PART XLVI

16.3K 717 7
                                    


.
Wajah orang, atau lebih bisa disebut pria di hadapanku ini cukup mengerikan. Tinggi besar dengan bekas luka di pipi dan tato di sekitar leher dan lengannya, dan yang membuatku bergidik adalah botol minuman keras yang ada di genggamannya. Aku menelan ludah dan mundur teratur, dan ia juga mengikuti langkahku dengan maju memperpendek jarak. Belakang tenda ini tepat di pinggir lapangan ini gelap dan cukup sepi. Ponselku kugenggam erat, kuharap bisa melakukan panggilan darurat dengan cepat, entah polisi atau Rei..

"Jangan ganggu dia." Suara dingin itu membuatku terkesiap, terkejut sekaligus lega. Namun kejadian selanjutnya adalah diluar dugaan. Sangat cepat sampai hanya mulutku saja yang terbuka lebar. Hanya dalam beberapa detik Rei berhasil menjatuhkan orang itu dan menghajarnya habis-habisan.

"Rei berhenti!"segera setelah kesadaranku kembali aku berteriak keras memperingatkannya. Tinjunya membeku tepat di depan wajah pria tadi yang sudah berlumuran darah. Dada Rei naik turun karna emosinya, dari samping aku bisa melihat tatapan matanya yang mengerikan. Belum pernah kulihat yang seperti ini, bahkan lebih menakutkan daripada saat dia marah padaku. Ini jenis tatapan kebencian yang kelam, kakiku bahkan hampir lemas hanya dengan melihat pandangan seperti itu.

Rei berdiri dan menormalkan tarikan nafasnya sambil memejamkan matanya. Pria di bawahnya tampak tak bisa lagi melawan, ia mengerang kesakitan tanpa bisa berbuat apa-apa. Aku bergerak mendekat tapi yang dilakukan Rei selanjutnya membuatku terbelalak dan kakiku membeku di tempatnya.

Ia merogoh saku dalam jaketnya dan mengeluarkan sebuah benda yang hampir membunuhku saat-saat awal aku tinggal di rumah Rei. Sebuah revolver. Kini dia tidak mengarahkannya padaku, tidak sedang bangun tidur atau tidak demam. Ia benar-benar sadar menggunakan senjata itu dan bersiap menarik pelatuknya. Nafasnya sudah lebih tenang tapi tatapannya masih mematikan.

"Kau gila.. RAIHAN HENTIKAN!!"

Wajah Rei berpaling padaku dengan senjata yang masih tertodong ke arah pria yang terbaring di bawahnya. Sepertinya ia tak sadar bahwa ada pistol yang ditodongkan padanya, ia sudah hampir tak sadar. Aku kembali mendekat ke arah Rei yang masih menatapku dengan matanya yang kelam.

"Jangan lakukan. Kau bisa membunuhnya."

"If i don't kill him, he will hurt you." Ucapnya sambil kembali memandangi pria yang terkapar itu.

"No, he can not. Look at me.." aku menarik lengan Rei agar ia menghadapku. Itu membuatnya menurunkan senjatanya. "I'm fine, okey? You've saved me and given him punch. Please, we can go home now.." bujukanku membuahkan hasil, Rei menyimpan kembali revolvernya. Sedikit bisa bernafas lega saat tatapannya mulai melembut.

Ia mengambil tanganku dan menarikku ke dalam pelukannya. "Kamu nggak papa?" seharusnya aku yang menanyakan itu, dan lagi aku sudah mengatakannya tadi bahwa aku baik-bak saja. Sebagai jawabannya aku hanya mengangguk.
"Kita pergi." Ucap Rei pada akhirnya, menuntunku berbalik dan meninggalkan pria tadi.

Entah bagaimana akhirnya aku berhasil mengemudi sampai rumah dengan selamat, tidak kehilangan anggota tubuh atau apa. Fiuh.. benar-benar baru bisa bernafas lega. Tadi Rei sempat meminta kunci mobil, tapi tak kuberikan. Firasatku mengatakan kalau dia bakal mengemudi dengan gila-gilaan. Maaf saja tapi aku masih sayang nyawa jadi tak kuberikan.

Sekitar jam sembilan kami tiba dan mengangkut makan malam kami ke dalam rumah. Sepertinya kami akan kurang berselera makan setelah kejadian barusan. Huh.. padahal semua makanan yang telah kami beli seharusnya terlihat sangat menggiurkan.

Segera kusiapkan makanan di atas meja. Sate iga, bubur kacang hijau, es camcau, getuk trio. Rei mendekat ke meja makan. Aku melihat ia memegang suatu barang yang masuk dalam daftar benda yang kubenci.

HOPELESS (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang