“OMONG-OMONG, berapa banyak mademan yang tinggal di sini?” Anya sengaja mengalihkan topik obrolan mereka. Ia ingin tahu detail jumlah dan bagaimana sosok Luca membuat orang-orangnya untuk tetap setia padanya. Ia ingin mengetahui semua itu untuk berjaga-jaga.
“Ada lebih dari seratus orang,” tampaknya Luca sengaja tak ingin memberikan jumlah spesifiknya untuk suatu tujuan. “Semua mademan terbaik berada di sayap barat, di mana tempat kita baru saja datang. Masing-masing sayap memiliki tangga tersendiri untuk naik dari atas ke bawah. Sedangkan sayap timur hanya berisi mademan biasa dan bagian tengah mansion, ialah tempat semua lounge berada maupun area bersantai, namun sayap barat ini memiliki area khususnya tersendiri.” Ia menjelaskan dengan seksama dan penuh perhatian agar Anya tidak melewatkan hal penting apapun.
“Lantas, di sayap manakah kita berada sekarang?” Anya bertanya lagi.
“Di sayap barat yang sama lebih tepatnya, sebab ini ialah sayap terbesar dari seluruh mansion.” Jawaban Luca membuat Anya menyadari ia mulai lelah hanya untuk berkeliling jalan-jalan yang ternyata masih berada di sayap barat.
“Ayahmu?” Tiba-tiba saja Anya menanyakan pertanyaan yang memang disengaja olehnya.
Luca seolah-olah mengiyakan tatapan yang diberikan oleh Anya sembari mengangguk pelan. “Sudah tiada sejak bertahun-tahun yang lalu.”
Mata Anya sempat memperhatikan sekeliling sebelum akhirnya melirik Luca lagi. “Kau dulunya dilatih menjadi seorang mademen juga bukan oleh ayahmu?”
“Ya,” Luca sepertinya enggan mengingat masa-masa kelam itu. “Sangat buruk sekali.”
“Itu pasti. Aku sering mendengar hal seperti itu.” Anya yang paham bagaimana gilanya dilatih setuju dengan ketidaksukaan yang sekilas terlihat di mata Luca.
“Mari aku tunjukkan kamarmu.” kata Luca yang mempersilakan Anya untuk berjalan beriringan dengannya. Ia kini sudah menjadi seorang capo, posisi teratas berkat lengsernya sang ayah atas kejadian yang tak akan mau diungkapkan ke orang asing sekalipun termasuk Anya.
“Aku butuh istirahat.” kata Anya begitu mereka sampai di kamar di lantai dua. Ia memperhatikan sekeliling kamar tamu yang tampak rapi dan lebih mirip seperti kamar utama karena kemewahannya. Ia duduk di atas ranjang queen size tersebut sembari sedikit meregangkan tubuhnya.
“Jika kau membutuhkan sesuatu kau bisa memanggil pelayan.” kata Luca. “Oh, ya, ada satu hal,”
“Aku tahu.” sahut Anya yang segera memahaminya. Ia mengambil ponselnya dari dalam tas dan mulai menelepon si Brengsek Gruzinsky.
Luca melipat tangannya ke depan dada. Matanya fokus menatap Anya dan memintanya untuk menyalakan pembesar suara agar bisa mendengar percakapan antara Anya dan Gruzinsky. Dia tak lagi membuka mulutnya dan lebih memilih diam agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Setelah menunggu sampai dering kedua, akhirnya Gruzinsky mengangkat panggilan Anya. Mata Anya sontak bersinggungan dengan Luca yang langsung menganggukkan kepalanya.
“Anya!” Terdengar suara Gruzinsky yang seolah-olah memang menunggu panggilan tersebut. “Kemana saja kau?”
“Hai, Vlad!” sapa Anya untuk basa-basi. “Maaf aku tidak sempat mengabarkanmu jika aku pergi. Kau tidak perlu khawatir.” Ia tersenyum kecil.
“Ya, ya, aku tahu.” Gruzinsky terdengar senang sekali. “Aku menunggu kabar baik darimu.”
“Pasti,” Anya benar-benar sudah membohonginya. “Tunggu kabar dariku. Kau tidak akan kecewa.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Darker Than Night
ActionAnya Alexeeva merupakan seorang assassin yang bekerja untuk mafia Rusia mendapati jika dirinya berada dalam skenario yang telah disusun oleh bosnya sendiri, yaitu menyingkirkannya. Keinginan besar Anya untuk balas dendam semakin besar begitu bertemu...