24

2.1K 236 42
                                    

Seperti biasanya, sesi makan Renjun memang selalu ditemani ponsel miliknya. Sarapan pagi ini tampak biasa saja bagi Renjun. Namun tidak bagi Bi Nuni yang merasakan aura gelap diantara tatapan dua pria di sisi kanan dan kiri Renjun. Pria mungil yang terduduk di tengah tampak tenang dan sesekali terkekeh karena tontonan di ponselnya. Tak menyadari bahwa dua pria disampingnya sedang perang dingin. 

"Nanti berangkat sama saya, ya?" ucap Jaemin. 

"Lo puter balik kejauhan entar. Renjun sama gue aja udah." Jeno menyahuti ucapan Jaemin. 

"Kalian berdua beda jadwal kan hari ini? Kamu harus nunggu 2 jam nanti, Jeno. Renjun biar sama saya aja." 

"Sama gue aja gak pa-pa. Entar sekalian sama Haechan, Njun." 

Renjun melirik bergantian kearah dua pria di sampingnya. Mulutnya penuh dengan nasi goreng buatan Bi Nuni. Ia menatap bingung pada perdebatan yang sudah terjadi pagi-pagi sekali. 

"Saya yang seharusnya antar Renjun ke kampus," ucap Jaemin. 

"Gue pacarnya. Apa salahnya gue berangkat bareng sama Renjun?" 

"Saya suaminya." 

Helaan nafas terdengar. Renjun tidak mengira hal seperti ini akan terjadi selama berhari-hari. Ya, perdebatan mereka sudah berlangsung sejak lima hari yang lalu. Selalu tentang hal yang sama. 

"Saya yang punya kewajiban lebih besar untuk memastikan dia aman sampai kampus," ucap Jaemin. 

"Maksud lo, kalo dia sama gue gak aman gitu?" 

"Teros, lanjutin aja. Beneran naik taksi gue entar." Renjun kembali menengahi perdebatan ini dengan sebuah ancaman. 

Dua pria itu terbungkam. Kembali memandang nasi goreng milik mereka masing-masing dan menyantapnya dengan tenang. 

Pagi itu, Rejun berakhir terduduk di kursi depan mobil Jaemin. Perdebatan pagi ini berakhir membuat Jaemin menang telak karena tiba-tiba saja Jeno menderita sakit perut. Jadi mau tidak mau Renjun harus berangkat dengan Jaemin agar tidak terlambat. 

Mobil Jaemin tak pernah gagal menjadi saksi suasana canggung keduanya. Selalu tentang suara mesin mobil yang memenuhi atmosfer disana. 

Renjun menopang tangganya pada sisi jendela, ia menamatkan matanya pada jalanan yang penuh asap. Rasanya seperti mimpi. Beberapa bulan lalu, dirinya masih menaiki mobil Jeno atau terkadang berangkat bersama Haechan menaiki motor sahabatnya itu. Dirinya hanya menjalani hari selayaknya mahasiswa setengah niat untuk berkuliah. Terkadang tertidur dikelas dan berakhir dengan ocehan penuh tawa di kantin. 

Semuanya berubah begitu cepat. Tidak ada tanggung jawab yang sebenarnya memberatkan Renjun setelah dirinya menyandang status pernikahan ini. Namun dengan label baru pada dirinya, seseorang yang sudah mempunyai pasangan dan menikah minggu lalu, rasanya benar benar mengganjal. 

Di lampu merah kedua yang mereka lewati, Renjun menyadari pria disampingnya berbalik dan berkutik pada sesuatu di kursi belakang. Hingga kemudian ia mendapati sebuah tas bekal makan yang lalu diarahkan kepadanya. 

"Buat gue?" Renjun bertanya heran. Ada apa dengan hal yang tiba tiba ini? 

"Ya. Saya nggak mau lihat kamu mual mual dan sakit lagi hanya karena lupa makan," ucap Jaemin. 

"Idih. Gak ikhlas lo kemaren bantuin gue?" Renjun memasang wajah kesalnya. 

"Saya khawatir." 

Dua kata itu hanya memberikan informasi kecil tentang perasaan Jaemin. Namun ketika Renjun mendengar pria itu berucap dengan nada serius, ia sedikit membeku. 

𝙊𝙈 𝙅𝘼𝙀𝙈𝙄𝙉 • 𝙅𝘼𝙀𝙈𝙍𝙀𝙉Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang