Kami semua menundukkan kepala. Bahkan aku, disertai linangan air mata yang sebisa mungkin kututupi dari beberapa peserta lain di ruangan 4x4 meter pagi itu. Kegiatan Latihan Dasar Kepemimpinan yang diselenggarakan oleh himpunan mahasiswa asal Balikpapan, Kalimantan Timur itu kuikuti bersama beberapa teman lain yang bernaung di berbagai universitas berbeda di kota Makassar, Sulawesi Selatan.
"Coba renungkan lebih dalam, pernahkan sekali ... saja, kalian melafazkan kalimat syahadat dari hati? Benar-benar mentauhidkan Allah Sang Maha Pencipta?" gelegar suara Kak Uchi pagi yang syahdu itu menusuk sanubariku. Aku tergugu dalam diam.
Setelahnya kata-kata retorika menghujam bertubi-tubi tanpa ampun hingga relung terdalam. Sesak terasa, tanpa sadar akhirnya aku terisak pelan.
Satu jam lebih seniorku itu menyirami kami dengan ribuan kata yang menyuburkan iman dalam dadaku. Hingga sesi itu berakhir, dan sukses membuat mataku terasa sedikit bengkak. Beruntungnya itu hari terkahir dari kegiatan dua hari bersama komunitas ini. Kami tergabung dalam wadah silaturahmi keluarga mahasiswa kota Balikpapan yang menuntut ilmu di kota Makassar.
Acara di tutup dengan rekreasi sederhana; mendatangi sebuah wisata air terjun yang memang diatur tidak jauh dari lokasi kami menginap.
"Kubantu, Nin." Sebuah suara rendah khas pria perokok tiba-tiba terdengar dari belakangku. Aku memang sedang kesusahan untuk menuruni anak tangga yang curam dan licin sehabis gerimis.
"Eh, ia, Kak ...."
"Amel, panggil aja Amel," potong pemuda itu dengan senyum manis dan sebuah lesung pipi menghiasi wajah kanannya.
Sigap ia turun mendahuluiku. "Pegangan, aja di sini. Biar kamu enggak jatoh," ucapnya sambil menepuk bahu bidangnya.
Jujur saja, aku sedikit risih untuk menyetuhnya. Namun, kulihat ketulusan tergambar jelas di wajah pria dengan kulit sedikit gelap itu. Kupastikan ini kali pertama aku melihatnya. Yah, aku memang termasuk aktif di perkumpulan mahasiswa daerahku itu, tetapi wajahnya baru saat ini kulihat hadir.
"Buruan, Dek. Aku juga mau turun ini," tegur Kak Opie, senior yang sedang menjalani tugas akhir dan juga sebagai bendahara di perkumpulan.
Tanpa ragu lagi, aku memegang bahu Kak Amel. Sungguh keras terasa, pastilah ia rajin berolahraga. Pikiranku beberapa detik teralihkan olehnya. Selang beberapa menit kami menuruni anak tangga yang konon berjumlah seribu anak tangga itu, pemandangan air terjun terpampang dengan sangat indah di hadapanku. Pun udara dingin yang menyambut kulitku terasa sangat menyegarkan. Terjalnya perjalanan terbayarkan.
Hampir setengah jam lamanya beberapa temanku hanyut dalam keseruan mandi di bawah air terjun. Sedang aku hanya puas mengagumi indahnya ciptaan Tuhan dengan memainkan riak air yang melewati kaki di pinggir aliran air. Aku merasakan beberapa kali tatapan menyasar padaku dari Kak Amel. Aku memang terbiasa mendapatkan beberapa perhatian dari lawan jenis hanya karena kekaguman awal atas paras dan fisik semata. Hal itu bukan hal baru buatku yang memang terlahir berwajah nyaris sempurna.
Kegiatan rekreasi pun berakhir dengan teriakan Kakak koordinator lapangan yang mengawasi kami sedari tadi. Ternyata perjalanan pulang lebih menantang fisik. Tenaga yang terkuras di awal makin membuat tubuh ini berat untuk menaiki satu per satu anak tangga. Beruntung memang dilahirkan dengam previlage cantik; para senior seperti berlomba untuk membantu. Tentu saja bantuan mereka tak kusia-siakan. Walau ada saja ujaran miring dari sesama peserta yang terdengar agak menggelitik telinga. Seperti biasa hanya kuanggap angin lalu dan kuanggap sebagai sebuah bentuk protes akan ketidakadilan.
"Idih, kalo cantik aja pada rebutan mau bantuin," celetuk seorang peserta yang kutahu bernama Dastri. Wajahnya memerah kelelahan saat akhirnya kami sampai di atas.
Beberapa pria yang mendengar, tertawa bersamaan menanggapinya. Sedang aku, hanya mengulum senyum, sebab benar adanya. Ia tertatih berusaha sendiri dan aku ditarik beberapa orang. Sungguh miris sebenarnya, ketika sebuah pertolongan didasari motif lain. Namun, untuk kali ini aku menerima dengan rasa bersyukur, karena medan yang kami lalui memang cukup menantang.
Setelahnya acara makan siang berlangsung dengan suasana keakraban yang kental. Terlebih karena tiga hari bersama sejak hari Jumat, kami sudah merasakan kedekatan satu sama lain. Yah, memang itulah salah satu tujuan LDK ini dilaksanakan. Aku menghabiskan sepiring nasi dan telur dadar yang dibuat darurat dengan lahap, ternyata kegiatan tadi cukup membuat perutku keroncongan.
Kak Amel kini lebih sering mengambil tempat tidak jauh dariku dengan beberapa kali tertangkap oleh mataku menatap lekat diriku. Tentu saja, aku sangat amat terbiasa dengan perhatian-perhatian seperti itu. Namun, satu yang kudapati berbeda dari beberapa lirikan para lelaki yang kubaca memiliki tabiat hidung belang. Seorang pemuda berwajah mirip vokalis Peterpan, Ariel. Alisnya tebal bertaut sempurna di kening, garis wajahnya keras, tetapi memiliki sorot mata teduh. Entah seperti ada getar halus saat aku melihatnya tersenyum, walau bukan untukku.
Ah, apa aku kurang menarik di matanya? Mengapa hanya dia yang tidak pernah menyapa secara khusus padaku? Bahkan berinisiatif berkenalan pun tidak. Hingga aku akhirnya mengetahui namanya dari Kak Amel. Sawandi namanya, seorang mahasiswa semester banyak yang di ambang drop-out dari kampus.
---
Vote-nya jangan lupa, yah, Bestie. 🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Lama
RomansaBagaimana setelah tiga belas tahun berlalu, perpisahan yang dinggap sebagai sebuah pengkhianatan besar, ternyata menyimpan sebuah fakta yang berbeda. Simak dalam Kisah Lama versi Nindita dalam tulisan bersambung, hanya di Wattpat. --- Disclaimer : k...