Hari berlalu begitu cepat. Dua hari setelah kegiatan kami resmi ditutup dengan sukses, kami berlima kembali ke Makassar, Lina memilih tinggal beberapa hari lebih lama di Balikpapan. Aku bersorak gembira dalam hati, sebab aku ratu satu-satunya di antara empat sekawan itu!
Kami kembali menaiki kapal feri cepat seperti waktu berangkat ke Balikpapan, pertimbangan harga tiket yang lebih miring dari pada kapal Pelni, pun jadwal terdekat memang menggunakan kapal itu. Tiket balik kami juga termasuk salah satu keuntungan yang didapat dari kepanitiaan, alias gratis.
Pagi-pagi sekali aku sudah bersiap untuk pergi. Sepeti biasa, bekal yang kubawa dari kampung halaman untuk kembali merantau pastilah sangat banyak. Ibu menyiapkan segalanya dengan penuh kasih sayang. Beribu wejangan tak lupa ia dengungkan di telingaku, hampir seperti kebas kurasakan. Aku hanya dapat memeluk dan mengulas senyum untuk Ibu sebagai balasan ribuan peringatannya untuk selalu berhati-hati di kota orang.
Kini aku tengah melambaikan tangan pada wanita yang telah melahirkan dan mengikhlaskan kepergianku menuntut ilmu di kota orang. Untung saja kapalku telah cukup jauh, kalau tidak, dapat kupastikan ia menangis melepasku pergi pagi itu. Sebab kulihat sebelah tangannya sibuk menghapus pipinya yang tidak lagi kencang, sedang sebelah tangannya terus melambai padaku.
Setelah pandanganku sudah tidak lagi dapat melihat titik-titik manusia di dermaga, aku akhirnya masuk ke dalam dek kapal, tempat keempat pria yang kutahu pasti tidak ikut melambai ke arah pengantar di pelabuhan. Jarak rumah mereka ke pelabuhan cukup jauh, lebih satu jam perjalanan. Dan juga, walaupun mereka diantar, mereka mungkin akan sungkan untuk melambaikan tangan sebagai salam perpisahan.
Ternyata mereka berempat tengah asyik bermakin gaplek, permainan dengan kartu kuning berbintik-bintik merah yang sangat tidak kupahami cara bermainnya.
Kulihat Kak Alan sedang duduk berjongkok, dan yang kutahu itu adalah hukuman bagi pemain yang kalah. Kulihat Kak Sawandi melirikku sekilas sebelum melemparkan sebuah kartu sambil berseru, "Dom!" Senyum penuh kemenangan menghiasi wajahnya.
Aku memilih duduk di sebelah tas ransel dan mengambil sebuah buku dari dalamnya. Sebuah buku novel yang baru separuh kubaca. Lebih baik menenggelamkan diri dalam cerita romansa ini dari pada memaksakan diri memahami permainan aneh itu, pikirku.
Belum setengah jam, aku diserang kantuk. Kututup buku setebal 200 halaman itu dan memilih tidur. Suara empat sekawan itu masih saja terdengar penuh semangat dalam beberapa kali putaran permaian domino mereka.
***
"Nin, makan siang dulu." Guncangan pelan di tubuh membangunkan aku dari tidur. Kurasa sedikit pening di sebelah kepala karena terbangun kaget.
Kak Alan duduk membangunkanku untuk menyuruh makan. Setelah duduk dan mengumpulkan seluruh kesadaran, aku melihat Kak Ubay dan Kak Alex sedang melahap makanan di atas baki terbuat dari alumunium dengan cepat. Mataku mencari dengan cepat sosok Kak Sawandi, tetapi tidak kutemukan."Nyari siapa, Dek? Wandi?" tanya Kak Alan membuatku tersipu. Terlalu tampakkah ketertarikkanku di hadapannya? Sampai keempat sekawan itu selalu menggodaku dengan Kak Sawandi.
"Eh, endak, Kak," kilahku cepat.
"Ya sudah, dimakan dulu. Wandi di luar, ngerokok," jawabnya tidak memedulikan bohongku. Ia berlalu sambil tersipu, meninggalkaku dengan sebuah nampan alumunium berisi nasi, seiris telur dadar dan sayur kol rebus yang sama sekali tidak menggugah selera.
Yah, makanan yang disediakan oleh awak kapal memang jarang kusentuh, lebih baik menyeduh mi instan, tetapi untuk aku yang berjiwa oportunis dan penyayang, maka makanan di hadapanku itu terpaksa ditelan dengan bantuan air.
"Kalo emang gak bisa dimakan, gak usah dipaksakan, Nin," tegur suara rendah yang beberapa hari ini kerap kurindui. Saking konsentrasinya menghabiskan makanan sampai tidak menyadari Kak Sawandi telah duduk dekatku.
"Sisa tiga suap lagi, Kak. Sayang ...," jawabku.
"Duh, enak yah jadi makanannya, disayang ...."
Aku sontak mengangkat kepala mendengar perkataan Kak Sawandi tadi. Apa aku tidak salah dengar? Kata-kata menjurus ke arah gombalan yang biasa kudengar dari para pria yang kerap mendekatiku terlontar darinya? Kubalas enggak, nih, yah?
Belum sempat otakku berpikir. Ia melanjutkan kata-katanya, "Sudah, dihabiskan buruan, kita lanjut ngobrol di luar. Di sini pengap." Cowok berkemeja hijau itu berlalu setelahnya, meninggalkanku yang masih terpana.***
Hari telah menjelang sore saat aku menyelesaikan makan dan memakai jaket tebal untuk keluar ke dek kapal menemui Kak Sawandi. Ternyata ia bersama Kak Alex di sana, sedang merokok. Keduanya saling diam menatap laut lepas yang tanpa tepi. Angin cukup kencang sore itu, aku harus berjalan perlahan melawan arah angin untuk menghampiri dua cowok itu.
"Gak masuk angin, apa di sini lama-lama," basa-basiku ketika telah dekat dengan mereka.
Keduanya bersamaan melihat ke arahku, tetapi hanya Kak Sawandi yang dibarengi dengan sebuah senyum.
"Iya, aku mau masuk aja, bisa kerokan ini lama-lama," jawab Kak Alex sambil mengedipkan sebelah mata ke arahku dan melirik ke arah Kak Sawandi sambil tersenyum jahil. Sedetik kemudian ia berdiri dari kursi dan berjalan meninggalkan aku dan Kak Sawandi.
"Duduk sini, Nin. Pengen ngobrol bentar," ucapnya padaku yang masih terbengong membaca isyarat dari Kak Alex. "Sini," pinta Kak Sawandi lagi seraya bergeser dan menepuk kursi panjang yang didudukinya. Lalu ia mematikan puntung rokok yang masi separuh dengan menginjaknya.
Berdekatan dengan cowok ini sedikit berbeda dengan beberapa cowok lainnya. Apa ini yang disebut chemistry? Aku berusaha tetap tenang dan duduk di sebelahnya yang masih mengulas senyum.
"Sudah makannya?" ucapnya setelah melempar pandangan ke lautan lepas.
Angin laut yang kencang selaras dengan cepatnya debar jantungku saat duduk di sebelah Kak Sawandi, sampai-sampai suaranya yang rendah dan pelan kalah nyaring dibandingkan degup jantungku."Apa, Kak?" tanyaku memastikan.
Ia menoleh ke arahku, wajah kami yang kini hanya berjarak sebelah lengan tangan membuat aku merasakan sengatan hangat di pipi. Aku yakin wajahku pasti memerah ditatap sedekat ini olehnya. Bahkan perasaan seperti ini tidak kutemui kala bersama Kak Uya."Kamu sudah makan?" Dia mengulang pertanyaannya dengan perlahan. Matanya tidak berhenti menatapku. Aku mengalah, aku memalingkan wajah, berpura-pura menikmati langit yang makin memerah.
"Sudah, Kak. Mau ngobrol apa?" kataku mengalihkan perasaan aneh yang tidak juga mau pergi dari hatiku.
"Enggak, sih. Rasanya duduk berdua kamu menanti senja lebih indah dari ribuan kata yang dapat terucap."
Entah dari mana datangnya alunan merdu yang membelai telingaku sore itu. Sangat merdu bagai simfoni bersama langit jingga sore ini.
---
Yeiy, sudah bab delapan!
Maafkan kurang konsisten posting per harinya. (Nungguin, yah 😅)Spil dikit deh, di bab selanjutnya akan semakin baper. Mohon maaf sekali lagi aku ingatkan, ini hanya fiksi belaka. Khayalan penulis yang terlalu liar untuk dikekang.
Jadi kalau ada yang merasakan kesamaan karakter atau alur cerita yang kubuat, itu bisa jadi kalian yang cocokologi 😂
Yuks, divote dan komen biar aku makin semangat tamatinnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Lama
RomanceBagaimana setelah tiga belas tahun berlalu, perpisahan yang dinggap sebagai sebuah pengkhianatan besar, ternyata menyimpan sebuah fakta yang berbeda. Simak dalam Kisah Lama versi Nindita dalam tulisan bersambung, hanya di Wattpat. --- Disclaimer : k...