JINGGA JINGGA MIMPI - BAB III ( MATAHARI )

2.5K 6 5
                                    

         Suatu sore, sekitar kira-kira seminggu setelah ayah meninggal, aku berdiri di halaman belakang, memandangi bola plastik bermotif bintang yang mulai terlihat usang karena sering aku gunakan. Aku memandangi bola itu tergeletak di tanah coklat dan sedikit rumput. Aku memandanginya, memperhatikan motif bintang yang tergambar pada permukaanya. Angin berhembus dengan lemahnya, seperti berusaha memainkan bola itu untuk menghiburku, namun nampaknya angin masih terlalu lemah untuk menggerakan bola plastik tersebut.

         Lelah aku memandangi bola yang sedari tadi tidak bergerak. Aku mengalihkan pandangananku ke sekitar halaman belakang itu. Halaman dengan panjang sekitar dua belas meter dan lebar sepuluh meter, sebuah tanah tak bertuan. Halaman itu terbagi menjadi dua bagian. Sekitar 3x12 meter dari tanah tersebut tumbuh tumbuh-tumbuhan liar, dan sisanya adalah tanah rata yang biasa digunakan anak-anak untuk bermain bola. Keduanya dibatasi oleh  batu-batuan yang berbaris memanjang. Di pinggir halaman itu terdapat dua pohon besar, yaitu pohon nangka dan pohon pule. Dua pohon itu sering kami panjat apabila kami sudah puas bermain bola. Di sudut halaman, terdapat sebuah pohon melinjo yang cukup tinggi, bercabang mulai dari pangkal pohon dan saling melilit namun mulai terpisah pada ranting pertama. Siapapun yang pertama kali melihat pohon melinjo itu, akan mengira bahwa itu adalah dua pohon yang berbeda.

        Bosan. Aku bosan. Aku mengalihkan pandanganku lagi ke bola yang terdiam. Aku bosan. Sudah seminggu ini setiap sore aku selalu di sini sendirian. Selalu sendirian. Tidak ada si kembar yang bermain bersamaku. Tidak ada lagi si kembar yang mengajariku tekhnik-tekhnik sepakbola seperti sebelumnya. Mereka kini begitu pendiam dan pemurung. Setelah tiga hari tidak berangkat sekolah, akhirnya mereka berangkat dengan wajah yang murung dan dengan mulut yang sepertinya terkunci untuk seledar mengatakan sebuah kata.

        Tidak hanya si kembar, Ibu juga demikian. Sudah seminggu ini dia jarang bicara dan tidak melakukan pekerjaan rumah seperti biasanya. Dia menghabiskan hari-harinya hanya dengan terduduk sendiri, merenung, dan kadang-kadang menangis. Dengan mereka berdiam, aku mau tidak mau juga ikut diam. Aku hanya sesekali berbicara dengan nenek. Namun aku tidak bisa menikmati pembicaraan dengan nenek. Pembicaraan yuang dapat sedikit menghilangkan sepiku adalah pembicaraan dengan mbak Ina. Diantara semuanya, mbak ina lah yang masih mau berbicara denganku. Mbak Ina berbeda. Mulutnya tidak terkunci seperti ibu dan si kembar. Namun pembicaraan itu hanya dapat aku nikmati pagi hari sebelum berangkat sekolah dan sore hari setelah maghrib, sampai mbak Ina menyuruhku untuk belajar setelah Isya. pada saat mbak Ina sudah berangkat sekolah, aku benar-benar kesepian.

         Saat ini, aku merasa bosan dengan keadaaan ini. Sampai kapan mereka akan bersedih? Sampai kapan mereka akan membisu seperti ini? Kapan mereka akan melanjutkan hidup? Jangan-jangan mereka akan menyusul ayah? Pertanyaan-pertanyaan itu berserakan di kepalaku. Aku sedih, kesepian, dan entahlah apa lagi. Ada sebuah perasaan berat di dada ini. Perasaan, mungkin perasaan marah? Entahlah, sepertinya demikian. Aku marah pada sesuatu, namun aku tak tahu apa itu. Apakah aku marah terhadap si kembar atau ibu yang sekarang mengabaikanku? Tidak. Sepertinya bukan itu. Aku paham alasan mereka menjadi seperti itu. Lalu, aku marah pada siapa? Pada diriku sendiri? Pada diriku sendiri yang tidak merasa sedih? Kepada diriku sendiri yang tidak mampu menitikan air mata? Kepada diriku yang bagaikan tidak memiliki perasaan ini?

         Bukan. Sepertinya bukan itu. Aku tahu aku salah karena tidak bersedih. Namun aku merasa aku memiliki alasan untuk demikian. Aku berfikir keras, mencoba menemukan jawaban dari pertanyaanku. Hingga akhirnya aku berhenti pada sebuah pemikiran.

         Aku tidak marah pada ibuku. Aku tidak marah kepada kedua kakak kembarku. Aku juga tidak marah kepada diriku sendiri. Lalu pada siapa? Semakin aku memikirkanya, semakin jelas sosok di dalam pikiranku : Ayah.

JINGGA JINGGA MIMPITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang