3

1.1K 161 9
                                    

Hinata bergerak gelisah. Meremat ujung pakaian yang ia kenakan setiap kali--tanpa sengaja--matanya bersedekap dengan mata sang kakak. Ayahnya ada di sebelah si anak pertama, masih berusaha menenangkan diri dari tekanan syok yang hampir membuat darah tingginya kambuh.


Hinata lupa. Benar-benar sangat lupa jika hari ini adalah ulangtahun ayahnya, serta, telah jadi kewajiban bagi sang ayah untuk berkunjung ke tempat anak-anaknya agar bisa merayakan bersama--sekaligus dianggap sebagai kegiatan berlibur.

Setiap tahun selalu seperti itu.

Tapi sayangnya, kali ini, Hiashi hanya sedang tertimpa sial. Bukan menikmati pertambahan usia yang membahagiakan, umurnya malah hampir saja dipangkas secara paksa oleh keadaan. Putri satu-satunya yang dimiliki sedang ... sedang ... hah... Hiashi tak sanggup melanjutkannya.

"Hinata."

Perkataan Neji memang sedang menyebut namanya, tetapi, tatapan mata itu sedang menyorot penuh delikan tajam pada sosok lain di sebelah sang adik. Begitu menusuk dan sarat akan aura mencekam--seolah, Neji bisa saja memberi terkaman mendadak jika pribadi tersebut berani melakukan pergerakan sedikit saja.

"Apa kau sadar, apa yang sudah kaulakukan?"

Hinata dan Naruto dibuat bingung. Entah pertanyaan yang diberi merujuk pada siapa, sebab, seperti yang dikatakan tadi, meski Neji menyebut nama Hinata, tetapi, matanya tertuju pada Naruto.

Tak ingin berlanjut dalam keadaan tak pasti, Naruto memilih untuk coba menjelaskan keadaan yang--sebenarnya--ia pun tak memahami secara jelas.

"Begini--"

"Diam! Aku tak bertanya padamu!"

Tetapi, belum berlanjut, Neji sudah lebih dulu memotongnya dengan bentakan singkat dan mata yang melebar untuk mengancam. Kali ini, lirikan putra Hyuga diputar menuju sang jelita secara lambat.

"Apa dia memaksamu?"

Pelipis Naruto berkedut protes. Merasa tak terima karena--seolah--dianggap melakukan tindak kejahatan. Enak saja orang itu berbicara seakan Naruto adalah pelaku asusila.

"Hei! Kau salah paham--"

"Salah paham di bagian mana?!" Neji kembali mendelik ke arahnya. "Salah paham melihatmu hanya memakai dalaman di kamar adikku dengan ranjang berantakan dan pakaian yang berhamburan?!"

Ucapan Neji terlalu telak. Bukan hanya Naruto yang seketika dibuat bungkam, bahkan, eksis di sebelahnya--sang ayah--ikut memberi reaksi. Sekali lagi, Hiashi mendesis tertahan ketika merasakan kembali tengkuknya yang menegang. Mungkin, ia teringat adegan awal saat dirinya mendapati mereka di kamar; dengan pakaian hampir tak utuh dan aroma misterius--di mana--hanya para dewasa yang memahami.

"Lihat?! LIHAT APA YANG KALIAN LAKUKAN?!" Kini, Neji meninggikan suara. Jantung dalam rongga dada merasakan detak antara khawatir dan kesal. "Jika terjadi apa-apa pada ayahku, aku benar-benar akan menuntutmu, tak peduli siapa pun kau!"

Naruto menghela napas berat--kehabisan tindakan.

"Kak Neji," merasa situasi semakin runyam, Hinata putuskan mengambil bagian. Ia hanya tak ingin tetangga apartemen mendengar suara keras yang Neji lakukan. Sekeliling tempatnya dipenuhi kaum penggosip. Sekali aib terbongkar, butuh waktu yang tak singkat agar dapat mereda. "Ini tak--"

"Jangan ikut membelanya, Hinata! Lihat karena ulah kalian berdua! Ayah sekarat! Kau tahu jika ayah memiliki darah tinggi dan resiko penyakit jantung, tapi, kenapa malah melakukan hal seperti ini?!"

Hinata menunduk sedih. Situasi ini masih sangat membingungkan bagi Hinata. Tak ada apa pun yang teringat oleh ingatan, hingga menjadi sulit baginya menjelaskan keadaan. Tetapi, rasanya, meski Hinata memiliki ratusan alasan sekaligus, takkan ada yang berubah sama sekali. Ayah dan kakaknya sudah mendapati dia bersama seorang pria. Serta, Hinata sangat paham jika ini adalah sesuatu yang krusial jika disangkutkan dengan bagaimana cara keluarganya memandang kehidupan.

Marriage Without Dating - NaruHina [ M ] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang