***
Hotel berbintang lima itu mulai dipadati mobil-mobil mewah ketika hari menjelang malam. Orang-orang bergiliran masuk ke dalam ballroom yang saat itu dipergunakan untuk pesta pernikahan yang mewah namun intim. Tamu undangan yang diseleksi sedemikian rupa sampai-sampai si pengantin yang sebenarnya punya nama baik di negara ini pun bisa menikmati hari bahagianya dengan khidmat.
Sebastian menarik kembali kursi tempatnya duduk setelah ia tiba-tiba dipanggil oleh kenalannya untuk berfoto bersama. Maklum, ia yang berprofesi sebagai pemain basket nasional pasti dikenal banyak orang di pernikahan seseorang yang berperan penting di dunia basket Indonesia.
"Appetizer kamu belum datang?" tanya perempuan yang duduk di sebelah Sebastian.
Sebastian menatap piring kosong di depannya kemudian menggeleng. "Belum. Dikira gak ada orang kali, ya?"
Perempuan itu terkekeh. Oh, Sebastian yakin itu tawa tercantik yang pernah ia lihat. "Gak mungkin, lah. Piring kamu udah disiapkan gini. Coba ya aku tanya."
"Gak usah, Kak," cegah Sebastian sambil menahan tangan perempuan itu. "Pasti mereka balik lagi kalau kursi sebelah Kak Irina diisi."
"Beneran? Aku bisa bantu panggilin kok."
"Beneran. Kak Irina nikmati aja makanan Kakak. Aku bisa tunggu," jawab Sebastian dengan pasti.
Butuh waktu sekitar 15 menit sampai kursi di sebelah Irina diisi oleh seseorang. Sebastian tentu tidak memperhatikan karena ia sibuk mengobrol dengan Mas Satrio, anak salah satu donatur terbesar klub bola basket, yang duduk di sebelah kirinya.
"Kursi ini kosong, kan?" tanya seseorang itu pada Irina yang duduk paling dekat dengannya.
Irina mengangguk sambil tersenyum anggun. "Kosong, kok. Harusnya gak ada pemiliknya karena gak ada nama siapa-siapa di atas meja."
Seseorang itu, yang merupakan perempuan, langsung tersenyum lega kemudian membuka maskernya. "Pemberkatannya udah selesai belum ya?"
"Baru aja selesai," jelas Irina. "Tamu mempelai pria apa wanita?"
"Pria," jawab perempuan itu singkat.
Tebakan Irina, perempuan di sebelahnya itu terlihat buru-buru datang ke sana. Terutama kalau menilai dari dandanannya yang alakadar. Rambut perempuan itu dicepol oleh scrunchie warna putih gading, poninya lepek, blazer hitamnya menurut Irina paling menyelamatkan penampilannya, juga celana jeans longgar.
"Aku Irina," ucap Irina mengajak perempuan itu berkenalan.
Perempuan tadi, yang sepertinya masih sibuk menormalkan deru napasnya, langsung menoleh lagi dan tersenyum kecil. "Aku Galina. Mbaknya tamu mempelai pria apa wanita?"
"Aku tamu mempelai pria juga. Bisa dibilang temen kantor kali ya?" jelas perempuan itu ramah.
Galina mengangguk-angguk sebagai tanda merespons. Obrolannya dengan perempuan cantik bernama Irina itu harus terhenti sebentar karena pelayan datang untuk menghidangkan makanan pembuka untuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Love Was Orange
Fanfic(Series #20 Lazuardi) It was all orange. Sometimes shining, sometimes blinding. Like the ball he's holding almost 24/7. Like the t-shirt she's wearing in summer. It was all orange. But they meet again in a black and white.