•Psyco• 5. Alano's Weakness Point

848 114 7
                                    

Hiruk pikuk tidak terdengar disini. Semilir angin menyapu lembut wajah keduanya. Rambut mereka ikut bergoyang kecil, mengikuti arah gerak angin yang membawanya. Satu dari mereka terduduk menatapi dua makam yang terletak bersebelahan, tatapan sendu ia perlihatkan. Satu lainnya hanya berdiri, tidak melakukan apapun sejak beberapa menit terakhir mereka disini. Suasana dingin pemakaman rasanya membuat Alfa ingin pulang saja. Alfa tidak kuat, dadanya sesak.

"Abang?"

"Hm, kenapa? Kamu ga kangen ayah bunda?"

Alfa menelengkan kepalanya tidak mengerti. Kenapa abangnya tiba tiba membahas perihal ayah bunda begini? Biasanya abang akan marah kalau Alfa menanyakannya.

"Ini ayah bunda, abang?"

Alfa dapan melihat Alano tersenyum tipis, senyum sendu sarat kesedihan didapan senyumannya itu. Alfa akhirnya ikut berjongkok disamping Alano. Mengikuti apa yang Alano lakukan pada dua makam bersebelahan yang diduga merupakan milik ayah dan bunda mereka. Alfa mencabuti rumput rumput yang menumbuhi makan kedua orang tuanya.

Suasana menjadi hening sesaat. Keduanya hanya fokus dengan kegiatan mereka itu, dengan pikiran yang melayang entah kemana.

"Kamu kangen mereka, ya?" tanya Alano begitu tiba tiba.

Alfa menoleh kearahnya, sesaat sebelum kembali pada kegiatannya sebelumnya. Alfa mengangguk, "iya, abang. Alfa kangen banget sama mereka."

"Abang juga kangen mereka, dek." Suara Alano terdengar lirih. Tapi Alfa enggan untuk menoleh, ia tau abangnya itu tidak mau Alfa melihat keadaan dirinya yang seperti ini. Jadi, Alfa mencoba untuk fokus mencabuti rumput makan ayah bunda saja.

Selang beberapa menit, mereka kembali hening.

Keheningan kembali pecah ketika suara Alano kembali terdengar.

"Maafin abang ya, dek."

Saat Alano mengatakan itu, barulah Alfa memberanikan dirinya untuk menatap wajah prustasi abangnya itu. Hati Alfa terenyuh melihat abangnya. Kapan ya terakhir kali Alano menampilkan ekspresi wajah seprustasi ini?

Tangan Alfa terulur untuk menarik Alano kedalam pelukan singkat. Saat ini abangnya butuh kalimat penenang untuk menetralisir kegundahan dalam hatinya. "Abang ga perlu minta maaf. Abang ga salah."

"Adek, jangan tinggalin abang, ya?" lirih Alano. Dirinya masih dipeluk Alfa, ia masih belum membalas pelukan dari sang adik.

Alano hanya takut, ia takut menggenggam Alfa terlalu erat yang membuat adiknya itu memutuskan untuk pergi. Tidak ada lagi dunia untuknya. Ayah dan bunda sudah pergi. Benar benar hanya Alfa lah yang tersisa untuknya. Alano tidak bisa membayangkan bagaimana dirinya tanpa Alfa. Ia tudak tau apa yang harus ia lakukan pada dirinya sendiri jika hal itu terjadi. Kepergian Alfa adalah hal yang paling menyeramkan dalan skenario hidupnya. Alfa adalah satu satunya miliknya saat ini.

"Ayah bunda udah pergi. Adek jangan ikutan pergi, ya?"

"Adek, jawab. Jangan pergi abang mohon. Jangan tinggalin abang sendiri. Abang ga tau mau pergi kemana setelah ini." Suaranya terdengat semakin lirih. Alfa masih tetap mempertahankan posisinya memeluk Alano. Abangnya sedang kalut sekarang. Abangnya sedang tidak bisa mengontrol emosinya sendiri seperti biasa.

"Dek, jangan gini. Jawab. Jangan pernah tinggalin abang ya, dek."

Kedua tangan Alano di sisi tubuhnya mengepal erat. Takut akan tak adanya jawaban dari sang adik yang membuat denial pada dirinya. Alano juga takut akan jawaban yang akan Alfa berikan, ia takut penolakan. Alano takut penolakan yang di berikan sang adik untuknya. Ia terlalu takut untuk menerima penolakan dari Alfa.

Sweet PsycoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang