16 | Sakit

5.5K 578 62
                                    

“Dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap.”
[QS. Al-Insyirah : 8]

•❅───✧❅✦❅✧───❅•

Eliza tidak sanggup melihat pemandangan di depannya di mana Aura berpelukan dengan seorang pria yang tidak lain adalah ayahnya sendiri, sehingga Eliza memutuskan untuk meninggalkan ndalem tanpa berpamitan.

Shafiyah yang mendapati keberadaan Eliza sontak saja terkejut, dia ingin mengejar Eliza namun Afdhal mencegahnya dengan menggelengkan kepala.

Eliza buru-buru memasuki rumah yang kini menjadi tempat tinggalnya dengan Rayyan, dia menutup pintu kamar sedikit kasar lantas meluruhkan diri ke lantai.

Eliza benar-benar tidak menyangka jika sosok papa yang amat dibanggakan oleh Aura adalah ayahnya sendiri. Itu berarti dia dan Aura bersaudara, kan? Saudara satu ayah.

Kenapa dunia begitu sempit? Begitu yang dipikirkan Eliza. Dari sekian banyak manusia mengapa harus orang terdekatnya? Mengapa harus Aura yang menjadi anak lain dari ayahnya?

Eliza ingin menangis, tetapi air matanya tidak bisa menetes. Dia terlalu kecewa, hingga air mata pun tidak mau keluar barang setetes saja.

“Kenapa dunia se-sempit ini? Apa Aura belum tahu seberapa brengseknya orang itu sampai dibangga-banggakan?”

“Gue benci sama dia tapi kenapa gue sedih lihat dia pelukan sama anaknya yang lain? Kenapa gue enggak rela?” lirih Eliza.

“Udah bertahun-tahun sejak dia pergi meninggalkan gue dan ibu, tapi rasa sakit hatinya masih ada sampai sekarang. Sakit ....”

Eliza menenggelamkan wajahnya di lipatan tangan. Rasa sesak memenuhi dadanya. Dia sama sekali tidak pernah berpikir akan bertemu lagi dengan ayah kandungnya, tetapi semesta mempertemukan mereka secara tiba-tiba dan tanpa disangka-sangka.

Lima menit kemudian, ketukan pintu terdengar disusul suara Rayyan yang terdengar khawatir.

“Eliza, kamu di dalam? Buka pintunya, sayang.”

“Eliza?”

Eliza mengangkat kepalanya, dia menghela napas panjang sebelum membukakan pintu untuk Rayyan.

Tubuh Eliza sedikit terhuyung ke belakang akibat Rayyan yang memeluknya tiba-tiba. Dia berusaha melepas pelukan Rayyan yang dirasanya terlalu erat hingga membuat tubuhnya yang kecil merasa sesak.

“Kamu apa-apaan sih main peluk-peluk aja?! Lepas nggak?!”

Bukannya menuruti perintah Eliza, Rayyan justru menangkup kedua pipi Eliza, mengusap-usap dengan lembut wajah perempuannya itu.

“Kamu nggak apa-apa? Ada yang sakit? Mau cerita, hm? Mau marah? Ada yang bikin kamu sesak? Kamu bisa luapkan semuanya ke aku, Za, segala keluh kesah kamu aku siap dengar. Kamu mau marah juga nggak apa-apa, mau pukul aku, aku juga siap. Jangan bertingkah seakan-akan kamu baik-baik aja, Eliza, aku tau kamu enggak sekuat itu. Nangis enggak akan bikin kamu terlihat lemah, sayang,” ujar Rayyan membuat Eliza tertegun.

Eliza menatap manik mata Rayyan yang menyorotkan kekhawatiran. Mendengar ucapan Rayyan malah membuat hatinya bertambah sesak.

Eliza menundukkan kepalanya dalam-dalam, dia menggigit bibirnya menahan tangis. Rayyan benar, dia tidak sekuat itu untuk menyembunyikan sakitnya. Bagaimana pun Eliza teramat kecewa, dan satu-satunya cara sebagai pelampiasan adalah dengan menangis.

Dicengkeramnya kemeja Rayyan cukup erat, bersamaan isak tangis yang perlahan terdengar. Eliza menumpahkan tangisnya di dada Rayyan, dia menangis sejadi-jadinya.

PHILOPHOBIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang