Dia memang bukan yang pertama, tapi ....

6 1 0
                                    

"Maaf, Nin. Lama, yah?" ucap Kak Sawandi sambil terus mengeringkan rambutnya yang setengah basah.

"E-eh. Iya ... lumayan," jawabku sedikit salah tingkah. Aku segera mengenyahkan pikiran-pikiran aneh yang sempat terlintas dengan berusaha fokus dengan siaran berita siang di televisi mengenai seorang pasangan bukan suami-istri yang terciduk aparat polisi di kamar hotel.

"Kamu belum makan, kan? Suka Sop singkong, gak?" tanyanya lagi dan mengambil posisi duduk di sebelahku. Jarak kami sangat dekat sampai-sampai aku bisa mencium aroma sabun yang menguar dari tubuhnya. Darahku terasa agak panas tiba-tiba.

"Belum, Kak. Sop singkong? Aku belum pernah makan sop singkong," jawabku jujur mencoba mengenyahkan aroma maskulin Kak Sawandi yang menggelitik hidung. "Tapi boleh dicoba, deh."

"Kalau kamu enggak suka, jangan dipaksa. Kita cari makanan lain sebelum ke mall," ucapnya lagi. Mungkin dia melihat wajahku yang memang tidak menunjukkan ketertarikan.

"Enggak, Kak. Aku bukan gak suka, aku belum pernah aja makan sop singkong. Kalo itu rekomendasi Kakak, pasti enaklah. Yok kita makan itu—"

Belum sempat aku melanjutkan perkataanku, Kak Sawandi mendekat dan mengecup bibirku dengan ciuman hangat dan kilat. Aku terlalu terperangah untuk bergerak. Dua detik aku terdiam dengan ciuman tiba-tiba itu. Ini memang bukan ciuman pertamaku, tapi dengannya ini terlalu tiba-tiba ... begitu manis terasa. Aku masih tertegun, mencoba mencerna perasaan hangat yang baru saja tercipta, ia kembali mencium bibirku. Kali ini lebih lama dan perlahan. Aku pun membalasnya. Kami berpagutan beberapa detik lamanya, hingga aku melepaskan diri dengan terengah-engah. Pastilah saat itu wajahku merah padam.

"Maaf, Nin. Kamu terlalu memesona." Hanya kata-kata itu yang meluncur darinya setelah beberapa detik aku berusaha menstabilkan detak jantungku yang bertalu begitu kencang.

"Ndi, pinjem korek api dong!" seru sebuah suara pria yang tiba-tiba sudah berada di depan pintu kamar.

Kak Sawandi melemparkan sebuah korek yang diambilnya dari samping televisi, dan berkata, "Ah, ganggu aja. Sana pergi mandi Hanapi."

Aku hanya tersenyum canggung dengan candaan kedua pria itu. Sejujurnya aku masih bingung harus bersikap bagaimana dengan ciuman pertama kami tadi. Pun detak jantungku seperti tak mau diajak kompromi, terus saja berderap tak berirama.

"Yok, Nin. Kita makan." Rupanya Kak Sawandi lebih cepat mengatasi kecanggungan antara kami. Ia sudah memasang wajah penuh senyum lagi padaku yang masih terngiang-ngiang bagaimana kami tiba-tiba berciuman dengan panas beberapa menit lalu.

***

Sejak hari ini, aku menetapkan bahwa makanan bernama sop singkong adalah salah satu makanan yang bukan termasuk selera aku. Kak Sawandi dengan lahap menghabiskan satu mangkuk penuh sop dengan potongan singkong rebus dan sayur-mayur berkuah kental itu. Sedang aku berusaha keras menghabiskannya dengan berkali-kali mendorong potongan singkong itu dengan es teh.

Setelahnya kami menaiki pete-pete—sebutan untuk angkutan kota di Makassar. Perjalanan menuju pusat perbelanjaan kami tempuh dalam lima belas menit siang itu. Ini adalah pertama kalinya kami keluar bedua, bisa dibilang ini our first dating.

Ia tak pernah membiarkan aku menyebrang jalan tanpa menggenggam erat tanganku. Aku sangat menikmati momen menyebrang jalan. Rasanya seharian hanya menyebrang jalan saja pun aku mau, asal bersamanya. Ah, bahagianya tak terkira.

Hari itu pun pertama kalinya aku mencoba sebuah permainan bilyar. Dan aku ketagihan! Setelahnya kami beberapa kali pergi ke mall hanya untuk bermain bilyar berdua, tak tanggung-tanggung, bisa berjam-jam lamanya.

Hari sangat cepat berlalu saat bersamanya. Malam pun menjelang. Berat rasanya harus berpisah. Kak Sawandi mengantar hingga ke rumah kontrakanku. Jarak antara mall dan rumah kontrakanku sangat jauh. Kurang lebih satu jam ditempuh dengan pete-pete. Pukul sepuluh kurang akhirnya kami sampai. Tak berlama-lama, Kak Sawandi langsung pamit pulang.

"Gak enak lama-lama, Nin. Aku langsung pulang, yah. Makasih sudah mau nemenin hari ini." Kulihat ia tersenyum mengatakan hal itu. Aku hanya menggangguk sambil memegang pagar rumah. Lalu kami berdiri dalam hening beberapa detik di bawah cahaya temaram lampu jalan sebelum akhirnya ia mengatakan hal paling indah sejak pertama kita bersama.

"Aku ... sayang kamu, Nindita Bella."

-----

Hai Bestie. Makasih sudah ngikutin sampe bab 12 ini. Semoga suka yah. Oh iya, untuk bab-bab selanjutnya jangan dibaca kalo gak kuat yah membaca kebaperan Sawandi dan Nindita yang berlayar makin jauh. 

Kisah LamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang