Kedatangan Tamu

2 0 0
                                    

Sebenarnya ini adalah hari Sabtu biasa. Hari aku libur bekerja dan waktunya mencuci pakaian kotor selama seminggu, kemudian bermain game online di komputer atau sekadar membaca novel yang belum selesai. Namun, tidak dengan hari Sabtu pagi ini. Ibu terlihat tegang membersihkan ruang tamu. Kuhitung ini ketiga kalinya ia menyapu ruang 3x3 meter itu.

"Ibu kelihatan gugup," ucapku jujur melihatnya berkali-kali melirik ke arah pintu.

"Ah, enggak. Biasa aja." Lalu ia berjalan sedikit cepat menuju dapur.

Hari ini bapak dan ibu Kak Sawandi berencana datang ke rumah, sesuai dengan permintaan Ibu. Tidak dipungkiri jantungku berdetak lebih cepat saat membaca pesan dari pria yang sangat kurindui itu.

[Bapak sama Ibu sudah jalan, Nin.]

Cukup singkat tapi sanggup membuat jari-jari tanganku dingin seketika. Perjalanan dari rumahnya ke sini, aku perkirakan sekitar satu jam jikalau menggunakan motor. Cukup jauh memang. Terlebih aku yang pernah bertemu dengan mereka, sangat mengetahui bahwa kedua orang tua Kak Sawandi tidak mungkin memacu motor dengan kecepatan tinggi. Mereka cukup sepuh dari segi usia.

Seketika ingatanku melayang pada hari di mana aku dan Kak Ubay nekat mendatangi rumah Kak Sawandi kira-kira satu bulan yang lalu.

"Ayo, Nin. Aku antar ke rumah Wandi. Dari pada kamu gak tenang kepikiran terus," ajak Kak Ubay kala itu.

Kak Sawandi mengalami kecelakaan motor sebulan lalu. Ia mengalami patah kaki sebelah kiri dari informasi yang kuterima. Musibah itu terjadi malam hari selepas bertemu denganku. Kami memang menjadwalkan sebulan sekali untuk bertemu, melepas rindu dan bertukar cerita keseharian kami. Dan hal itu kami lakukan di saat aku pulang kerja hingga senja—tanpa sepengetahuan ibuku tentunya.

"Iya, Kak. Anter aku ke sana, yah." Akhirnya aku dibonceng oleh Kak Ubay sampai ke rumah Kak Sawandi kala itu.

Waktu itu aku sampai tidak lagi memperhatikan jalan menuju rumahnya, bagaimana bentuknya, bahkan warna rumahnya pun aku tidak ingat. Perhatianku hanya terfokus pada Kak Sawandi yang menyambut kami dengan senyum lebar, seperti tidak sedang patah kaki.

Aku meneteskan air mata melihat keadaanya saat itu. Ia menggunakan dua tongkat yang menyanggah kedua lengannya. Sebelah kakinya terbalut gips tebal. Sebelah lagi penuh luka memar, pun sekujur tangan dan wajahnya. Sangat mengenaskan. Aku hampir tidak mengenalinya

Begitu fokusnya aku melihat keadaan Kak Sawandi, sampai tidak merasakan kalau sedari tadi ibu dan bapak Kak Sawandi memperhatikan tiap gerakku. Saat akhirnya aku tersadar, aku merasakan malu telah menangis. Namun, aku sedikit lega. Pasalnya, pilihan gamis putih polkadot hitam cukup menutupi lekuk tubuhku yang biasa kupakaikan kaus dan celana jeans asal.

"Rumahmu di mana, Nak?" tanya ibunya pelan. Sungguh santun cara berbicara dan menatapnya. Sama halnya dengan bapaknya yang lebih banyak diam dan mengamati. Jujur aku sedikit gugup, ini pertemuan pertamaku dengan orang tua Kak Sawandi. Pertemuan pertama yang seharusnya lebih santai malah harus berlangsung penuh ketegangan.

"Di Pertigaan, Bu."

"Wah, jauh banget." Akhirnya bapaknya menimpali. Pertigaan dalam atau luar? Kami ada keluarga di Pertigaan atas, loh," lanjut pria yang telah memutih sebagian rambutnya, tetapi masih sangat lebat terlihat. Ternyata bapak Sawandi cukup supel. Sesaat kami melupakan Kak Sawandi yang sesekali meringis menahan sakit saat bergerak.

"Diminum, Kak. Maaf, seadanya," ujar seorang perempuan muda yang kupastikan adalah Eni, adiknya yang kerap kami bicarakan sebagai anak bungsu perempuan satu-satunya di keluarga Kak Sawandi. Sama seperti sang Ibu, Eni sangat santun bersikap juga berbicara. Sungguh sebuah keluarga yang damai.

Dua jam berlalu, kami berbincang mulai dari hal remeh hingga hal pelik mengenai pekerjaanku. Pembicaraan yang didominasi oleh bapaknya hanya disambut anggukan atau deheman pelan Kak Sawandi. Sedang Kak Ubay lebih banyak memilih di luar rumah. Akhirnya aku pamit setelah matahari mulai tinggi dan akan memasuki waktu salat zuhur.

"Makasih sudah dateng, Nin," ucap tulus Kak Sawandi saat mengantarku di depan pintu.

Ingatanku perlahan samar-samar dan sepenuhnya telah kembali tersadar sedang berada di ruang tamu, menanti hadirnya bapak dan ibu Kak Sawandi yang segera akan menjadi bapak dan ibu mertuaku.

Aku menanti dengan resah kedatangan mereka. Ibu telah menyibukkan diri di dapur. Aku hanya mendengar suara piring beradu, mungkin Ibu sedang mencuci piring. Tapi seingatku semua piring kotor telah aku bersihkan pagi-pagi sekali. Ah, pastilah ia juga sedang gugup menanti sang tamu.

“Assalamualaikum ….”

Tamu yang dinanti datang. Aku menyambut keduanya, mempersilakan masuk dan memanggil Ibu. Aku segera masuk ke dapur setelah mereka bertiga telah saling memperkenalkan diri dan mulai berbincang basa-basi. Kusuguhkan air teh hangat untuk mereka bertiga. Saat aku datang mereka terdiam dari perbincangan yang sebelumnya terdengar seru. Aku sedikit canggung menjadi pusat perhatian oleh mereka saat menyuguhkan air ke atas meja. Segera saja aku kembali masuk dan bersembunyi di balik tirai yang membatasi antara ruang tamu dan tempat kami biasa menonton televisi.

“Jadi, Bu. Kedatangan kami hari ini memiliki niat baik dan semoga dapat disambut baik pula oleh Ibu sekeluarga.” Suara bapak Kak Sawandi terdengar serius.

Bisa dipastikan saat itu degup jantungku berderu dengan cepat.

🖤🖤🖤

Kisah LamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang