2) Tetangga

59 7 2
                                    

oOoOo

"Silahkan masuk, Pak, Bu," kata Ashel, mempersilahkan. Pria itu membuka pintu lebar-lebar, membiarkan keluarga kecil itu masuk ke dalam rumahnya.

Sepertinya, pria itu masih belum menyadari Arunika yang memegangi rantang makanan. Gadis itu panik, lalu berbisik pada ibu. "Ibu, a-aku harus pulang, aku harus mengerjakan pekerjaan rumah," ujarnya, berbohong.

"Kenapa sekarang? Tunggulah sebentar, lagi pula, ini tidak akan lama," jawaban ibu, sudah menegaskan bahwa ia tidak bisa lagi kemana-mana sekarang. Akhirnya, Aru ikut masuk dengan kepala sedikit menunduk.

"Silahkan duduk," ucap pria tanpa kacamata itu. Keluarga kecil itu duduk di sofa panjang berwarna hitam dengan meja kecil di hadapannya.

Meski pun gugup, Aru mencoba untuk melihat sekeliling. Rumahnya benar-benar bersih. Semua barang tertata rapi, selain itu, dirinya banyak melihat lukisan bunga terpajang di dinding dengan cat tembok yang nampak masih segar.

Tidak banyak perabotan, bahkan tidak nampak sebuah televisi di sana. Rumah ini memang lebih kecil dibandingkan dengan rumah miliknya, ruang tamunya tidak terlalu besar dan hanya ada satu kamar di lantai atas.

Gadis itu tahu, karena dulu, ia pernah bermain dengan tetangganya terdahulu di tempat ini. Tapi saat ini, ia merasa, bahwa tempat ini benar-benar berbeda. Beda manusia, beda pula suasana tempat yang mereka tinggali.

"Maaf, kami baru bisa berkunjung. Kami dari keluarga Brown. Rumah kita bersebelahan, semoga kamu nyaman dan kita bisa berhubungan baik sebagai tetangga," kata Ayah, dengan senyuman yang hampir membuat matanya tertutup.

Ibu mengambil rantang yang Aru pegang. "Ini, anggap saja sebagai hadiah ucapan selamat datang dari kami."

Ashel menerimanya. "Benarkah? Terima kasih," jawabnya, dengan senyuman dan tatapan sedikit terkejut. Ia meletakkan rantang itu di atas meja. "Maaf sebelumnya, saya tidak tahu kalau di lingkungan ini, tradisi menyambut tetangga masih dipertahankan.

"Saya jadi sedikit terkejut, dan terharu. Terima kasih sebelumnya. Perkenalkan, nama saya Ashel. Semoga kita bisa membangun hubungan yang baik, dan mohon bantuannya," paparnya, dengan senyuman manis.

"Apa kamu tinggal sendiri?" tanya kakaknya Aru, yang nampak seumuran dengan Ashel.

"Iya, saya tinggal sendiri di sini."

"Benarkah? Apa kamu makan dengan teratur?" tanya ibu.

Ashel menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Pria bujangan bisa makan apa saja, dan saya juga sedikit-sedikit bisa memasak." Ia tersenyum samar.

"Ouh, kamu masih bujangan? Saya kira, kamu memiliki istri."

"Apakah saya terlihat sudah beristri?" tanya Ashel.

"Ayahku memang selalu seperti itu," bisik kakaknya Aru, lalu memberikan tangannya, mengajaknya bersalaman. "Namaku Arul. Sepertinya usia kita tidak jauh berbeda. Apa kau sedang belajar? Atau saat ini sedang bekerja?"

Ashel menerima tangannya. "Salam kenal, Arul. Saat ini aku sedang bekerja, sebagai guru." Jantung Aru semakin berdegup kencang, saat mata pria itu meliriknya sekilas. "Di Sekolah Menengah Atas Mawar," lanjutnya. Gadis itu, bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya.

Seberang JendelaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang