26) Pengakuan

25 3 0
                                    

oOoOo

"Apa aku salah memiliki perasaan ini?"

Aru memegangi dadanya yang tidak berhenti berdebar, saat matanya tertuju pada pria yang sedang menuliskan materi di ruang perpustakaan yang kini kembali ramai karena sudah memasuki tahun ajaran baru.

Ia mencuri-curi pandang pada pria berkacamata itu, yang sesekali memergokinya. Tapi seolah semua itu adalah hal yang biasa, tidak ada yang mencurigai apa yang tengah dirasakan salah satu diantara keduanya.

Namun, sepasang mata lain perlahan menyadarinya. Ada sesuatu yang hadir, dimana seharusnya hal itu tidak pernah ada. Fiko merasakannya, sudah sedari awal menyadarinya.

Remaja itu menyiku Aru yang duduk di sampingnya hingga membuatnya terbangun dari dunia fantasinya. Ia menoleh, dengan alis yang sedikit terpaut.

"Ada apa?" bisiknya.

"Angle-mu, kiri ya," kata Fiko.

"Siapa peduli soal itu?"

"Beberapa orang."

"Itu mereka, bukan Aru." Gadis itu kembali fokus pada titik pandang sebelumnya.

Akhirnya, kegiatan klub ditutup dengan tugas seperti biasanya. Para anggota langsung berbenah, kemudian satu persatu ke luar dari ruangan, termasuk Fiko yang sudah menggendong tasnya.

"Mau minum di suatu tempat?" ujar Fiko, pada Aru yang masih merapikan bukunya.

"Apa kau ingin membicarakan sesuatu?"

"Kenapa kau bisa tau?"

"Terlihat sangat jelas," jawabnya, kemudian menggendong tasnya. "Bicarakan saja sekarang, aku ingin segera pulang ke rumah."

"Ide yang bagus." Fiko melangkah lebih dekat, mempersempit jarak pada Aru yang masih duduk di kursinya. "Apa kau menyukaiku, Aru?"

Aru nampak sedikit kaget dengan pertanyaan itu. Spontan, ia menjawab, "Apa maksudmu?"

"Tinggal mengatakan iya, apa susahnya?"

"Jika kau tau, kenapa aku harus mengatakannya?"

"Aku hanya ingin mendengarnya."

Aru nampak gelisah, tidak nyaman dengan topik pembicaraan ini. "Dasar orang aneh." Ia bergegas merapikan barang-barangnya, kemudian berjalan melewati Fiko.

Langkahnya terhenti ketika ia merasa ada seseorang yang menahan lengannya. Ia berbalik, menatap si pelaku dengan tidak suka. "Lepaskan aku," ucap Aru, dengan penekanan. "Aku tidak ingin ribut denganmu."

"Kenapa kamu mengatakan iya?"

"Apa maksudmu?"

"Saat itu. Jadi, semuanya palsu?" Fiko menjatuhkan tangannya di kedua bahu Aru, memaksanya untuk beradu pandang secara intens. "Apa kamu benar-benar tidak menyukaiku, Arunika?"

Aru tidak bisa memutus kontak mata itu. Tubuhnya mematung di tempat, dengan bibir yang sedikit bergetar mencari ungkapan yang pas untuk pria di hadapannya. "Apaan, sih?!"

"Jawab, Aru." Fiko memelankan suaranya, dengan nada turun, ia berkata, "Apa benar, kamu menyukai Mr. Ashel?"

Emosinya memuncak, semua rekaman-rekaman tergambar cepat di dalam pikirannya. Seperti seorang fotografer, yang selalu menyoroti pemeran utama. Pria berkacamata itu, selalu nampak di setiap rekaman yang ada.

Seberang JendelaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang