktunya untuk istirahat, tidak ada waktu lagi untuk memikirkan tingkah laku wanita parubaya itu. Dan ingin cepat-cepat untuk lulus dari sekolah dan meninggalkan asrama yang membosankan ini.

Sembagi ArutalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang