Skripsi

8 0 0
                                    

Akhirnya aku meyelesaikan KKN dengan baik, dan pastinya aku memilih menghindar dari Rifki. Beruntungnya waktu KKN-ku hanya tersisa dua minggu sejak kejadian tertangkap basah kemarin. Cepat saja aku menyelesaikan segalanya dengan baik; KKN dan hubunganku dengan Rifki.

Selanjutnya perjalanan kuliahku seperti berjalan dengan cepat. Ujian proposal bagaikan kilat kulalui hanya dalam hitungan bulan. Mungkin doa Ibu menjadi salah satu pelancar segala usahaku untuk segera lulus tepat waktu.

"Bu, alhamdulillah aku lulus ujian proposal. Mudah-mudahan ujian skripsi dan kompre dikasi kemudahan kaya gini, ya Bu," ujarku saat meneleponnya selepas ujian. Tak ada balasan setelahnya, sampai-sampai aku harus berulang kali memanggilnya di telepon.

"Alhamdulillah, Nak. Amin, semoga kemudahan selalu Allah berikan buatmu," jawab Ibu setelah beberapa detik aku memanggilnya. Suara Ibu terdengar bergetar. Ia menangis. Aku? Sudah pasti hati sehalus sutra ini akan ikut meneteskan air mata mendengar Ibu menangis. Semakin membara tekadku untuk segera selesai dan membantu Ibu bekerja.

Benar saja, aku menyelesaikan skripsi tidak sampai satu semester. Berikut ujian kompre yang kulalui dengan baik mengantarkan aku menjadi seorang sarjana, seperti impian Ibu dan juga cita-citaku.

Selama mengerjakan skripsi aku memang benar-benar berkonsentrasi sepenuhnya, hingga untuk bertemu dengan Kak Sawandi bisa dihitung jari satu telapak tangan. Ia pun mengabarkan bertekad menyelesaikan ujian komprehensifnya sebagai salah satu persyaratan kelulusannya sesegera mungkin, sebab tahun ini adalah kesempatan terakhir baginya untuk menyelesaikan pendidikan. Jika tidak, ia harus merelakan diri untuk di keluarkan dari universitasnya.

Secara tidak langsung kami saling menyemangati satu sama lain. Baik dari pesan dan telepon yang memang tidak pernah terlewat di tiap harinya. Pun, doa yang selalu kulantunkan di tiap sujudku.

"Kak, aku lulus!" seruku melalui telepon saat akhirnya aku dinyatakan lulus. Tangan dan suaraku masih bergetar saat mengabari Ibu kemudian Kak Sawandi.

"Selamat, Nin. Aku ikut bahagia dengarnya," balas Kak Sawandi antusias.

"Kakak ngapain?" tanyaku yang ingin bertemu merayakan kebahagiaan ini.

"Ndak ngapa-ngapain, kenapa?"

"Kesini, dong. Aku masih di kampus," pintaku penuh harap. "Tapi ini lagi perjalanan pulang." Siang yang sangat garang itu tak terasa bagiku hari itu. Aku meneleponnya sembari berjalan kaki menuju rumah kontrakan.

"Iya, aku ke rumahmu, yah," jawabnya cepat. Aku merasa dia berkata sambil tersenyum lebar. Rasa bahagianya terasa sampai hatiku, walau hanya melalui telepon.

Tak sampai satu jam, Kak Sawandi telah sampai di depan rumah. Hampir pukul dua siang itu. Perutku yang sangat lapar tiba-tiba terdengar bergemuruh. Sedari pagi aku memang belum sempat mengisi lambung dengan makanan. Namun, tegangnya ujian yang kulalui menyamarkan perasaan lapar hingga kehadirannya siang itu.

"Sekali lagi selamat, yah Nin," ucapnya tulus saat kami telah duduk di teras depan rumah.

"Hehe, ia Kak. Kakak sudah makan belum?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. Aku sudah sangat lapar untuk menjelaskan bagaimana jalannya ujian tadi pagi.

"Belum, yok makan," ajaknya dengan sebuah senyum lebar.

Beberapa menit kemudian aku dan dia sudah berada di atas motor membelah jalan raya. Siang hari yang terik terasa sepoi-sepoi bagiku hari itu. Bahagia telah melewati ujian akhir dan bertemu dengan kekasih hati setelah beberapa minggu tak bertemu membaur menjadi satu. Bahagia tak terkira.

Aku memilih meyerahkan pilihan makan siang apapun padanya. "Yang penting sama Kakak," jawabku saat ia menayakan aku mau makan apa.

Ia melajukan motornya menuju rumah kostnya ternyata. Dan menuju sebuah warung kecil bertuliskan 'Mi Ayam Sragen'.

"Makan mi ayam, mau?' tanyanya memastikan sebelum kami masuk.

"Mauuu, aku suka mi ayam," sambutku bersemangat. Sebenarnya untuk siang ini makan apapun pasti akan kuhabiskan dengan lahap. Aku sangat lapar.

Dua mangkuk mi ayam telah terhidang di hadapan kami berdua. Asap masih mengepul menguarkan aroma gurih ayam.

"Kenapa kok kamu enggak pake sayur, Nin?" tanya Kak Sawandi melihat mangkuk mi pesananku tanpa sayur sawi.

Aku hanya tersenyum sembari memeras sepotong jeruk nipis dan menuangkan kecap dan sambal. Air liurku sudah meronta ingin segera menikmati hidangan yang telah kuracik dengan sempurna, hingga rasanya menunda menjawab tanyanya adalah pilihan terbaik.

Setelah sesendok kuah mi ayam telah menuntaskan hasratku, aku pun menjawab asal, "Aku gak suka sayur kalo orang yang masakin. Beda cerita kalo aku yang buat sendiri." Yah, tidak sepenuhnya salah, sih. Aku bukan orang yang tidak meyukai sayur, tetapi untuk sayur yang ditambahkan pada mi ayam itu kurang pas menurutku.

Aku benar-benar menikmati makan siang kali itu dengan cepat, bahkan tanpa sepatah kata pun. Sesekali aku melirik ke arahnya yang melihatku menghabiskan mi dengan cepat. Aku dan dia sudah bukan lagi pasangan yang saling menjaga citra. Tidak sama sekali.

Urusan lambung telah ditunaikan, kini aku tanpa diminta telah menceritakan bagaimana melalui ujian skripsi hari ini. Ia hanya mengangguk, sesekali menimpali dengan senyum melihatku bercerita dengan antusias.

"Nin, kita lanjut cerita di kamar, aja, yok. Enggak enak diliatin sama Paklenya dari tadi kita sudah selesai gak pergi-pergi," potongnya setelah hampir satu jam lamanya aku terlalu asyik bercerita.

Aku melirik sekilas pria paruh baya yang mencuri pandang ke arah kami. "Yok, kalo gitu," ucapku cepat. Ternyata aku terlalu asyik bercerita hingga lupa masih berada di warung makan.

Saat kami berjalan kaki menuju kamar kos Kak Sawandi, matahari telah tertutup mendung, udara tidak sepanas sebelumnya. Bahkan kini berangsur dingin, ditambah dengan embusan angin yang cukup kencang. Sepertinya badai akan datang.

Benar saja, baru beberapa saat kami sampai di kamar, hujan gerimis mulai turun, disusul petir bersahutan. Kami yang awalnya akan pergi merayakan hari bahagia ini dengan pergi ke pantai Losari untuk sekadar melepas stres terpaksa membatalkan rencana tersebut.
Menonton siaran televisi menjadi satu-satunya pilihan setelah aku puas melanjutkan cerita bagaimana ujianku hari ini.

Tanpa terasa hujan semakin lebat. Bahkan kami harus berbicara sedikit berteriak untuk mengalahkan suara hujan yang turun menghantam seng rumah kosan Kak Sawandi. Lelah saling berteriak saat bercerita, Kak Sawandi duduk mendekatiku. Walau sedikit canggung, tapi hal itu berlangsung lama. Kini kami tidak lagi harus saling berteriak seperti pasangan yang tengah bertengkar.

Hawa dingin, ditambah dalam kamar yang hanya ada aku dan dia, maka bisa dipastikan yang ketiga adalah setan. Tangan kami yang saling mencari menjadi semakin nyaman dalam tautan yang hangat. Mata Kak Sawandi menatapku lekat dan beberapa kali pndangan itu turun ke arah bibir membuat aku refleks menggigit bibir bawah. Aku merasakan irama Jantung berdegup sedikit lebih cepat.

Sore itu, bujuk setan mengambil alih. Aku dan dia kembali hanyut dalam romansa yang belum waktunya. Derasnya hujan menambah rasa yang baru kami cicipi semakin jauh dari batas. Hari itu, bukan hanya menjadi hari dimana aku dinyatakan lulus kuliah, juga hari dimana aku larut dalam penyerahan diri seutuhnya pada dia.

Sebuah kesalahan yang kami perbuat tidak dapat kembali diperbaiki, semua telah terjadi atas dasar cinta, mengindahkan norma agama. Semua terjadi begitu cepat, tanpa melibatkan otak, sepenuhnya perasaan dan hawa nafsu yang mengambil alih.

Setelahnya, hanya air mata dariku dan tatapan penuh sesal darinya di tengah badai yang masih berlangsung. Semua telah terjadi.

---

Kisah LamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang