JINGGA JINGGA MIMPI - BAB II

3.2K 9 6
                                    

BAB II

            Aku masih enggan untuk bangun, tidak, lebih tepatnya aku tidak bisa bangun. Entahlah, aku tidak tahu apa yang terjadi denganku tapi aku merasa tubuhku lemas sekaligus kaku. Aku lemas seolah tidak bertenaga dan sendi-sendiku begitu kaku sehingga membuatku membeku di sini. Aku masih belum mengenali tempat ini, tempat di mana aku baru saja terbangun. Tempat ini asing bagiku, dan cukup sempit. Aku tidak tahu seberapa luas, karena gelap, tapi aku menyimpulkan ruangan ini tidak begitu luas. Cahaya yang masuk ke ruangan ini, benar-benar sedikit,hanya samar-samar. Asing. Aku mencoba mencari-cari sesuatu yang aku kenali tapi sia-sia. Aku benar-benar tidak mengenal tempat ini. Setidaknya, aku belum mengenalinya. Aku mencoba keras mengingat di mana ini, dan kenapa aku bisa berada di tempat asing ini. Namun, sia-sia. Mimpi yang baru saju aku alami menyita seluruh ingatanku. Keningku basah, keringat mungkin. Aku mencoba menyekanya, namun tanganku masih kaku. Bahkan untuk menyeka keringat pun aku tidak bisa. Entahlah, mungkin mimpi itu benar-benar menguasai pikiranku. Aku lunglai di tempat aku terbaring, kemudian ingatanku melayang lagi. Melayang ke awal “kehidupan kami”.

***

            Ibu masih memelukku. Aku yang waktu itu, lima belas tahun yang lalu, baru berumur enam tahun tahu arti dari kata-kata ini. Sejak pertama kali aku melihat ayah keluar dari kamar mandi dengan baju yang penuh dengan bercak, aku tahu ada yang salah dengan ayah. Tapi aku tidak tahu apa itu. Aku ingat, sambil menahan batuk dan mencari-cari sesuatu, ayah waktu itu sempat menghampiriku dan menggumamkan sesuatu yang kurang jelas, namun aku menyimpulkan itu sebagai sebuah perintah “ jangan bilang siapapun”. Seperti biasa, aku tidak bisa menahan takutku setiap ayah berbicara padaku, yang sayangnya, setiap dia berbicara padaku, itu tidak bisa dianggap sebagai sebuah pembicaraan tapi sebuah perintah, nasehat ( dengan nada tinggi ), bahkan luapan kemarahan. Setidaknya itu yang aku ingat. Ketika aku mencoba mengingat, pernahkah ayahku mengajakku berbicara seperti halnya dia berbicara dan bercanda kepada ketiga kakakku, pikiranku selalu berakhir dengan buntu : tidak pernah. Kadang aku berharap, aku hanya tidak dapat mengingatnya.

“Ayolah, kamu masih anak-anak waktu itu, enam tahun saat ayahmu meninggal, wajar kan kalau tidak ingat?” Pikiranku sering melakukan pembelaan seperti itu.

Namun jawaban dari pikiranku yang lain selalu meruntuhkan pembelaan itu.

 “ Kalau karena masih kecil sehingga aku tidak bisa mengingatnya, lalu kenapa aku bisa mengingat bentakan-bentakan ayah? Kenapa aku masih ingat,  nada-nada tinggi dan teriakan-teriakan ayah kepadaku? Kenapa aku bisa mengingat detil umpatan-umpatan yang diteriakan ayahku kepadaku?”

“ Ah kau hanya manusia biasa kawan. Dan manusia biasa cenderung untuk mengingat-ingat keburukan dan cenderung melupakan kebaikan-kebaikan. Bukankah itu kodrat kita sebagai anak-cucu adam. Kalau tidak memiliki sifat seperti itu, kau tidak akan terlahir ke dunia ini kawan. Kau akan terlahir di surga. Kakek-nenek moyang kita tidak akan di buang ke dunia ini jika tidak memiliki sifat itu.” Pikiranku kadang mencoba usaha terakhirnya untuk meyakinkanku bahwa semuanya baik-baik saja. Bahwa ayah pernah berbicara manis kepadaku. Walaupun tidak manis, tetapi berbicara “biasa” pun tidak terlalu buruk untuk diingat.

“Sudahlah, berhenti. Untuk apa kau melakukan pembelaan seperti itu”.

“Pembelaan?”, nadanya neninta penjelasan.

“Kalau aku melupakan pembicaraan manis dan hanya mengingat pembicaraan yang saat ini aku ingat, lalu bagaimana kau menjelaskan ingatanku tentang kejadian-kejadian indah saat itu? Tentu saja,hal-hal indah bersama orang lain selain ayah. Bagaimana aku bisa ingat suara merdu mbak Ina yang sering bernyanyi untukku? Bagaimana aku mengingat lengkingan suara ibuku yang menyuruh kami sarapan? Bagaimana aku ingat suara ayah, suara penuh bangga ketika memanggil nama si kembar? Bagaimana aku mengingat suara tawa si kembar kecil menanggapi setiap lelucon ayah? Aku berbahagia untuk kedua kakakku yang merasakan manisnya percakapan dengan ayah, dan yang aku tahu, mereka bahagia. Namun berhentilah kawan menghiburku, aku juga tidak menyalahkanmu untuk sebuah fakta ini : ayah tidak pernah berbicara kepadaku.”

JINGGA JINGGA MIMPITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang