Baru melanjutkan,
"Kedua guruku memintaku datang menemuimu. Sekarang aku ingin tahu apakah kau mengenal mereka?" tanya pemuda itu.
Walau masih merasa kurang senang namun si kakek juga segera menjawab.
"Aku kenal Ki Panaraan Jagad Biru, namun aku kurang akrab dengan nenek muka mayat itu." "Lalu mengapa mereka memintaku menemuimu?" tanya si gondrong tak mengerti. Si kakek
menghela nafas. Dalam hati dia berkata,
"Rupanya dua tokoh sakti sekaligus manusia paling aneh di dunia itu tak pernah memberi tahu bocah gendeng ini tentang rahasia sebuah senjata sakti yang kusimpan di bukit karang es di pantai utara. Aku tidak tahu apakah pemuda ini adalah keturunan terakhir sekaligus pewaris Istana Es yang sah. Kakek dan nenek yang menjadi gurunya tak pernah menceritakannya padaku prihal Gendeng.
Karena bocah ini sudah menemuiku, maka tugasku adalah mengantarnya menuju bukit karang Es di pantai utara. Kukira ini bukan tugas yang ringan. Mudah-mudahan saja kecemasanku tentang munculnya orang-orang yang tidak kukehendaki tak terbukti. Tugasku hanya mengantar dan mengambil senjata yang telah lama tersimpan disana."
"Hei, kenapa kau malah terdiam. Mengapa tidak segera kau jawab pertanyaanku orang tua." tanya pemuda itu.Si kakek tersadar dari lamunannya Dia kemudian menatap pemuda didepannya sekaligus berkata,
"Guru-gurumu meminta engkau menemuiku tentu dengan satu tujuan, Aku tahu tentang sesuatu yang selama ini dicari-cari orang. Kau harus ikut denganku. Namun sebelum pergi menuju ke tempat itu. Harap kau mau membantu aku menguburkan jenazah Ki Omang Sakukurata atau juga dikenal dengan julukan Elang Mata Juling." Si kakek kemudian segera hendak beranjak bangkit dari tempat duduknya, tapi Gendeng buru-buru berucap,
"Eit tunggu dulu. Jangan harap aku mau membantu menguburkan jenazah temanmu selama kau tak mau berterus terang.kau hendak mengajakku pergi ke mana dan untuk tujuan apa?"
Si kakek kembali mengusapi kepalanya yang botak. Dia jengkel namun harus juga mengakui Gendeng memang layak mengetahui mau diajak kemana. Si kakek pun kemudian berterus terang.
Setelah Bocah Ontang Anting menjelaskan semuanya Gendeng tiba-tiba membuka mulut dan berkata,
"Pedang Gila.Raja dari semua pedang yang pernah ada di dunia. Apakah mungkin aku berjodoh dengan senjata aneh peninggalan Istana Es itu?"
"Aku tidak tahu. Kalau kau keturunan prabu Sangga Langit kemungkinan pedang itu berjodoh denganmu. Apakah gurumu mengatakan kau keturunan siapa?" Si pemuda menggeleng.
"Guru tidak berkata apa-apa. Setiap kali katanya beliau- beliau mengatakan aku keturunan bapak emakku." jawab pemuda itu polos.
Mendengar jawaban itu. Sambil menahan senyum Bocah Ontang Anting menyeletuk,
"Masih bagus garis keturunanmu jelas. Apa jadinya kalau gurumu mengatakan kau keturunan monyet gila? Ha ha ha "
"Aku bersungguh-sungguh. Kau malah bercanda." kata Si kakek buru-buru tekab mulutnya, lalu berujar,
"Sudahlah. Kalau gurumu tak ada yang mau berterus terang ya tidak mengapa,sekarang yang penting kita kuburkan saja jenazah Elang Mata Juling dulu. Setelah itu kita pergi ke bukit karang Es disebelah pantai utara. Biarkan Pedang Gila menentukan jodohnya. Siapa yang berjodoh dengan pedang itu. Maka dengan sendirinya pedang akan datang kepadanya dengan cara yang tidak di sangka-sangka!" Menerangkan si kakek yang sudah mengetahui tentang sifat-sifat pedang peninggalan Istana Es itu.
Gendeng manggut-manggut.
Kakek cebol sendiri lalu membawa mayat sahabatnya keluar dari dalam pondok. Sambil menggendong jenazah sahabatnya dia menuruni anak tangga. Si kakek baru saja melewati undakan anak tangga paling bawah dan Gendeng baru saja hendak menyusulnya ketika tiba-tiba saja Bocah Ontang Anting berteriak keras keluarkan seruan kaget.
"Owalah celaka! Gusti yang agung. Pertanda buruk petunjuk buruk. Langit merah, awan merah dan lihatlah."
"Pedataran di pulau ini ternyata semuanya telah menjadi merah...!" teriak si kakek dengan suera serak terputus seperti tercekik.
Di dalam pondok Gendeng yang tak tahu apa yang dimaksudkan si kakek segera menyusul turun ke bawah. Sekali bergerak dia telah berada di depan kakek itu.
Pemuda ini pandangi orang tua di depannya. Kakek kerdil itu wajahnya pucat pasi seperti tak berdarah lagi. Mata melotot, mulut ternganga. Mata dan wajah itu menyiratkan perasaan cemas luar biasa. Mungkin saking kagetnya mayat sahabat dalam pondongannya terlepas, jatuh menggelinding diatas permukaan es yang juga berwarna merah darah.
Merasa tidak tahu apa yang terjadi, merasa tak memahami arti semua perubahan yang terjadi Gendeng menepuk bahu si kakek hingga membuat tersadar dari semua keterkejutan yang dialaminya.
"Apa yang kau ingat. Mengapa kau sepertinya sangat ketakutan sekali?" tanya pemuda itu.
Jari-jari tangannya masih menempel dipundak si kakek.
Gendeng diam-diam salurkan hawa murninya ke tubuh Bocah Ontang Anting hingga membuatnya lebih tenang. Si kakek mengusap wajahnya yang keringatan, lalu berucap dengan suara lirih. "Kau lihat langit, lihat pula sekelilingmu." pinta si kakek.
Gendeng tarik tangannya menjauh dari bahu kakek berwajah bocah itu. Dia dongakkan kepala. Dia melihat langit dan awan yang berwarna merah darah. Dia juga melihat hamparan tanah yang dilapisi es tampak merah pekat.
"Semuanya jadi merah kek. Pertanda apakah ini?" tanya pemuda itu tak mengerti.
Bukannya menjawab pertanyaan orang, sebaliknya Bocah Ontang Anting mengajukan pertanyaan,
"Sekarang sebelum segalanya menjadi terlambat. Sebaiknya kau bicara jujur dan suka berterus terang." pinta si kakek masih juga terlihat cemas.
"Apakah aku bicara bengkok dan tidak jujur padamu kek? Sejak tadi bicaraku sudah lempang-lempang saja."
"Jangan konyol ini bukan waktunya bercanda. Sekarang jawab pertanyaanku apakah kau putera terakhir gusti prabu Sangga Langit?"
"Apakah pertanyaanmu perlu kujawab?" tanya pemuda itu ragu-ragu. "Sangat. Sangat perlu..."
"Hmm, baiklah aku memang satu-satunya keluarga Istana Es yang lolos dari rencana keji terhadap pembantaian yang dilakukan oleh Maha Iblis Dari Timur. Aku dalam perjalanan mencari pedang Gila milik ayahanda prabu yang hilang juga punya tugas untuk mencari iblis pembunuh itu," terang si Gendeng.
Mendengar itu si kakek jatuhkan diri berlutut di depan si Gendeng, kemudian buru-buru menjura dengan segala hormat.
"Memang ini bukan waktunya untuk berbasa-basi. Tapi sebagai pangeran putera prabu Sangga Langit perlu kiranya seorang kawula menghormat pada gusti pangerannya. Terimalah hormat hamba pangeran Raja."
Bocah Ontang Anting membungkuk tiga kali. Gendeng tercengang namun buru-buru membuka mulut.
"Apa ini?"
"Mengapa kau menghormat padaku? Aku tak suka ini. Lekas bangun kek dan jangan memanggilku pangeran atau Raja.Panggil saja aku Gendeng."
"Tapi pangeran engkau adalah...!" Si kakek masih juga berlutut.
ini membuat Gendeng yang memang keturunan terakhir prabu Sangga Langit jadi tidak sabar "Bangun kataku!" teriak pemuda itu karena melihat tepi lembah Tapa Rasa tempat dimana mereka berada mulai mengalami guncangan seperti dilanda gempa.
"Lekas bangun. Hilangkan semua rasa dan perbedaan. Kau dan aku sama saja, sama-sama manusia biasa dan tolol. Lekas terangkan padaku arti semua keanehan ini!" desak Gendeng tidak sabar.

KAMU SEDANG MEMBACA
01. PEDANG GILA - 313
HumorCerita ini diambil dari Serial Silat Sang Maha Sakti Karya Rahmat Affandi. Dengan tokoh Protagonis Raja Gendeng 313 yang dikenal dengan Pendekar Pedang Gila.