Sesal Terhapus Candu

5 0 0
                                    

Malam itu aku pulang dengan diantar olehnya menggunakan pete-pete, hujan telah sepenuhnya berhenti. Kami diam dalam pikiran masing-masing dalam angkutan umum itu, hening tanpa sepatah kata pun yang mampu terucap dari mulut kami. Aku hanyut dalam ribuan perasaan bercampur aduk; sesal, sedih, malu, terluka dan marah. Wajah Ibu membayangi sepanjang perjalanan. Aku telah menodai kepercayaan yang telah disematkan Ibu padaku. Entah apa yang dipikirkan Kak Sawandi dalam heningnya.
Sesampainya di depan pagar rumah pun, masih tanpa kata ia pamit pulang hanya dengan mengangguk lemah lalu berbalik pergi.

Hampir pukul delapan malam saat kulihat jam di dinding. Hanya ada Kak Opie di teras rumah bersama pacarnya.
Aku hanya menunduk melewati keduanya, bahkan kata-kata Kak Opie tak sanggup singgah di telingaku. Hanya terdengar bagai desau angin. Aku segera masuk. Mandi dan tidur. Aku ingin segera menghentikan rekaman kejadian tadi sore yang terus terputar di kepalaku dengan tidur.

Beruntung Nur tidak berada di rumah, segera saja aku menenggelamkan diri dalam selimut dan berusaha sekuat tenaga untuk tidur. Ternyata tidak semudah itu. Semakin aku memejamkan mata, bayangan sore itu semakin nyata terlihat di benak. Aku hampir gila saat ternyata Nur telah datang, dan itu hampir pukul dua belas malam.

***

"Nin, solat subuh dulu." Sebuah suara berikut guncangan halus membangunkan aku.

Nur yang terlihat segar selepas menunaikan salat subuh telah berada di belakang meja yang berhamburan kertas-kertas dan beberapa buku kuliahnya.

"Lagi dapet," jawabku berbohong dan kembali berbalik membelakanginya. Aku tidak berani untuk menghadap Tuhan. Aku menangis dalam diam, betapa hal yang kulakukan kemarin adalah sebuah dosa besar. Aku tak pantas untuk menghadap Sang Pencipta.

"Gimana ujian kemarin, Nin," tanya Nur lagi. Sepertinya ia tahu aku tidak kembali tidur.

"Lancar," jawabku singkat tanpa bergerak dari posisi sebelumnya.

"Jadi dong wisuda bulan Juni?"

Aku terdiam. Tersadar tidak sampai tiga bulan lagi aku akan melaksanakan wisuda sarjana. Aku mencari ponsel yang semalam sengaja kumatikan, lalu segera mengaktifkannya. Dengan gugup aku membuka beberapa pesan masuk bersamaan saat ponsel itu menyala.

Dua pesan dari Ibu ... dan satu dari Kak Uya.

Pesan dari Ibu menanyakan cerita ujianku hari ini, dan satu lagi mempertanyakan mengapa ponselku tidak aktif. Ibu memang sangat mengkhawatirkan anaknya jikalau tidak dapat dihubungi. Segera kubalas pesan Ibu dan melanjutkan membuka pesan dari Kak Uya.

Sebuah ucapan selamat atas kelulusanku. Entah ia mendapatkan informasi dari mana, tetapi cukup membuatku sedikit teralihkan dari resah sejak semalam.

Selama bertahun-tahun aku berhubungan dengan Kak Uya, tak pernah sekalipun kami melewati batas. Mengapa dengan Kak Sawandi yang belum setahun kami berani melakukan hal itu. Kembali sesal mendera bertubi-tubi. Aku kembali menutupi keseluruhan tubuh dengan selimut dan kembali terisak pelan, hingga entah berapa lama aku kembali tertidur dalam tangis.

Siang telah datang saat aku akhirnya benar-benar bangun. Ini hari Selasa. Tubuhku terasa sakit semua, mungkin karena terlalu lama tidur atau terlalu lelah menangis diam-diam.

Rumah telah sepi. Perlahan aku keluar kamar, memastikan apakah aku benar-benar sendirian.

Ternyata masih ada Kak Ana yang sedang menyetrika di luar.

"Nin, itu ada pisang goreng di meja," ucap Kak Ana yang melihatku keluar kamar.
Aku mengangguk dan melanjutkan langkah keluar menuju teras rumah. Aku butuh udara segar.

Berrkali-kali aku menarik napas dalam untuk menghilangkan sesak yang entah mengapa terasa betah menghimpit rongga dada sejak kemarin. Lalu kuketikkan beberapa kata mengabarkan bahwa kemungkinan bulan Juni aku akan diwisuda pada Ibu. Seharusnya aku mengabarkan berita itu dengan perasaan bahagia. Mengapa tidak terjadi pagi itu? Aku kembali menangis.

***

Satu hari penuh aku hanya duduk termenung dan tidur kelelahan. Tubuhku terlalu lemas untuk beraktivitas, pun otak bersinergi untuk menuntut diistirahatkan setelah ujian kemarin.

Sampai suara ketukan pelan dari luar tersengar sayup-sayup. Kudengar Kak Mawar membuka pintu. Kembali sunyi sampai Kak Mawar mengintip dan berkata, "Ada pacarmu, Nin."

Jantungku seperti hendak melompat dari tempatnya. Aku terlonjak.

"Kenapa, Ko? Pucat begitu? Sakit?" tanya Kak Mawar melihat ekspresiku.

"Eh, endak ji, Kak. Sebentar aku cuci muka dulu," tukasku cepat dan beranjak ke kamar mandi.

Kak Sawandi duduk di teras rumah. Ia mengenakan kaus lengan panjang putih yang digulung hingga siku. Wajahnya kusut. Ia terkesiap saat aku keluar menemuinya.

"Nin ...."

"Kenapa, Kak," tanyaku yang langsung kusesali saat itu juga. Mengapa bertanya hal aneh seperti itu.

"Nin ... aku datang mau minta maaf."

Aku diam, sengaja memberinya kesempatan untuk melanjutkan kata-kata selain kata maaf. Dan sejujurnya, aku pun bingung harus berbicara apa.

"Aku khilaf, Nin," lanjutnya setelah beberapa kali menghela napas berat.
Aku tahu dari suaranya, permintaan maaf itu sangat tulus.

"Aku ... aku janji itu enggak akan terulang—"

"Sudah, Kak," potongku cepat. Aku tidak ingin ia melanjutkan kata-kata itu. Otakku seketika memerintah untuk tidak ingin mengingatnya kembali. Dan mengubur dalam-dalam peristiwa itu.

"Kita lupakan saja. Itu gak sepenuhnya salah Kakak. Aku pun salah dalam hal itu. Tapi sekarang, aku gak mau bicarain hal itu lagi ... terlalu ...." Aku tercekat tak dapat melanjutkan kata-kataku.

"Ia, Nin. Sekali lagi, aku minta maaf."
Namun, permintaan maaf dan sesal di hari itu menguap bagai setetes air di tengah jalan raya siang hari. Tidak sampai satu minggu setelahnya, kami melakukan hal itu. Lagi dan lagi. Kami terus mengulangnya, terlebih setelah ujian skripsi, parktis aku hanya melakukan beberapa perbaikan di beberapa bagian yang membuatku banyak menghabiskan waktu bersamanya yang juga sedang mempersiapkan ujian akhir.

Berkedok menemaninya belajar, di sela-sela itu pula kami melakukan aktivitas suami-istri yang belum saatnya. Kami kecanduan. Di saat itu, rasanya aku benar-benar melupakan apapun di dunia ini. Singkatnya, dunia hanya milikku dan dia.

🖤🖤🖤

Vote-nya masih ditunggu ya, Bestie 🥰

Kisah LamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang