04. Kamu Tak Harus Berlari Untuk Bisa Menyusul

9 1 0
                                    

🕊️🕊️🍀🕊️🕊️

Dari sekian banyak makanan di dunia ini, bagi Jiendra cukup singkong goreng buatan Mama dengan segelas wedang jahe adalah yang paling nikmat. Keadaan di luar masih hujan, namun tak lebat seperti tadi siang. Hanya gerimis kecil namun cukup untuk membuat basah.

Di ruang tengah mas Haedar sedang membantu Juki menyelesaikan tugas sekolahnya, mas Satria belum pulang dari pekerjaannya, mas Yohan sedang bertugas di kodim, sedangkan Vian sedang membantu Mama di dapur. Ayah sudah pulang setelah perkejaan lemburnya semalam, sekarang mungkin sedang mandi atau makan masakan Mama.

Seperti biasa Jiendra akan duduk di teras rumah, melihat bunga-bunga milik mas Haedar dan Mama yang nampak cantik saat terkena tetesan hujan. Malam memang belum larut, tapi suasananya sudah sepi saja. Mungkin efek hujan, makanya sepi.

"Nggak dingin di luar?" tanya ayah yang datang membawa jaket tebal milik Jiendra dan segelas wedang jahe yang masih terlihat panas dengan uap yang mengepul. Jiendra menggeleng. "Nihh di pake, nanti masuk angin." Ayah memberikan jaket Jiendra.

"Iya." Jiendra memakai jaket yang ayah berikan. "Ayah udah makan?"

"Sudah, mana mungkin ayah melewatkan masakan Mama mu. Masakan Mama itu terenak sedunia." Ayah tertawa, tawa yang dapat membuang segala gundah Jiendra. Tawa yang menenangkan baginya. Ayah duduk di sebelah Jiendra setelah mengambil satu singkong goreng yang ada di piring, jarak mereka hanya terpisah oleh sebuah meja kecil di apit kedua kursi yang Mereka duduki. Masih hangat, karena baru beberapa menit setelah ayah pulang Mama menggorengnya.

"Kamu lagi ada problem ya?" tanya ayah setelah singkong goreng yang ayah makan habis.

"Nggak ada," jawab singkat Jiendra. Lain di mulut lain di hati tentunya. Getir yang ia simpan sejak tadi pagi belum hilang. Perasaannya masih kelabu, seperti langit Jakarta hari ini. Jiendra menatap lamat bunga-bunga yang ada di depannya.

"Jangan bohong Jiendra, ayah nggak ngajarin kamu untuk bohong. Coba cerita sini sama ayah." Ayah mengambil segelas wedang jahe yang ada di atas meja. Menuangkannya ke lepek atau piring dengan ukuran agak kecil yang digunakan untuk alas pada gelas, meniupnya dah setelah agak hangat di minum perlahan.

Pandangannya beralih pada gelapnya langit malam ini. Syukur saja, gerimis sudah berhenti. Menyisakan udara dingin yang menusuk dan aroma petrikor yang membuat candu. Sang Dewi malam tak terlihat hari ini, karena awan-awan kelabu yang menutupi langit sejak siang tadi.

"Yah, kalau seumpama ada salah satu anak ayah yang gagal dalam meraih impiannya ayah kecewa nggak?"

Ayah meletakkan gelasnya kembali lalu tersenyum menatap Jiendra yang masih memandang langit malam "Ayah nggak akan kecewa, itu juga salah satu langkah menuju kesuksesan. Orang sering bilang kalau kegagalan itu adalah sukses yang tertunda. Kamu perlu berjuang lagi, lebih dari perjuangan kamu sebelumnya."

Senyum tipis terukir di wajah Jiendra, matanya sedikit berkaca-kaca. "Ayah bangga sama pencapaian anak-anaknya?"

"Jelas, nggak ada yang nggak seneng kalau apa yang anaknya cita-citakan akhirnya terwujud. Ayah akan tetap bangga dengan apa yang anak-anak ayah capai nantinya." Ayah kembali mengambil gelas wedang jahe dan meminumnya perlahan.

Sebuah senyum kecil terukir indah di wajah Jiendra. Membayangkan di langit bagaimana ia sukses kedepannya, mewujudkan cita-citanya dan membuat keluarganya bangga dengan apa yang dia capai.

"Di luar makin dingin, nggak mau masuk aja? Kita obrolin di dalam." tawar ayah.

"Yang ada nanti Juki keganggu, nggak ahh enak di sini. Siapa tau ada kang pentol lewat, lumayan dingin-dingin gini makan pentol."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 09 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Jiendra Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang