Fang 29 | Good Bye

40 8 0
                                    


Air muka Sophia berubah panik. Dia menggeleng beberapa kali. "Tidak! Jangan tinggalkan aku, Raven!"

Raven berusaha mencari iris Sophia dalam penglihatannya yang samar-samar. "Maafkan aku, Sophia. Tapi rasanya sangat sakit. Aku tidak bisa melindungimu dengan benar."

"Berhenti berbicara!" isak Sophia dengan air mata yang turun semakin deras.

"Jangan menangis, Sophia."ujarnya sekali lagi. Namun nyatanya, Raven juga tak dapat menyembunyikan air matanya. Ia merasa ingin melihat wajah cantik Sophia lebih lama. Ia ingin berada di sisi Sophia lebih lama lagi. Sayangnya, kesadaran dalam tubuhnya terus saja berkurang.

Remasan pada pakaian Raven semakin mengerat. Sophia tidak ingin kehilangan orang-orang terdekatnya lagi kali ini. Ia tidak dapat menahan isak tangisnya kala mengingat semua yang ada di sekitarnya menghilang dengan cepat.

Orangtuanya lah yang pertama, lalu paman dan bibinya, desa-desa tempatnya tinggal tidak pernah bertahan lama. Ia juga tidak melupakan Aida, gadis pirang yang menjadi sahabatnya dalam waktu singkat juga harus merenggang nyawa karena gigitan vampire di malam bulan purnama.

Sophia bahkan tidak tahu bagaimana keadaan Kniga dan si Kembar Stephanotis yang melindunginya hingga mempertaruhkan nyawanya. Ia pikir dengan berada di sisi Raven yang memiliki kekuatan manusia serigala dan vampire, maka ia bisa bertahan hidup dan tidak perlu khawatir akan kematian dirinya dan Raven.

Namun saat ini berbeda, Sophia meraung-raung pada hembusan angin musim gugur, beharap agar nyawa Raven dapat terselamatkan. Ia meraup wajah Raven dengan kedua tangannya, berusaha menatap dalam pada dua jelaganya yang hampir kehilangan cahayanya.

"Jika seperti ini mungkin sebaiknya aku mati saja," keluh Sophia. Ia mendekatkan bibirnya ke wajah pria itu. "Aku tidak bisa hidup tampa dirimu, Raven."

Raven tahu hal itu. Jika dirinya memang tidak bisa lagi membuka matanya, maka hidup Sophia akan terus sengsara. "Hey," panggil Raven pelan. "Kau bisa tinggal dengan keluargaku. Mereka pasti akan melindungimu."

Sophia terkejut dengan pernyataan Raven, tetapi ia menggeleng. "Aku tidak bisa hidup tanpa dirimu," ulangnya. "Jika aku harus hidup, maka kau juga harus hidup!"

"Tidak bisa! Bagaimana caranya?"

Sophia melepaskan diri dari Raven. Mata hijaunya menatap Raven, lalu tangannya meraih rambut coklat panjangnya dan menyingkapnya, mengumpulkannya menjadi satu di sisi kanan lehernya.

"Dia meminum darahku dan lukanya sembuh dengan cepat. Saat kau demam, aku juga memberikan sedikit darahku dan kau semakin membaik. Kau bilang jika taringmu beracun, tetapi Hemlock menggigitku, sakit memang, tetapi kupikir tidak apa-apa."

Raven tetap bergeming meski mata hitamnya menatap lurus leher Sophia yang bening. Jika dia sama seperti werewolf Dan vampire yang lain, mungkin dia akan menyerang Sophia saat ini.

"Kenapa?" tanya gadis itu keheranan.

"Mungkin Hemlock sama denganku, tetapi dia bisa mengendalikan kekuatannya. Sedikit saja aku meminum darahmu, aku akan kehilangan kendali. Kau tidak tahu seberapa kerasnya aku menahan diriku di ruangan yang penuh dengan baumu ini," jawab Raven.

"Tidak masalah! Yang penting kau tetap hidup."

"Dan terus menyesali kehidupanku karena sudah membunuhmu? Tidak, Sophia."

"Kalau begitu tandai aku!" Mata hitam Raven dengan cepat menatap Sophia. "Jadikan aku milikmu sendiri! Bukankah dengan cara itu, maka aromamu akan berada dalam diriku juga?"

Raven menatap Sophia penuh keraguan. Ia masih ingat akan suara teriakan kesakitan yang selalu menjadi mimpi buruknya, awal dari rasa traumanya untuk menggigit manusia secara langsung, tetapi gadis di hadapannya ini bahkan menyerahkan dirinya.

"Tidak apa-apa, Raven," bisik Sophia lembut dengan menyentuh wajahnya.

"Apa kau tahu? Menandai pasanganmu itu lebih menyakitkan dari sekedar meminum darahnya," kata Raven. "Aku harus menggigitmu, menusukkan taringku hingga aku merasakan dagingmu yang paling dalam. Jika aku kehilangan kendaliku, bisa-bisa aku mengoyakmu."

Sophia tidak peduli dengan apa yang dikatakan oleh Raven kepadanya. Ia memeluk Raven sekali lagi dan memiringkan kepalanya, memberikan akses penuh pada mulut Raven di lehernya.

Raven memejamkan matanya dan menahan nafas. Aroma mawarnya yang lezat sangat kuat di leher Sophia. Tangannya dengan perlahan merengkuh pinggang Sophia dan mendekatkannya pada tubuhnya.

Degup jantung Raven dan Sophia saling bertautan dalam keserasian. Raven bernafas pelan dan memberikan sensasi geli di leher Sophia. Saat ia membuka matanya, warna ruby berkilauan di sana, sedikit bercampur dengan warna emas milik sisi serigalanya.

Raven membuka mulutnya, mengeluarkan taringnya yang tajam dan mengkilat. Sophia melenguh pelan saat taring Raven menyentuh lehernya. Jantung gadis itu rasanya seperti ingin meledak saat Raven melakukannya.

"Akh!" Sophia menahan teriaknya saat Raven menggigitnya. Seluruh tubuhnya seperti tersengat listrik, ia dapat merasakan darahnya mengalir pada satu titik di mana Raven membenamkan taringnya.

Pupil Raven membesar. Ia sudah lupa rasanya mengigit manusia yang masih hangat, sedikit ketakutan dengan suara teriakan kecil yang dibuat oleh Sophia. Ia bersyukur Sophia menahannya meski rasanya pasti sangatlah menyakitkan.

Darah Sophia terasa sangat manis. Ia tidak pernah meminum darah seperti itu. Rasa paling lezat yang pernah ia minum hanya sekedar rasa tawar yang berasal dari darah ibunya, dan ia harus tetap meminum darah-darah itu untuk bertahan hidup. Hal ini membuat sisi dalam dirinya menggebu-gebu saat merasakan hal yang berbeda.

Lengannya dengan kuat memeluk Sophia semakin erat bersamaan dengan taringnya yang terus menerobos masuk. Ia tak menyadari jika Sophia terus mendongakkan kepalanya, mengigit bibirnya hingga berdarah saat merasakan gigitan Raven.

Geraman terdengar dari mulut Raven. Ia mulai kehilangan kendalinya, efek dari darah Sophia lebih kuat dari apa yang dibayangkan sebelumnya.

Sophia menyadari jika gigitan Raven berbeda dengan sebelumnya. Terasa kasar dan lebih menyakitkan dari sebelumnya. "Argh!" jerit Sophia di tengah kesakitannya.

Raven berhenti dengan cepat, meski taringnya masih ada di leher jenjang Sophia. Nafasnya terdengar kasar tidak beraturan. Jeritan Sophia membuatnya kembali pada dirinya sendiri.

Sophia membuka matanya perlahan saat menyadari darahnya tidak mengalir seperti sebelumnya. Tangannya yang awalnya mencengkram baju Raven bergerak menuju rambut pria itu. Ia mengelusnya dan tersenyum lembut meski Raven tidak dapat melihatnya.

"Tidak apa-apa, lanjutkan saja," ujar Sophia dengan nafas lambat. Matanya tiba-tiba saja menjadi lebih berat dari sebelumnya. Kepalanya terkulai lemas di bahu Raven yang keras tetapi nyaman. Tenaganya seperti menguap dan menyatu bersama dinginnya ruangan itu.

Apa yang terjadi? Apa Raven meminum darahku terlalu banyak?, batin Sophia bertanya-tanya. Tubuhnya seakan ditimpa beban yang sangat berat sehingga tidak dapat digerakkan.

Meski Sophia tidak tahu, tetapi Raven merasakan hal yang sama. Entah mengapa lukanya terasa lebih sakit. Tenaganya untuk menggigit Sophia menghilang, untungnya ia berhasil menandai Sophia di saat-saat terakhir.

Raven melepaskan taringnya dari kulit Sophia. Ia menjilat bekas gigitannya yang meneteskan darah dengan gemetar. Ia memberikan kecupan terakhirnya pada kulit Sophia yang mendingin.

Lengan Raven merengkuh Sophia dengan erat menggunakan seluruh tenaga yang tersisa. Bahkan di saat nafasnya semakin memberat, ia tetap mengkhawatirkan Sophia. Ia takut taringnya yang beracun membuat gadisnya tidak dapat bernafas lagi.

Raven meletakkan dagunya di perpotongan bahu Sophia. Kepalanya terasa sangat pusing dan berputar. Ia mungkin egois karena berpikir untuk tidak meninggalkan Sophia sendirian. Ia tidak dapat membayangkan gadis itu melalui kehidupannya seorang diri. Ia ingin berada di sisi Sophia, melindunginya dengan semua tenaganya, melihat Sophia tersenyum lebar, dan membuat gadis itu bahagia hingga tidak lagi berpikir bahwa hidupnya adalah sebuah petaka.

Dengan suara lirih, Raven mendekatkan bibirnya ke telinga Sophia, membisikkan kalimat-kalimatnya pada gadis yang kesadarannya semakin menghilang.

"... selamat tinggal, Sophia. Terima kasih karena selalu berada di sisiku."

Roses | Book 2 of 2 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang