11. Kejutan Lain

173 58 2
                                    

Ada saatnya di mana Jia tidak bisa melakukan apapun meski dia ingin melakukan sesuatu.

Seperti sekarang ini misalnya. Jia ingin mengusir lelaki menyebalkan yang sedaritadi tak bisa diam dan terus bertingkah. Bukan hal yang mengejutkan sebenarnya, Jia sudah cukup lama mengenal lelaki bernama Gyuvin itu karena dia merupakan kakak dari sahabatnya.

Dibandingkan terakhir kali bertemu, tampaknya Yujin sudah lebih baik. Maksudnya, dia tidak secanggung sebelumnya. Jia bersyukur karena dengan begitu dia tidak harus berpikir keras untuk mengatasi kecanggungan yang mungkin akan melingkupi keduanya.

Namun, Yujin menjadi lebih pendiam, dia tak banyak bicara dan hanya tersenyum tipis tiap kali mama Jia menegurnya. Terkadang, Jia menangkap basah anak itu hendak mengatakan sesuatu, tetapi urung karena tampaknya dia masih merasakan sisa kecanggungan yang ia buat sendiri.

"Gua daritadi ngomong dianggurin, nih?" tanya Gyuvin sambil melirik tajam kedua manusia di sampingnya. Memang, mereka bertiga duduk di sofa, Gyuvin menjadi penengah antara Jia dan Yujin.

TV menyala, tak ada yang menonton. Gyuvin asik bicara, tak ada yang mendengarkan. Yujin diam, tak ingin diganggu. Jia termenung, tak ingin ditegur. Semua sibuk dengan dirinya sendiri. Bayangkan betapa kacaunya suasana di antara mereka.

Dari arah dapur, Jinhwa geleng-geleng kepala melihat mereka bertiga yang belakangan ini mulai menyusut keakrabannya. Terutama antara Jia dan Yujin. Gyuvin sedari awal memang tidak dihiraukan oleh kedua bocah itu, bahkan mungkin eksistensinya tak pernah dianggap ada, jadi mari kita kecualikan saja pemuda dengan daya pikir lambat satu ini.

"Jia, Yujin, mau bantu mama?" tanya Jinhwa.

"Ya, Tante?" balas Yujin.

Sementara Jia yang sedang malas bergerak hanya bisa menghela napas berat. "Suruh Bang Gyuvin aja, Ma."

"Giliran beginian aja, baru lu inget gua, Ji." Gyuvin mendesis kesal, tak terima namanya dijual begitu saja.

"Nggak bisa, Mama pengennya kamu sama Yujin," balas Yoon Jinhwa. Sebagai seorang ibu yang kepingin ketiga anaknya akur, tentu saja wanita itu akan melakukan apa saja untuk membuat mereka tetap berhubungan baik.

Ya, Jinhwa benar-benar menganggap Gyuvin dan Yujin sebagai anaknya.

"Yaudah, iya deh, Ma. Jadi bantu apa?" tanya Jia.

"Anterin makanan ke rumah sebelah," jawab Mama Jia.

"Hah? Bukannya itu rumah kosong ya?" tanya Jia bingung. Tidak mungkin dia salah ingat, sudah ada sekitar 3 tahun rumah di sana kosong tanpa pemilik, sejak pemiliknya pindah kota dan menjual rumah itu.

"Tadi Mama liat ada yang pindah ke sana. Pasti belum sempet makan karena sibuk beres-beres barang, jadi kamu anterin makanannya. Ga mungkin juga kan makanan sebanyak ini diabisin kalian semua?"

"Kalau sama Bang Gyuvin bisa aja sih, Ma. Dia kan makannya banyak," balas Jia.

"Gua lagi yang kena," pasrah Gyuvin sambil memasang wajah cemberut.

"Ya, pokoknya sekalian nyambut tetangga baru. Nanti agak lebih sorean kalian anterin ya, sekarang cepet makan dulu," suruh Jinhwa kepada mereka bertiga sambil melirik jam yang mulai menunjukkan pukul 3 sore.

Tanpa disuruh lagi, Jia, Gyuvin dan Yujin kompak berpindah ke meja makan. Di sana sudah tersedia banyak makanan yang disiapkan mamanya. Sebenarnya sudah sedaritadi makanan itu ada di sana dan Jia tak sabar untuk memakannya.

Tapi, berkat kecerobohan Jinhwa yang lupa menyalakan rice cookernya, saat dibuka ternyata nasinya masih berbentuk beras. Padahal beras itu sudah ada di sana selama satu jam. Terpaksa, mereka harus menunggu berpuluh-puluh menit lagi. Sepertinya memang benar kalau sifat ceroboh Jia berasal dari mamanya.

reason • han yujinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang