25) Hadiah

26 2 0
                                    

oOoOo

"Kamu serius mau naik ini?"

"Apa kamu takut, Fiko?"

Di hari Minggu yang panas ini, kedua remaja yang sama-sama menggunakan topi berwarna putih itu memandangi sebuah wahana uji adrenalin yang membuat siapapun menaikinya akan berteriak kegirangan, atau mungkin ketakutan.

"Aku hanya tidak ingin kamu mual."

"Tenang saja." Aru berjalan terlebih dahulu, kemudian berhenti dan membalikkan badan ketika menyadari bahwa kekasihnya itu masih terpaku di tempatnya. "Ayo."

Fiko tersenyum, melangkah mengikuti kekasihnya yang nampak begitu antusias. Ia membeli tiket, kemudian turut masuk ke dalam barisan antrean yang lumayan panjang. Selang beberapa menit, akhirnya mereka sampai di barisan paling depan dan mulai menaiki wahana.

Setelah keduanya duduk berdampingan dan pengaman terpasang secara otomatis, hitung mundur akhirnya di mulai. Fiko melirik Aru yang nampak berkeringat antusias.

Wahana akhirnya dimulai, teriakan-teriakan terdengar menggema seiring pergerakan roller coaster yang cepat dan berputar beberapa kali pada lintasannya. Aru nampak menjerit, sama halnya dengan Fiko yang mencoba menahan suaranya.

Wahana itu akhirnya selesai dalam beberapa menit, menampakkan wajah-wajah manusia yang berkeringat dan lemas. Bahkan, salah satu dari mereka langsung keluar dan berlari cepat mencari toilet terdekat.

Aru berjalan di samping Fiko, kemudian berseru, "Itu sangat menyenangkan, kan?"

"Tidak terlalu buruk."

"Aku yakin kamu akan berpikir begitu."

Pria itu tersenyum lembut, memerhatikan wajah Aru dari samping. Tidak ada yang spesial dari remaja itu, atau bisa dikatakan, Aru kalah cantik dari teman-teman sekelasnya. Tapi entah kenapa, Fiko merasa ada sesuatu yang dimiliki Aru, tapi tidak dimiliki oleh gadis lainnya.

"Kamu cantik sekali," puji Fiko.

"Aku?" Aru heran, menunjuk dirinya sendiri. "Apa kamu buta? Lihat, aku sangat berantakan! Kamu pasti sedang mengejekku."

"Itulah sebabnya mereka mengatakan cinta itu buta."

Aru tertegun, menahan senyuman di wajahnya. "Terserah padamu."

Keduanya terus berjalan, kemudian duduk di kursi yang terdapat pohon rindang di sana. Aru membuka topinya, mengibas-ngibaskan benda itu di depan wajahnya.

"Mau pulang jam berapa?"

"Sebentar lagi."

"Ouh, oke," kata Aru, "tapi, kenapa kamu tiba-tiba mengajakku ke sini, Fiko?"

Pria itu melirik ke arah keramaian. "Apa aku perlu alasan untuk itu?"

"Tentu, aku rasa."

"Aku hanya ingin menghabiskan waktu denganmu dan ... melihat banyak wajah baru milikimu."

Gadis itu nampak heran. "Wajah baru?"

"Ekspresi, lebih tepatnya." Fiko berdehem. "Banyak ekspresi yang ingin aku lihat. Maksudku, tersenyum, tertawa, menangis, marah, takut, kecewa, simpati, aku ingin banyak melihat itu semua, darimu."

Seberang JendelaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang