17) Kepercayaan

23 3 0
                                    

oOoOo

"Bagaimana kabarmu?" Spontan Fiko bertanya, memecah keheningan diantara mereka.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" Aru malah menjawabnya dengan pertanyaan juga.

Fiko menghela napas, tahu kalau ini akan terjadi. "Sudah empat hari kamu tidak masuk sekolah. Apa kamu menyadari hal itu?" Pria itu duduk dilantai, meletakkan tas dan paper bag-nya. Mencoba untuk tetap sabar. "Jangan salah paham, aku ke mari untuk meminjamkan buku-buku ini padamu."

"Simpan saja di situ. Terima kasih," kata Aru, kembali membelakangi Fiko.

Fiko terdiam, lalu meletakkan buku-buku yang dibawanya di atas sebuah meja kecil, terdapat beberapa buku catatan milik Aru. Sepertinya, itu adalah meja belajar milik gadis itu. Mata Fiko juga menangkap naskah cerita Romeo dan Juliet dalam bahasa Inggris yang tergeletak.

"Apa kamu sudah hapal naskahnya? Untuk perlombaan nanti?" Fiko mengganti topik.

"Aku akan mengundurkan diri."

Fiko terkejut, sontak bertanya, "Kenapa?"

"Aku tidak bisa melakukannya, tidak bisa," jawab Aru, tanpa berbalik menatapnya. Pria itu melangkah mendekat, menarik lengan gadis itu agar berbalik menatapnya. Aru terheran dengan perilaku temannya, lantas menepis lengan Fiko.

"Kenapa tidak bisa?"

Aru terkekeh. "Orang-orang berbakat seperti kalian tidak akan merasakan apa yang aku rasakan."

Fiko memutar bola matanya, menghela napas. "Hah, kamu memang sedangkal itu."

"Sedangkal apa? Bakat adalah takdir. Orang-orang sepertiku harus merangkak naik untuk mencapai sesuatu yang sebenarnya tidak bisa dilakukan. Lebih singkatnya, kalian orang-orang berbakat diberi anugerah," paparnya.

Fiko merapatkan kedua alisnya, semakin tidak paham pemikiran gadis di hadapannya ini. "Maksudmu, aku tidak berusaha?"

"Aku tidak mengatakannya. Tapi setidaknya, bakat kalian tidak membuat kalian harus berusaha dari nol. Apa yang ada di dalam diri kalian, hanya perlu diberi sedikit dorongan, dan tidak perlu belajar berjalan."

Pria itu nampak kesal, tapi masih berusaha untuk tetap tenang. "Bahkan orang-orang yang kamu sebut memiliki bakat pun, harus memulai semuanya dari titik nol. Tidak ada yang instan, bahkan mie instan pun harus direbus terlebih dahulu.

"Kamu bisa melakukannya. Bakat bisa dicari, setiap orang memiliki potensinya masing-masing," ujarnya, mencoba membuat Aru paham.

"Aku tidak bisa. Sebaiknya tinggalkan aku sendiri," usir Aru, secara langsung.

"Sampai kapan?"

Tubuh gadis itu kembali berbalik, menatap Fiko jengkel. "Apa maksudmu."

"Sampai kapan kamu akan menghindar?" Pria itu menutup wajahnya, merasa bingung dicampur kesal. "Dengar, aku ke mari bukan untuk berdebat denganmu mengenai perlombaan itu. Aku ke mari untuk memastikan keadaanmu.

"Apa kamu baik-baik saja? Teman-temanmu menanyakan keadaanmu, bahkan kamu tidak membalas pesan dari mereka. Mereka khawatir, begitu juga denganku. Jadi jangan berdebat denganku masalah itu," ucap Fiko, dengan beberapa penekanan setiap katanya.

"Maaf, aku baik. Aku hanya sedikit trauma, itu saja. Mungkin aku tidak mau naik bus yang ramai penumpangnya," jawab Aru, "aku akan mengabari mereka nanti." Aru kembali membelakanginya.

Fiko menghampirinya, menepuk belakang pundak gadis itu. Dirinya terkejut, mendadak Aru berbalik dengan tangan kanan, yang secara refleks terangkat, hendak menampar pipi pria itu. Tangan gadis itu gemetaran, dan terhenti di pinggir pipi Fiko.

Seberang JendelaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang