JINGGA JINGGA MIMPI- BAB I

6.5K 37 29
                                    

Cerita in fiktif. Kesamaan nama,tempat,dan peristiwa merupakan kebetulan semata. Tulisan ini dilindungi hak cipta.

                                                                                  

BAB I

Aku terbangun dengan banyak keringat di tubuhku. Aku memandangi sekitar, mencoba mengingat-ingat di mana aku. Gelap. Ruangan ini gelap. Hanya samar terlihat sedikit cahaya menerobos masuk melalui ventilasi. Aku masih terdiam, dada bergemuruh karena mimpi yang baru saja aku alami. Apakah ini sebuah mimpi, jika yang hadir di dalam mimpimu adalah sesuatu yang nyata, sesuatu yang benar-benar terjadi di masa lalu. Aku melayang menyusuri mimpi itu lagi, perlahan. Kembali ke mimpi itu, berarti kembali ke kehidupanku lima belas tahun yang lalu. kehidupanku, berarti kehidupan kami berlima. Keluargaku. Aku, ibuku, kakak perempuanku yang berselisih sepuluh tahun denganku. Dua kakak kembarku, laki-laki , berselisih lima tahun denganku.

Dapat dibilang, kehidupan kami sebelum lima belas tahun yang lalu adalah kehidupan yang ideal. Ayahku bekerja sebagai pegawai negeri. Walaupun hanya bergolongan rendah, namun ayahku mampu memenuhi kehidupan keluargaku, lebih dari cukup. Penghasilanya sebagai ustadz dan sebagai penasihat spiritual, melebihi gajinya sebagai pegawai pemerintah. Keluargaku termasuk keluarga yang terpandang, baik karena segi ekonomi kami yang mampu member sumbangan yang cukiup bagi kampung kami, maupun karena kemampuan ayahku untuk menjadi pemimpin spiritual di kampungku itu. Menurut cerita dari ibuku, ayah seorang yang benar-benar di pandang di kampung tersebut. Nama dari masjid di kampung, adalah nama yang diberikan oleh ayah, dan tentu saja, ayahku menyumbang dana pembangunanya dengan jumlah yang cukup banyak. Memang masjid itu bukan masjid yang mewah dan besar, namun menjadi sangat berarti karena masjid tersebut adalah masjid pertama di kampungku. Ibuku juga bercerita, dan aku masih samar-samar ingat, ayahku adalah imam di masjid kampungku. Aku sedikit ingat, di suatu pagi, yang sangat cerah, di mana aku ingat lagit timur waktu itu benar-benar terlihat merah, kemudian semakin ke atas warna merah semakin memudar menjadi jingga, dan langit di sebelah barat hitam kebiruan, aku di gendongan ibuku memakai baju dan celana baru menuju balai desa untuk melaksanakan sholat Idul fitri. Selanjutnya, aku ingat mendengar suara ayah memimpin sholat, dan kemudian memberikan khotbah. Setelah acara di balai desa itu selesai, kami akan kumpul sekeluarga ,dan melakukan tradisi keluarga : sungkem. Ayah dan ibu akan duduk berdampingan di kursi yang berada di ruang tamu, dan kami secara bergiliran akan menyalami tangan ayah dulu, kemudian ibu, sambil meciumi, lalu mengatakan kata-kata yang sayangya sudah tidak dapat aku ingat detilnya. setelah kami selesai,ayah akan memberikan uang jajan kepada kami dan menyuruh kakak tertuaku untuk megajak kami pergi ke toko kelontong membeli camilan. Aku dulu heran juga, mengapa masih menyuruh kami membeli camilan sedangkan di hari raya seperti itu di rumahku banyak sekali camilan. Setelah kami pulang, kami melihat ayah dan ibu sudah duduk berdampingan dengan mata ibu yang sedikit sembab. Setelah beberapa tahun berlalu, aku tahu arti semua ini. Ayah menyuruh kami pergi karena akan melaksanakan ritual mereka sendiri : sungkem ala ayah dan ibu. Aku yang waktu itu masih berumur lima tahun wajar saja jika tidak bisa memahami ini.

Secara keseluruhan aku mengagumi sosok ayahku. Dia sosok ayah yang sangat berwibawa. Bahkan mungkin terlalu berwibawa. Aku waktu itu kadang takut padanya. Aku ingat, aku pernah melihat ayah memukul kakak tertuaku karena pulang waktu maghrib. Kakakku yang waktu itu sudah duduk di bangku smp, sampai meminta ampun namun ayah masih memukulnya beberapa kali dengan sapu lidi. Aku ingat, dua kakak kembarku itu, di suatu pagi saat aku masih lima tahun,di ajak berjalan-jalan.Waktu itu di kampungku belum ada yang memiliki kendaraaan pribadi, jadi mereka berjalan-jalan ke ibukota kabupaten menggunakan kendaraan umum : mini bus. mereka kegirangan.waktu mereka pulang, mereka mengenakan pakaian baru, dan juga sarung baru. sambil merintih, mereka masuk ke kamar. Mereka tidak mengangis, bahkan terlihat girang, sambil berteriak secara berebutan "Bu, aku sudah sunat!". Ibuku tidak tahu apa-apa tentang sunat ini,dia menangis. Benar-benar menangis. Bagaimana hari sebesar ini dilakukan secara spontan seperti itu. Ibu terlihat bingung waktu itu,melihat ayah dengan tatapan minta penjelasan,ayah dengan santainya bilang " para jagoanku ", sambil tersenyum terlihat bangga.  Ibu menggeleng, kemudian menyuruh dua anaknya untuk tiduran di kamar. selanjutnya, dia memanggil tetangga untuk menyiapkan sebuah pengajian dadakan. Dua hari kemudian, ketika luka  mereka belum sembuh juga,ayah melakukan sesuatu yang sampai saat ini tidak juga dapat aku mengerti : membelikan si kembar sebuah bola plastik. Si kembar itu, sepanjang yang aku ingat, adalah anak-anak hiperaktif yang hampir tidak bisa diam. Dan mengetahui anak kembarnya memiliki sifat seperti itu, ayah membelikan sebuah bola ketika anaknya baru saja di sunat! Ayah menyuruh kami untuk tidak mengatakan ini pada ibu. Dan seperti tidak ada yang salah dengan dua kakak kembarku, kami bermain bola.sampai saat ini aku tidak bisa menahan tawa jika teringat kejadian itu. Bagaimana dua kakakku itu berlari sambil berusaha agar lukanya tidak bergesekan dengan pahanya! Begitulah ayahku, sangat berwibawa dan memiliki pemikiran yang tidak dapat dapat dipahami dengan mudah.

JINGGA JINGGA MIMPITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang