11

1.2K 178 83
                                    

Bandara Prince Mohammad bin Abdul Aziz, tempat dimana kakinya kini menapaki lantai marmer menuju ruang tunggu. Tiga puluh menit sebelum maghrib tadi, pesawat yang ditumpanginya landding di Madinah. Suaminya berkata ada banyak keuntungan jika mendarat di Madinah daripada di Jeddah yang super sibuk, salah satunya adalah hemat waktu dan tenaga.

Pandangan Sakura mengedar pada design bandara dengan payung-payung seperti Masjid Nabawi. Ya Allah hawa-hawanya sudah syahdu begini, sungguh ia tak sabar ziarah ke makam Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam.

Ketiganya terlihat tak direpotkan dengan koper atau segala macam tas tentengan. Pasalnya bawaan mereka sudah diambil alih terhitung sejak mendarat hingga tiba di hotel yang berhadapan langsung dengan pelataran Masjid Nabawi, bahkan dengan senang hati para pegawai mengantarnya sampai di kamar masing-masing.

Naruto melirik seklias sohibnya yang terlihat fokus ke depan dengan tangan yang senantiasa tertaut dengan Sakura, mungkin ada lem Korea sekilo ditelapak tangan keduanya. Keningnya terlipat mendengar bahasa arab yang meluncur dari bibir Sasuke serta pegawai hotel. Sejujurnya ia sedikit iri, kenapa si kepik itu bisa menguasai berbagai macam bahasa, semoga saja bahasa isyarat tak diembatnya juga.

"Ini," ujar Sasuke sembari menyerahkan kartu hotel dengan tulisan Dar El Taqwa Hotel pada Naruto.

Naruto mengernyit bingung. "Pegang aja kali Sas, kan gue yang numpang."

"Aku sekamar sama istriku."

"Lha katanya pisah kamar," Iris biru Naruto menyorot bingung ke arah Sakura yang hanya dibalas gelengan tak mengerti. "Gimana sih?"

"Gak papa, belum ambil miqat," Sasuke menempelkan kartu pada gagang pintu, kedua tangannya lantas menyeret koper miliknya dan sang istri. "Lagian aku cuma tidur gak ngapa-nagapin."

"Mas, serius lho aku gak papa."

"Kamu gak papa, aku yang gak bisa dek," Sejenak Sasuke melirik ke arah sohibnya. "Kalau ada apa-apa atau mau keluar telpon aja Nar."

"Siap bosku," Naruto mengacungkan jempol kanannya. "Isya' nanti kita jamaah di Masjid Nabawi kan?" tanyanya penuh semangat sekan tak ada rasa lelah pada tubuhnya.

"In Syaa Allah," Sasuke mengangguk singkat. "Buruan bersih diri, lama aku tinggal."

"Dih."

Sakura menggeleng melihat interaksi kedua sahabatnya. Setelah menutup pintu, sepatu putihnya bergerak menapaki jejak kaki yang ditinggalkan suaminya. Segera ia buka resleting koper Sasuke guna menyiapkan pakaiannya.

"Mau pake jubah warna apa mas?"

"Kamu pake gamisnya warna apa dulu," Sebisa mungkin hatinya senantiasa mengucap dzikir. Ia bersyukur istrinya juga sangat pengertian akan situasi mereka. Lihat, jilbabnya bahkan tak kunjung dilepas. "Hiatm atau putih?"

"Hitam deh kayaknya."

"Hitam juga."

Sakura mengangguk, mengeluarkan handuk dan potongan pakaian suaminya serta perlengkapan mandi lantas menyerahkannya pada Sasuke. "Lekas mandi nanti ganti aku, keburu masjid bagian dalamnya penuh."

"Sebenernya jadwal kita mulai besok dek," Sasuke mengusap pelan kepala istrinya. "Tapi berhubung istriku dan si Naruto sudah gak sabar, jadi ayo ke Masjid Nabawi."

"Gak sabar pengen masuk," Giok hijau Sakura terlihat sudah berembun. "Pengen ziarah, pengen sholat di Raudhah, pengen ..."

Melihat Sakura yang mulai menangis, Sasuke hanya mengulas senyum. Bahkan saat pertama kali menginjakaan kaki di halaman hotel, istrinya sudah menangis kala menangkap pemandangan riuhnya pelataran Masjid Nabawi. Ia menarik lengan istrinya, membawanya mendekat pada tirai besar, lantas menyibak tirai tersebut membuat wanitanya terperangah dengan pandangan di depannya.

Seatap SejiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang