LUCA menyeringai pada Anya sebelum membungkuk. Kali ini bibirnya hanya beberapa inci dari bibir Anya yang sedang menatap mata biru lautnya yang indah nan memabukkan saat pria itu menatap bibirnya dengan agak lapar. Anya melihat dia mengepalkan tangannya dengan erat seolah mencoba menahan diri dari melakukan sesuatu.
Mata Luca mengarah ke atas ke arah mata Anya dengan tatapan yang dalam. Dia semakin mencondongkan tubuhnya ke arah Anya sehingga membuatnya dengan sengaja menunggu sebuah ciuman datang.
Anya ingin membiarkan hal itu terjadi. Satu atau dua ciuman tidak masalah jika menyangkut masalah rencananya. Dia menunggu bibir yang indah itu menyentuh bibirnya, akan tetapi tampaknya itu tidak pernah terjadi sebab Luca malah beranjak pergi meninggalkannya begitu saja.
Mungkin saja Luca harus segera ke kamar kecil, jadi itu sebabnya dia tidak jadi menciumnya, pikir Anya yang hampir menahan tawa. Atau mungkin ada sesuatu yang menahan dirinya. Dengan itu Anya hanya menghela nafas sebelum membaringkan kepalanya lalu memejamkan matanya.
Setelah beberapa waktu berlalu, Anya yang hanya diam karena suasana lengang—mereka tampak tertidur lelap sejak tadi—di sekitarnya. Dia mulai mendengar suara-suara bergerak pelan, namun matanya masih sengaja terpejam.
“Ambilkan seember air dingin. Aku akan membangunkannya dalam hitungan detik.”
Anya tahu suara siapa itu. “Kau pikir aku tidak mendengarnya?” Ia segera membuka matanya sembari menatap tajam Enzo yang sedang menahan diri untuk tidak tertawa keras.
“Oh, rasanya menyenangkan sekali. Sepertinya membuat seseorang kesal akan menjadi hobiku.” Enzo terkekeh pelan. Di sebelahnya ada Fabio yang sedang menyeringai. “Omong-omong, kita sudah tiba di New York. Jadi cepatlah bergerak. Angkat pantat dan tubuhmu.”
“Ck! Brengsek!” geram Anya dengan mata yang terpaku menatap Enzo yang sudah beranjak meninggalkannya. Matanya mulai memindai sekeliling yang sepi. Semuanya sudah beranjak keluar, itu berarti Luca pun sudah berada di luar sejak tadi. Ia pun segera beranjak keluar. Ia turun dari pesawat dan disambut oleh udara asing—udara New York. Cuacanya lembab dan agak cukup panas. Ia mendapati jika Luca sedang berada di depan sebuah mobil limousine hitam. “Apa yang sedang kau lakukan?”
“Tentu saja menunggumu.” Luca memberikan jawabannya yang jelas sembari tangannya terjulur ke arah Anya untuk diambil.
Dengan sengaja Anya mengabaikan uluran tangan untuk digandeng itu. Luca menarik kembali tangannya sembari menatap Anya dengan sebelah alis terangkat. Anya memilih mengabaikannya kembali sehingga Luca meninggalkannya yang berdiam di sana sendiri. Luca pergi begitu saja tanpa penjelasan dan dia bertingkah seolah tak terjadi apa-apa.
Begitu Anya masuk ke dalam limousine, dia melihat ternyata sudah ada Dante yang sebelumnya tidak berada di pesawat yang sama dengan mereka, lalu ada Carla, Fabio, maupun Enzo. Sosok Dante mungkin terlihat sebagai orang yang agak serius sebab wajahnya tampak cenderung datar. Anya penasaran apakah dia memiliki masalah emosi seperti kebanyakan pria mafia, sebab mereka dengan mudah kehilangan kesabarannya hanya dalam hitungan detik jika seseorang melanggar sedikit batasnya.
Sembari menyilangkan kedua tangannya di depan dada, Anya menghirup udara dengan mata yang melihat-lihat gedung-gedung pencakar langit di mana-mana dan jalan-jalan yang sibuk. Orang-orang berjalan kesana kemari sibuk menelepon atau mungkin hanya memikirkan urusan mereka sendiri.
Kemacetan lalu-lintas ini membuat Anya dan yang lainnya harus terjebak di dalamnya. Mobil-mobil lain di sekitar kendaraan mereka terus menerus membunyikan klakson pada mobil di depannya agar tetap melaju padahal tidak bisa.
New York memang kota yang selalu sibuk dan pastinya sebagai kota yang tidak pernah tidur. Kemacetan ini sepertinya sudah membuat Anya tambah muak.
“New York memang indah.” Carla tiba-tiba berbicara begitu ia menyadari sejak tadi Anya fokus memperhatikan suasana jalanan yang macet dengan orang-orang di sekitar trotoar sibuk dengan hal mereka seperti tertawa, bercanda dan lain sebagainya. “Tapi tidak dengan kemacetan ini. Dan tunggu saja sampai kau melihat tikus-tikus besar di sekitar trotoar.”
“Tikus-tikus besar yang menjijikkan... um, aku merasa seperti tidak asing dengan sebutan tikus.” Anya bergumam sendiri dengan tatapan mata yang sedang menerawang. Ketika mendengar kata tikus, ia mulai mengaitkannya dengan Gruzinsky dan antek-anteknya.
Carla kembali asyik berceloteh banyak hal. Anya hanya mendengarkan tanpa ikut dalam pembicaraannya. Dia mulai menghela nafas dan memiringkan kepalanya ke sisi mobil dan bersandar di sana dengan mata tertutup.
Anehnya Anya bisa merasakan tatapan seseorang dan mengetahui jika itu ialah... tatapan Luca. Anya memilih untuk mengabaikannya. Dia menyadari jika limousine yang ditumpangi oleh mereka mulai berhenti tepat di depan pagar sebuah rumah luar biasa indah dan sangat megah.
Gerbang baja besar terbuka, lantas kemudian limousine tersebut masuk dan mendapati ada banyak deretan mobil-mobil mahal berjejer di depan. Di tengah halaman juga terdapat air mancur besar.
Rumah megah nan mewah di hadapan mereka ini begitu luar biasa besar. Rumah tersebut memiliki tiga lantai dan jauh lebih besar ketimbang mansion di Italia.
“Papa!” Terdengar suara antusias seorang bocah laki-laki yang mungkin berusia sekitar lima atau enam tahunan berlari keluar dan diikuti seorang wanita berwajah cantik yang sedang senyum sembari menatap seseorang.
“Jagoan kecil papa.” Dante langsung menggendong bocah laki-laki itu sembari mencium gemas pipinya. Ia lalu menghampiri wanita cantik berambut kepirangan dengan warna mata kecoklatan.
Mereka berdua itu sudah pasti merupakan anak maupun istri Dante. Anya diam-diam mengamati pasangan tersebut yang sedang bermesraan. Matanya juga melirik ke arah perut wanita cantik itu yang tampak sedikit menonjol yang menandakan bahwa dia sedang mengandung buah cinta mereka.
“Greta, aku ingin memperkenalkanmu pada Anya.” kata Dante sembari menunjuk Anya.
Belum sempat Anya menyapa halo dan mengulurkan tangannya, Greta sudah lebih dulu merangkulnya seolah-olah mereka adalah teman lama yang pada akhirnya bertemu. Anya sempat terkejut. Untuk ukuran wanita hamil yang terlihat ringkih, sosok Greta yang merupakan istri dari Dante ini cukup gesit dan kuat juga.
“Selamat datang, Anya.” Dengan gembira yang terasa aneh bagi Anya, Greta tampak seperti benar-benar peduli padanya. “Apa kau sudah makan? Aku tidak bisa membiarkan siapapun di rumah ini kelaparan.”
“Y—ya,” Anya agak kewalahan dengan Greta yang bersemangat.
“Ini putra kami... Luchino.” Dante memperkenalkan putranya yang sedang malu-malu sembari bersembunyi di belakang ayahnya ini.
“Halo, Luchino!” Anya menyapa seramah mungkin dan berusaha membuat agar bocah kecil itu tidak takut padanya. Ia sebenarnya agak tak mengerti bagaimana berurusan dengan anak kecil namun ia akan mencobanya. “Kau sangat menggemaskan sekali. Senang bisa bertemu dan berkenalan denganmu.”
“H—hai!” Luchino dengan malu-malu balas menyapa. Bocah kecil berwajah tampan ini memang benar-benar mirip seperti Dante. Ia tiba-tiba bergerak menuju ke ibunya sembari merengek minta sesuatu sehingga membuat sang ibu dengan sabar menggandeng tangannya masuk ke dalam rumah.
“Apa kau benar-benar menyukai anak kecil?” Tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang Anya, dan tentu saja suara itu merupakan suara Luca yang berjalan beriringan dengannya memasuki mansion dan membawanya ke suatu tempat.
Anya hanya tersenyum. Dia bergumam mengatakan sesuatu omong kosong sembari merendah. Mencoba memasang wajah penuh kebohongan yang dia buat agar tampak sangat meyakinkan. Jika dia sekarang menghadap sebuah cermin mungkin dia sendiri akan muntah melihat kebohongannya yang agak memuakkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Darker Than Night
ActionAnya Alexeeva merupakan seorang assassin yang bekerja untuk mafia Rusia mendapati jika dirinya berada dalam skenario yang telah disusun oleh bosnya sendiri, yaitu menyingkirkannya. Keinginan besar Anya untuk balas dendam semakin besar begitu bertemu...