JINGGA - JINGGA MIMPI - BAB III ( KAMBOJA )

2.5K 5 0
                                    

            Pada saat para tamu berdatangan untuk memberi penghormatan terakhir kepada ayah, ada satu hal yang akan mengiris hati para tamu tersebut : sebuah tangis. Sebuah tangis yang akan membuat setiap telinga yang mendengarnya berharap untuk segera tertutup. Sebuah tangis yang akan menyayat hati siapapun yang mendengarnya. Jika ada yang berfikir bahwa tangis itu adalah tangis ibuku, maka dia salah. Ibuku memang menangis, namun tangisnya lirih. Tangisan itu adalah tangisan dua anak lelaki berusia sebelas tahun : si kembar.

          Aku benar-benar mengingatnya. Mereka berdua menangis dengan air mata yang sangat banyak. Hidung mereka merah berair. Mata mereka merah, dan berkantung besar. Nenek dan bu lik berusaha menenangkan mereka. namun tangis si kembar tak juga mereda. Sepanjang hari pemakaman itu mereka menangis. Pada sore harinya, suara mereka serak. Namun mereka masih menangis. Bada isya, mereka akhirnya kelelahan dan tertidur lemas. Pada saat mereka tidur di kamarnya, yang juga satu ruangan denganku, aku melihatnya. Aku melihat air mata masih mengalir dari mata mereka. Bahkan di dalam mimpi pun mereka masih menangis.

            Pagi harinya, satu hari setelah hari pemakaman, aku tidak mendapati si kembar membangunkanku. Biasanya, diantara kami bertiga akulah yang paling akhir bangun. Si kembar akan membangunkanku dengan    teriakanya. Di pagi di mana aku susah untuk bangun, maka si kembar akan melakukan sedikit kejahilan untuk membuka mataku. Suatu pagi, mereka pernah menyiram mataku dengan air dingin. Di pagi yang lain, mereka memasukan sambal ke mulutku. Dan di pagi yang lainya, aku terbangun dan mendapati aku telanjang bulat dengan kaki dan tangan terikat. Namun pagi itu, aku bangun dengan sendirinya dan mendapati si kembar masih tertidur dengan wajah lemas dan mata sembab.

          Biasanya, di pagi-pagi sebelumnya, si kembar akan ribut mengenai susu. Mereka akan berteriak memanggil ibu untuk meminta susu bila ibu lupa atau belum sempat membuatnya. Ibu yang sedang memasak di dapur, menyiapkan sarapan kami, akan membalas teriakan mereka dengan teriakan pula, menyuruh mereka untuk menunggu. Bila ibu benar-benar sedang repot, maka dia akan berteriak memanggil mbak Ina dan memerintahkanya untuk membuat susu.

          Keributan si kembar mengenai susu tidak berakhir sampai di situ. Pada saat tiga gelas susu coklat sudah berada di meja, maka mereka akan berebut untuk mengambil gelas dengan isi yang terbanyak. Mereka akan berebut untuk mencapai meja makan lebih cepat, dan yang mendapatkan gelas yang berisi lebih banyak susu, akan membanggakan diri dan sedikt mengejek yang kalah.

         Mendapati dirinya kalah, salah satu dari si kembar akan menantang kembaranya satu perlombaan lagi. Sebuah perlombaan yang akan mengobati harga dirinya yang telah kalah dalam perebutan gelas. Anak yang memenangkan perebutan gelas akan menerima tantangan tersebut, berharap dapat lebih mengamankan posisinya sebagai pemenang. Maka dimulailah perlombaan itu : adu cepat minum susu.

        Namun pagi itu, aku tidak mendapati kebiasaan itu. Aku terbangun lebih dulu dari mereka. Bahkan setelah aku selesai sarapan pun, mereka masih belum bangun juga. Mereka baru bangun sekitar jam Sembilan pagi. Mereka bangun dengan malas-malasan dan terkesan tidak enak badan. Nenek menawari mereka makan dan mereka menolak. Nenek bersikeras menyuapi mereka berdua, dan akhirnya mereka makan  pada dengan terpaksa, menyisakan nasi yang nenek ambilkan untuk mereka. Susu yang pagi itu di buat oleh mbak Ina untuk si kembar, tidak mereka sentuh sama sekali. Akhirnya nenek menyuruhku untuk meminum dua gelas susu tersebut pada siang harinya.

          Hari itu, si kembar benar-benar berbeda. Keceriaan seperti menguap dan terkuras habis. Mereka tidak tertarik pada apapun dan tidak sedikitpun menyentuh mainan yang biasanya mereka mainkan di siang hari sepulang sekolah. Mereka tidak menyentuh bola sama sekali. Biasanya, sore hari sekitar jam setengah empat sampai jam lima, kami akan bermain bola di halaman belakang rumah, atau di lapangan voli kampung jika ingin bermain dengan anak-anak yang lain. Namun sore itu, hanya ada aku yang berada di halaman rumah itu. Berlari, menendang bola, dan terjatuh seorang diri.

         Bagaimanapun juga, aku memahaminya. Mungkin di antara anggota keluarga yang ditinggal ayah, si kembarlah yang paling terpukul. Selama ini, mereka berdua sangat dekat dengan ayah. Mereka tidak pernah di marahi ayah. Jika aku dan mbak Ina pernah dimarahi ayah karena pulang pada waktu maghrib, maka jika si kembar melakukan hal sama karena habis bertanding sepakbola dengan anak kampung sebelah, ayah tidak akan marah. Ayah akan menunggu mereka pulang, dan ketika mereka sampai, ayah akan menanyakan bagaimana hasil pertandingan. Berapa gol yang mereka cetak. Dan si kembar akan berebut untuk bercerita dengan penuh bangga. Dan mendengar cerita mereka berdua, ayah akan berkomentar dengan nada bangga. Dan aku tak tahu hal apa lagi yang membuat si kembar begitu mencintai ayah, namun satu hal pasti yang aku tahu : mereka sangat kehilangan.

JINGGA JINGGA MIMPITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang