Fang 1 | Beautiful Red Eyes

978 85 7
                                    

.
.
.

Fang 1
Beautiful Red Eyes

.
.
.

"Sophia, perhatikan langkah kakimu, karena setelah melewati gerbang ini, kita akan tiba di Centerbay," ucap pria berambut dan beriris hitam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Sophia, perhatikan langkah kakimu, karena setelah melewati gerbang ini, kita akan tiba di Centerbay," ucap pria berambut dan beriris hitam.

Gadis berhelaian kecoklatan yang dipanggil dengan nama Sophia itu mendongak, melihat seberapa tingginya gerbang masuk kota yang menyambut kedatangan mereka. Tepat di sebelah ia berdiri, kereta kuda yang mengangkut barang dagangan berjejer dengan rapi, saling mengantri sebelum bisa memasuki kota. Orang-orang asing saling berbincang sembari menunggu antrian masuk, saling bertukar informasi, atau hanya sekadar duduk di pinggiran jalan untuk melepas penat. Sementara yang berada di barisan depan sudah siap dengan surat-surat mereka, siap untuk diperiksa oleh para penjaga yang bekerja tanpa lelah

"Sophia, giliran kita," ajak pria itu sembari menggandeng Sophia yang terlalu asyik mengamati indahnya arsitektur dan pahatan pintu masuk kota. Gadis itu sadar dan segera menyamakan langkah kakinya dengan pria itu.

Pria dua puluh satu tahun itu, Raven Windblows, mengeluarkan beberapa uang koin dari dalam kantungnya. Penjaga menerima dan memberikan beberapa pertanyaan kepadanya. Sementara itu, Sophia tak memperhatikan lebih jauh, pemandangan kota di balik pintu besi itu lebih menarik baginya.

Pintu besi itu berderit dan membuat mata Sophia semakin berbinar. Sebelum mereka benar-benar melewatinya, Raven menghentikan langkah gadis itu, mengamati pita berbandul emblem klannya yang melingkar di leher jenjang gadis itu.

"Bagus," kata Raven. Gadis bermata kehijauan itu menatap pria di depannya aneh, tidak paham dengan apa yang sebenarnya pria itu perhatikan dari dirinya.

Sophia mengamati Raven mengikat satu bandul lain di lehernya. Jika ia boleh menebak, maka pria itu menggunakan liontin dengan lambang angin dan gunung, simbol dari keluarga pria itu. Iris hitam yang menawan itu memerah seketika saat mereka berjalan memasuki kota.

Sophia segera mengerti mengapa pria itu memasang mata vampirnya, padahal Raven terbiasa untuk tidak menunjukkan identitasnya yang asli di mana pun ia berada. Mata hijaunya dapat melihat orang-orang yang tak biasa seperti Raven saling berbincang satu sama lain. Sophia dapat menemukan wujud manusia serigala di beberapa sudut jalanan dan manusia bermata merah selain pria di sampingnya.

"Kau pasti terkejut," ungkap Raven. Sophia segera menoleh dan mengangguk cepat. "Semenjak pemerintahan di sini bekerja sama dengan bangsawan keturunan vampir, semuanya berjalan dengan rukun. Peraturan bagi vampir, werewolf, maupun manusia berlaku dengan adil. Di sini sama nyamannya dengan wilayah Aismount dan Windblows."

Roses | Book 2 of 2 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang