CHAPTER 3 ◆ Things Go Wonderfully Right Or Horribly Wrong

115 3 0
                                    

          “TEMBAK dia.”

          Kala itu Anya baru berusia tiga belas tahun dan sudah diperintahkan untuk menghabisi seseorang yang tangan dan kakinya sedang terikat erat lalu kedua matanya ditutup kain hitam serta mulut yang dibekap.

          “Tapi mengapa? Memangnya apa kesalahan yang sudah dia lakukan?” tanya Anya dengan tangan gemetar memegang sebuah pistol. Ia harus menghabisi seseorang namun kenyataannya ia tak pernah melakukannya sepanjang hidupnya.

          “Ketika kau diperintahkan, kau harus melakukannya tanpa bertanya lagi. Kau mengerti?” Gruzinsky berperan sebagai pelatihnya berujar dengan nada yang tak ingin dibantah.

          “Tapi bukankah kita harus tahu apa alasan seseorang dihabisi. Setidaknya kita tidak menyianyiakan nyawa orang begitu saja. Jadi pertanyaanku apa kesalahannya sampai berakibat fatal begini?” Anya yang terlalu ingin tahu tetap bersikeras meminta alasan mengapa ia harus melakukannya.

          “Kau memang gadis kecil yang selalu penasaran, Anya.” Gruzinsky bergerak di belakang Anya lalu ia berhenti tepat di sampingnya. “Mungkin kau berpikir jika selalu penasaran adalah hal yang bagus, tapi tidak dengan seorang assassin. Assassin ditugaskan untuk menghabisi tidak peduli apapun itu. Mereka tidak perlu tahu apa alasannya. Yang mereka tahu adalah kemampuan untuk menghabisi target.”

          Anya melirik sosok Gruzinsky yang menjulang tinggi di sampingnya. “Tapi bagaimana jika aku tidak ingin menjadi seorang assassin?”

          Gruzinsky menurunkan sedikit tubuhnya lalu ia mendekatkan kepalanya di dekat telinga Anya. “Tembak dia.”

          Tangan Anya yang masih gemetar mencoba mengarahkan lurus pistolnya pada sosok pria malang di hadapannya itu. Tanpa berpikir dua kali dia pun menarik pelatuknya, dan beberapa detik kemudian dia melihat dengan kedua matanya sendiri bahwa dia baru saja menghabisi seseorang. Darah segar mengalir keluar dari dahi bolong sosok pria malang tersebut.

          “Apa kira-kira kau menyesal?” tanya Gruzinsky seraya meletakkan tangannya yang berat di pundak Anya yang mencoba untuk tidak sesak nafas dan gemetar parah.

          “T—tidak.” jawab Anya dengan meyakinkan.

          Anya sendiri bingung apakah dia memang menyesal atau bagaimana. Dia tidak lagi hampir sesak nafas dan gemetar. Dia sudah tampak biasa saja. Hanya saja ada perasaan hampa yang mengikutinya. Dia merasa sangat kosong. Seperti berada di dalam kegelapan pekat yang tak ada suaranya sama sekali. Dia tahu dia baru saja menghabisi seseorang karena suatu alasan, tapi dia sendiri tidak mengerti apa alasan tersebut. Jika ini menyangkut alasan yang sangat amat serius dan bisa mengancam keselamatan mereka, mungkin apa yang dilakukannya ini adalah hal yang dipikirnya benar. Namun bagaimana jika ini tidaklah seperti yang diduganya?

          “Anya, selamat. Kau lolos tahap pertama inisiasi menjadi seorang assassin.” kata Gruzinsky dengan nada yang dibuat sebangga mungkin.

          Hampir tercengang, Anya menatap Gruzinsky dengan ekspresi bertanya. “Harus berapa banyak lagi?”

          “Begitu kau menjadi seorang assassin, kau tidak akan pernah berhenti belajar. Kau akan terus ingin mencapai titik tertinggi untuk lebih sempurna dan profesional.”

          “Tapi mengapa menjadi banyak ingin tahu atau penasaran sangat berbahaya bagi seorang assassin?”

          “Tugas seorang assassin hanyalah menghabisi target, jika banyak ingin tahu yang ada mereka akan balik dihabisi. Untuk mendapatkan banyak informasi dan segala macamnya kita bisa meminta seorang mata-mata untuk melakukannya.”

Darker Than NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang