PART X

23.8K 1K 7
                                    


Sehalus-halusnya suara mobil, pasti masih akan terdengar jika kau ada didalamnya. Desiran halus suara mobil membuatku terjaga. Kepalaku bersanda di pangkal kaki seseorang.

“Rei..” gumamku.

“Pangeran kodokmu itu gak ada. Sepertinya kau telah dicampakkannya dengan wanita murahan itu.” Jantungku hampir copot saat tahu aku bukan berada di mobil Rei. Aku terlonjak duduk, tapi rasanya ingin kembal i tiduran karna ada gelombang menyakitkan berdenyut di kepalaku.

“Si..siapa lo?” pria yang tadi?? “kemana lo bawa gwe?”

“Kau lebih manis kalau pingsan. Gak jutek kayak gini.” Dia mengacuhkan pertanyaanku.

Rasa mual tadi masih menyerang perutku secara membabi buta. “Ergh..” kupegangi perutku untuk meredakan rasa sakit.

“Kamu itu masih pucat, lebih pucat lebih baik tiduran aja lag..”

“Huek..” fix, rasa mual kau menang! Seluruh sarapanku tumpah ruah secara menjijikkan dan mengotori mobil orang.

“Minum..” dia menyerahkan sebotol air mineral. Segera kuminum sampai habis setengah botol.

Aku menghela napas agak lega. “thank’s .. and sorry. Mobil lo jadi gini. Kirim saja tagihan pembersihanya padaku. Dan bisakah kau mengantarkanku pulang sekarang?”

“Ck.. aku bukan supirmu.” Dia berkata dengan kecut.

Aku memandangnya heran. Apa dia marah karna aku muntah di mobilnya? “ok.  Kalau begitu hentikan mobilnya. Aku akan mencari taxi.”

“Gwe yang punya mobil ini, dan cuman gweyang punya  kendali atas mobil ini. Jadi diamlah.” Tegasnya.

Gak waras nih orang, pikirku. “mana clutch gwe?” aku bertanya karna menyadari aku tak memegangnya lagi. Sebenarnya aku mencari ponselku, yah.. jaga-jaga untuk menghubungi Rei, atau siapapun..

“Dah gwe buang.” Katanya datar.

“What..??!!” ok, aku benar-benar harus keluar dari mobil ini. Secepatnya. Orang ini tentu punya niat jahat. “Pak, hentikan mobilnya sekarang juga!” aku beranjak hendak meraih lengan si supir. Tapi aku gagal. Ada lengan kekar yang menarik tubuhku kembali duduk. “Hei!! Lepas..!!” apa-apaan sih dia! “Hmmpht...” dia membungkamku.. dengan mulutnya
.
.
.
.
Dia benar-benar gila. Mulutnya bergerak kesar di bibirku. ”Henti....” tak memberiku kesempatan berujar. Juga mendorong tubuhku secara paksa hingga terbaring di jok, mempersempit ruang gerakku. Aku.. aku sama sekali tak bisa berkutik. Poasturnya yang kekar tentu jauh lebih kuat dariku. Aku marah, jengkel dan takut. Ia dengan liar mencecap lidahku, menikmati seluruh mulutku.

Baru setelah napasnya hampir habis dia berhenti. Napasku jauh lebih memburu. Aku belum pernah berciuman seliar itu, meski dengan kekasihku dulu. “Diamlah. Jangan kembali memaksak untuk membungkammu.” Ancamnya tepat di telingaku.

Kudorong tubuhnya kuat-kuat. Lalu kuhadiahi dia dengan sebuah tamparan.

Plakk..!!

Tepat di pipi kirinya. Warna merah langsung menjalar di pipi tirusnya itu.

“Kau kalau marah manis juga..” aku menepiskan tangannya yang hendak menyentuh rambutku.

“Jangan pernah menyentuhku lagi!” gertakku.

“Atau apa? Kau mau melakukan apa..” dia menertawai dengan sinis gertakanku. Psikopatkah dia? Kemana sebenarnya mobil ini melaju? Dan apa yang akan terjadi padaku? Pikiran itu terus berkecamuk di kepalaku. Membuat denyutan di kepalaku semakin parah.

Tak sampai berapa lama, kurasakan mobil berjalan melambat. Aku melayangkan pandangan keluar kaca mobil. Dan mobil berhenti tepat di depan sebuah.. klinik?. Tapi apa ini memang benar-benar klinik? Atau ini tempat penyamaran dari sebuah tempat jual beli manusia yang disamarkan menjadi sebuah klinik. Apa pria tadi akan menjualku?

Tok..tok.. “cepat keluar” dia mengetuk kaca pintu di sampingku.

“Cepet banget dia keluar.” Gerutuku. Tapi kalau dia keluar.. berarti...

Aku berbalik ke arah pintu yang lain. Yap! Gak terkunci. Sgera saja kubuka, tapi sebelum aku lari. Kutanggalka heelsku. Aku akan kena sial kalau lari dengan heels itu. Secepat kilat aku berlari ke arah jalan raya.

“Hey..!!” tak kupedulikan teriakan pria tadi. Aku harus secepatnya mencapai jalan raya, mencari taxi, atau tumpangan lain. Tak peduli betapa keras dan panasnya paVing yang kupijak. Aku harus melepaskan diri.

“Kena kau!” dia menyergap, menangkapku, dan menggendongku paksa

“Argh...!! siapapaun tolong..tolooongg..!!!” aku berteriak keras sekali. Memberontak sekuat tenaga. Enggak, aku nggak boleh kalah.

“Tenanglah! Kau ini kenapa sih!”

“Kau yang kenapa! Dasar bregsek!! Turunkan aku!!” aku mengamuk, meronta memukul dadanya. Tapi dia tak bergeming sama sekali. Dia membawaku masuk klinik tersebut.

.
.
.

“Dia cuman kena magh dan terlalu capai.”

“Aku tak mengidap magh, dan akhir-akhir ini aku makan dengan teratur.” Aku memrotes diagnosa dokter pada penyakitku.

“Mrs. Curtiz, magh bukan hanya karena telat makan saja. Bisa juga kebanyakan pikiran, bisa mempengaruhi kerja lambung.”

“Aku bukan mrs. Curtiz.” Tandasku. Sudah dua kali hari ini orang salah memanggilku.

“Apa cuman magh doang dok? Gak ada masalah kejiwaan?” tanya Alex. Dia pasti menyindirku. Gara-gara aku berpikiran aneh-aneh sampai-sampai mau melarikan diri, padahal dia sudah berbaik hati. Memalukan pastinya. Seharusnya ini gak terjadi jika kalau dia bilang dari awal. Dia nggak ngasih tau sih, maen bawa-bawa orang aja. Ya, pria brengsek itu bernama Alex, Alexander curtiz. Itu yang kutau dari dokter yang memeriksaku tadi, dia memanggilnya dengan Alex, dan kadang Alexander. Curtiz adalah nama keluarganya, dokter memanggilnya begitu ketika pertama kali kami masuk ke ruang pemeriksaan.

Aku melirik sengit padanya. Di pipi kirinya masih terlihat semburat merah bekas tamparanku. Aku agak menyesal. Tapi itu juga pantas untuknya, siapa suruh dia main nyosor. “Kenapa kalo emang gwe gila?” tantangku.

“Cih.. gak usah diperiksa lagi, kau pasti punya gangguan jiwa.”

“Ini resepnya. Kalian bisa tebus di apotik sini.” Sang dokter menengahi kami yang hampir bertengkar kembali. Sepertinya juga itu untuk mengusir kami.

“Baiklah, terima kasih dokter.” Alex menyalami dokter dan keluar bersamaku.

“Mana clutchku?”

“Kan udah gwe bilangin, udah gwe buang.”

“Heh! Jangan sembarangan ya, di dalemnya tuh ada ponsel gwe, kartu kredit, KTP, sim. Lo ga bisa sembarangan gitu dong buang barang orang.”

Alex tak memperdulikan omelanku. Dia berjalan cepat mendahuluiku. Kakiku masih sakit gara-gara tadi lari-larian sambil nyeker di atas paVing yang kasar dan panas. Sial, sakitnya baru kerasa sekarang.

Tapi ngomong-ngomong Alex pergi kemana ya? Aku udah sampai di lobi tapi dia tak kelihatan batang hidungnya. Apa dia udah bener-bener pergi? Aku menengok ke arah parkiran. Hanya ada mobil fortuner putih dan suv merah. Loh.. gwe gimana dong pulangnya?

“Kenapa kau celingukan gitu. Mau kabur lagi?” aku terkesiap dengan pertanyaan itu. Ternyata dia belum pergi. Lalu mobilnya dimana? Aku yakin tadi warna mobil Alex hitam pekat, meski aku gak yakin jenis mobilnya apa. Masak uya warnanya luntur jadi putih gara-gara kena sinar matahari.
“Silahkan kalau kau mau pergi.” Aku tahu itu sebuah sindiran keras yang ditujukannya padaku. Aku hanya bisa membalasnya dengan tatapan sebal. Aku tau aku sangat memalukan tadi, menolak orang menolongku dan menyerangnya. Aku terus bertahan menatap sebal kepadanya, lalu akhirnya dia mengalah.
“Ayo, akan kuantar kau pulang.” Tanpa berkata-kata lagi aku mengikuti Alex keluar.
“Masuk” perintahnya. Dia membukakan pinti mobil fortuner putih untukku. Apa aku tadi salah liat warnanya ya. Bukan. Ini memang bukan mobil yang tadi. Jika memang mobil tadi pasti ada bekas muntahanku. Yeah, gak mungkin kan dicuci secepat itu. Hah.. sebenarnya siapa sih Alexander curtiz ini.

TBC

HOPELESS (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang