JINGGA JINGGA MIMPI - BAB III ( SAKURA )

2.6K 6 5
                                    

            Setiap orang mempunyai cara sendiri untuk mengungkapkan kesedihanya. Setiap orang memiliki pilihan untuk menunjukan kesedihan yang mereka alami, atau memilih untuk memendamnya sendiri. Ada orang yang    enggan untuk terlihat sedih di mata orang lain. Mencoba untuk selalu tersenyum ketika mata memandangnya, dan menyeka air mata ketika sepi bersamanya.

            Sehari setelah pemakaman ayah, keadaan rumahku benar-benar berbeda. Entahlah, suasana ini belum pernah aku rasakan sebelumnya. Aku paham, kehilangan ayah merupakan hal yang sangat berat bagi keluarga ini. Aku yang masih kecil pun paham hal ini. Dan hari itu, aku paham mengapa si kembar tidak masuk sekolah, yang pada akhirnya menyebabkan aku tidak berangkat sekolah juga. Pagi itu si kembar bangun siang. Tidak seperti biasanya. Pagi itu si kembar tidak memulai harinya dengan sebuah teriakan atau keributan lainya. Tidak ada teriakan menyuruh aku untuk cepat selesai  mandi. Tidak ada teriakan manja si kembar memanggil ibu, menanyakan apakah apakah susu untuk mereka sudah selesai dibuat. Tidak ada si kembar yang memberikan penilaian terakhir terhadap kerapian pakaianku. Tidak ada si kembar yang akan berkata, “ Jingga, ayo berangkat!”. Tidak ada, mereka pagi itu bangun siang, dan seperti mengunci rapat mulutnya.

            Namun, pagi itu, pagi yang bagiku tidak berbeda jauh dengan hari-hari biasa, di mana aku terbangun pagi layaknya hendak sekolah, aku mendapati mbak Ina sudah berpakaian rapi pagi-pagi benar. Aku mendapatinya duduk di ruang makan, meminum susu putih yang nampaknya dia buat sendiri. Di meja juga terdapat tiga gelas susu coklat, yang aku duga dibuat oleh mbak Ina untuk kami bertiga. Aku tidak tahu apa yang aku lakukan saat itu, memandangi mbak Ina. Aku berdiri di tepi pintu ruang makan, mengenakan piyamaku. Aku hanya memandanginya, dan cukup lama sampai mbak Ina mengembalikan kesadaranku.

“Lhoh Jingga ngapain berdiri di situ?”

Aku ingin menjawab, tapi nampaknya mulutku belum siap untuk menjawab. Aku tidak bisa mengeluarkan kata-kata dan hanya mampu memandangi wajah mbak Ina yang tersenyum. Senyum, yang biasanya, selalu mendamaikan. Senyuman yang sangat damai, kalem. Senyuman, yang biasanya akan membuatku tersenyum juga. Namun pagi ini, senyum manis itu tidak membuatku tersenyum. Entahlah, aku merasa ada yang aneh dengan senyuman itu. Aku merasa miris melihat senyuman itu. Aku masih belum tahu apa yang salah dengan senyum tersebut, namun aku masih memandangi senyum manis itu, dan aku belum tersenyum.

“ Haduh Jingga, kok malah bengong? Sini, duduk sama mbak Ina”, mbak Ina berkata sambil memundurkan kursi di sampingnya.

Aku bergerak dengan masih tak dapat berkata apapun. Dengan agak bersusah, aku duduk di kursi itu, kursi yang terbuat dari  kayu yang aku tak tahu namanya, namun terlihat keras, di mana sebagai alas dan sandaran duduknya terbuat dari anyaman rotan.

“ Jingga, laper nggak?”

“ Nggak mbak”, kata-kata pertamaku. Serak dan terdengar menyedihkan, seperti suara kaleng berkarat yang dipukul.

“ Tapi belum makan kan? Temenin mbak Ina sarapan ya”. Tanpa meminta persetujuanku, mbak Ina mengambil dua roti tawar, memberinya selai dan memberikanya padaku. Setelah itu, dia meraih salah satu gelas susu itu dan meletakanya di depanku.

“ Makasih mbak”.

“ Jingga ga sekolah ya?” Tanya mbak Ina sambil menggigit roti tawar yang sudah siap dari tadi.

“ Enggak mbak. Padahal pingin berangkat”

“ Oh. Ga papa kan. Sekali libur ga akan dimarahin bu guru kok. Lagian bu guru pasti ngijinin Jingga”.

“ Tapi aku pingin berangkat kayak mbak Ina”.

Mbak Ina memandangku, tersenyum, dan kemudian kembali menggigit rotinya.

JINGGA JINGGA MIMPITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang