Lewat sudah tiga hari tidak bertemu dengan Candala, Arya berencana untuk pulang ke rumah juga mengantar barang lama yang akan ditukar dengan barang baru.
Bendi sudah siap menunggu di depan Pondok, Arya ditemani seorang jongos membawa beberapa koper yang berisi barang-barang milik Arya.
"Kang, aku titip salam pada Ibuku!" celetuk Arga dari atas jendela.
"Kau tidak ikut pulang saja?" tanya Arya.
Arga hanya menggelengkan kepalanya tanda tidak ingin pulang.
"Hati-hati, Kang!" pesan Arga pada Arya.
Bendi berjalan setelah Arya menaikinya, perjalanan cukup memakan waktu yang lama dan Arya sudah bosan duduk terlalu lama di atas bendi.
"Kapan ini sampainya?" tanya Arya pada kusir.
"Mungkin sekitar dua jam kita akan sampai, Tuan."
Dua jam, mungkin sore nanti akan sampai di rumah
"Tuan ini baik sekali," celetuk kusir.
"Kenapa?" tanya Arya bingung.
"Tak biasanya saya menerima tumpangan dari seorang bangsawan sebaik Tuan, biasanya saya hanya dibayar separuh ketika mendapat tumpangan dari seorang bangsawan, apalagi tumpangan dari orang londo yang bahkan hampir tidak pernah bayar, namun Tuan yang satu in berbeda, Tuan malah menambah bayaran yang diberikan kepada saya." cerita Kusir tersebut.
Arya tidak menjawab, dia hanya tersenyum menyadari bahwa gelar bangsawan hanya tambahan bagi dirinya.
Matahari sudah berada di barat menandakan sore hari telah tiba, lampu minyak yang tergantung pada kedua sisi bendi pun dinyalakan oleh Kusir untuk menjadi penerang jalan.
Langit sore tampak sangat indah berwarna jingga dibarengi angin berseliweran yang menyentuh kulit.
"Kemana kau, Can?" batin Arya.
"Tuan, kalau sudah lingsir wengi begini harus banyak-banyak baca dhungo, kata Kakek saya pasti Gusti kabulkan, tapi juga di waktu lingsir wengi begini biasanya juga banyak demit yang berjalan mencari rumah!"
"Jangan sembarangan bicara demit, nanti bisa saja saya yang berubah menjadi demit," jawab Arya.
"Ya saya tinggal mblayu!"
"Kalau ditinggal nanti saya jual saja bendi ini."
Keduanya tertawa seperti orang yang sudah lama berkawan.Jam setengah tujuh malam Arya baru sampai di depan gerbang menuju rumahnya, disambut oleh para pembantu rumahnya sembari mengangkat barang bawaan Arya. kebiasaan Arya sebelum memasuki kediaman Ayah dan Ibunya, Arya biasanya aka terlebih dahulu memasuki kamar depan, kamar yang biasanya dipakai Arya untuk belajar saat sebelum memasuki H.B.S.
“Ternyata kamar ini tidak berubah ya,’’ batin Arya memandangi tembok yang sebenarnya sudah lembab dan lapuk.
MANUSIA HARUS TUMBUH DENGAN CINTA
Tulisan yang ada di depan pintu lemari yang hampir copot membuat Arya tertawa teringat tingkahnya yang dulu-dulu.“Nak?’’ suara yang tidak asing terdengar oleh telinga Arya membuatnya langsung menoleh.
“Ibu? Maafkan saya Bu, maaf tidak menemui ibu terlebih dahulu,’’ Arya berlutut meminta maaf pada Ibunya.
“Sudahlah, Nak. Tak apa Ibu sudah paham akan kebiasaanmu itu, berdirilah kita temui Ayahmu lalu bersihkan diri dan makanlah makanan kesukaanmu,’’
“Terima kasih, Bu.’’ Arya mencium tangan Ibunya.
“Mari temui Ayahmu!’’
Arya mengikuti Ibunya menuju kediaman Ayah. melewati ruangan-ruangan penting yang diterangi oleh lampu minyak.
sesampai di kediaman Ayah, Arya menekuk duduknya di depan pintu sebelum dibukakan oleh Ibunya.
“Ayah, saya meminta restu untuk menghadapi Ujian kelulusan di H.B.S, sembari pulang untuk memutus rindu pada orang tua,’’ ucap Arya memohon pada Ayahnya.
“Aku akan selalu mendoakanmu, Nak. Tapi ku dengar kau sekarang jarang pulang ke asrama?’’ Bada Arya seketika kaku mendengar hal itu.
“Maafkan saya, Ayah. Itu tidak benar, jikapun saya keluar saya hanya ada keperluan.’’
“Aku percaya pada Anakku, pergilah. Aku sibuk, hanya satu pesanku pulanglah langsung dan lanjutkan di STOVIA jika tidak mau kau akan ku nikahkan saja, dan ini tidak boleh ada bantahan.’’
“Ayah boleh hukum aku jika aku tidak melanjutkan diri ke STOVIA, asal jangan jodohkan aku dengan siapapun apalagi pada seseorang yang tidak aku cintai,’’ mohon Arya pada Ayahnya.
Ayahnya tidak mempedulikan, Ayahnya membelakangi dan memasuki kamar yang biasanya untuk bekerja.
ibunya membangukan Arya dari duduknya menarik tanganya agar keluar dari kediaman Ayah.
Cahaya lilin menerangi wajah cantik Ibu, terlihat sangat karismatik wanita jawa tulen sesungguhnya, dengan hiasan kebaya warna coklat dan kain jarik melilit dari pinggul hingga mata kaki.
“Kau istirahat saja, Ayahmu memang begitu.’’
“Bu, apa aku boleh bertanya sesuatu padamu?’’
“Apa yang ingin kau tanyakan padaku, Nak?’’
“Jika suatu nanti aku memilih takdir untuk menikah dengan wanita biasa, apa Ibu akan merestui aku?”
“Kenapa memangnya, Nak. Ku sedang jatuh cinta?”
“Aku sebenarnya tidak tahu, apakah aku sedang jatuh cinta atau tidak. karena setiap aku melihat wanita itu aku selalu senang dan merasa tenang, bu. Apa boleh aku jatuh cinta?”
Ibu menatap Arya, mengelus pipinya
“Anakku sudah besar, Kau bebas mau jatuh cinta kepada siapapun.’’
“Bu, aku jatuh cinta pada seorang gadis pribumi, akan tetapi dia bukan dari golongan bangsawan seperti kita, hanya saja aku selalu senang melihatnya. Dia cantik seperti Sinta, kulitnya kuning dan rambutnya lurus tutur bicaranya saja lembut, bagaimana aku tidak jatuh cinta.”
“Kau boleh jatuh cinta kepada siapapun, karena manusia tumbuh dan dibesarkan oleh cinta akan tetapi jangan gila hanya karena cinta!”
“Tapi bu, bagaimana aku tidak gila jika aku tidak bisa mendapatkannya?’’
“Tidak semua yang kau suka bisa didapatkan. Tidurlah kembali, ceritakan keluh kesahmu besok,’’
“Baik, bu.”
Arya kembali ke kamar depan, kamar lembab yang temboknya lapuk. ia memutuskan untuk tidur di kamar tersebut juga untuk melepaskan rindu pada masa masa indah di kamar depan.
malam tidak terlalu dingin juga tak panas, bisa dibilang jika suasana malam hari ini hangat, kamar yang lembab tidak membuat dingin suasana malah bau tanah yang tercium. Entah kenapa Arya tidak bisa memejamkan matanya malam ini dan ia memutuskan untuk keluar dari kamar tersebut dan bermaksud untuk mencari angin segar.
“Den, kapan datang?’’ celetuk seorang pembantu parubaya yang tengah membawa ember.
“Tadi sore, bagaimana kabarnya, Mak? ”
“Mak baik, Den.”
“Syukur jika begitu, Mak. Saya juga berharap Mak baik-baik saja.”
“Kau tidak pernah berubah ya, Den. Semoga sesuatu yang baik akan selalu menyertaimu, oh ya! Bagaimana, apa kau sudah punya tambatan hati. Mak lihat kau sudah cukup besar untuk itu!” tanya pembantu yang dipanggil Mak oleh Arya.
“Sebenarnya sulit untuk menjelaskannya, Mak. Aku juga tidak tahu sebenarnya ini cinta atau hanya mengagumi saja,”
“Jika kau bingung maka mantapkanlah hatimu, kau akan mencintainya jika kau yakin jika memang cinta, akan tetapi kalau hanya mengagumi maka kau harus juga yakin jika kau hanya sekadar mengagumi saja.”
Arya menarik nafasnya perlahan
“Jika begitu aku yakin aku mencintainya, hanya saja aku takut jika nanti aku tidak dengannya.”
Mak seperti kebingungan dengan maksud Arya
“Siapa sebenarnya yang kau cintai, Den?”
“Aku mencintai gadis Pribumi dia bukan dari keturunan bangsawan akan tetapi aku senang selalu melihatnya. Namanya Candala, dia memiliki seorang kakek pemain wayang yang mahir akan tetapi sedikit galak, dan aku semakin penasaran. Maka dari situ aku senang apabila bisa bersama Candala, suatu tantangan yang menarik bagi diriku.” jelas Arya sembari tersenyum.
“Tidak menjadi masalah sebenarnya kau mau jatuh cinta pada siapa. Akan tetapi yang perlu diingat adalah, kau adalah keturunan seorang berdarah biru akan lebih baik kau mencari yang setara denganmu. Tapi tak apa, Den. Kau adalah seorang pelajar yang selalu senantiasa terbuka dan aku tahu itu dan juga sebenarnya tak layak bagi diriku untuk menasehatimu, aku hanya akan menaruh pesan di manapun hatimu kau labuhkan maka haram bagimu untuk menyakitinya.”
“Aku akan terus ingat pesan itu, Mak!” jawab Arya.
“Bagus, jika begitu aku akan menaruh ini di belakang dan akan istirahat,” pembantu yang Arya panggil Mak itu berlalu menuju belakang.Mak, adalah seorang pembantu yang tidak akan pernah dibayar seumur hidupnya karena dia adalah tebusan atas hutang-hutang orang tuannya di masa lalu. dia rela menjadi pembantu tanpa bayaran asal orang tua nya tetap hidup, namun sebuah aturan yang tak pernah diketahuinya adalah Mak tidak boleh bertemu dengan orang tuanya sampai hutang yang mereka miliki lunas.
Mak, menganggap hidupnya adalah hukuman bagi dirinya di masa lalu, Mak memilih untuk tidak menikah setelah dia tahu jika akan hidup di dalam tebusan hutang. Dia merelakan kekasihnya yang dahulu memilih orang lain, karena prinsipnya adalah ‘jika tidak denganmu maka tidak dengan siapapun’
KAMU SEDANG MEMBACA
Sembagi Arutala
Ficción históricaSembagi Arutala: dimaknai sebagai seseorang yang memiliki cita-cita tinggi dan mulia seperti rembulan. Rembulan yang digambarkan sebagai pelita di tengah gelapnya malam menunjukkan wujud cita-cita yang baik untuk sesama ♥ ___________________________...