17

6 1 2
                                    

REKONSILIASI: 17

─────

Bayu membawakan makanan. Ia tahu diri sekali sepertinya sudah menumpang di tempat orang. Saat ia mengangkat seplastik pisang cokelat, aku melonjak kegirangan. Sudah lama aku mengeluh di aplikasi cuit aku ingin makan piscok di dekat penjual sempol di ujung gang. Sepertinya kode-kodeku ada yang menyeriusi.

Ia terkekeh pelan saat aku tersenyum seperti orang sinting. Buru-buru kuambil tisu dan meletakkan plastik pisang cokelat itu ke atas meja di dekat sofa. Aku nyerocos, "Ini enak banget, Bayuuuu, lo harus coba!" dan melupakan kecanggungan kami beberapa hari kemarin.

Oh ya, ini... sudah berapa hari, ya, Bayu transit di sini? Mungkin tiga atau empat, aku tidak menghitungnya. Kemarin, ia menjelaskan padaku soal kegiatannya karena aku bertanya, "Kalau misalnya lo gak bisa ke studio, kenapa lo harus ke studio dan gak kerja dari rumah lo aja?"

Ia menjawab, "Yang rusak pintunya ruangan gue aja. Jadi gue harus tetep ke sana buat ini itu. Tapi karena kalau cuma buat absen lalala terus gue pulang.... jauh."

Aku manggut-manggut, malas berpikir dan bersyukur karena akhirnya aku tidak merasa secanggung itu dengan Bayu. Mungkin kehadiranku juga tidak dianggap aneh lagi bagi Bayu sehingga ia mulai mencari topik ini-itu agar kami tetap mengobrol.

Jujur, aku awalnya sempat agak ge-er karena Bayu toh bisa saja pergi ke tempat Haris—temannya—yang katanya rumahnya ada di dekat sini. Cuma, mungkin ia segan dengan orang tua Haris. Aku menepis kege-eranku karena kurang dari sebulan yang lalu, Bayu menolakku dengan halus. Jadi, aku harusnya tahu diri mungkin Bayu hanya ingin berekonsiliasi saja denganku: mengembalikan persahabatan menjadi seperti semula.

"Gue kepo deh sama Peaky Blinders," ujarku, memperhatikan poster serial televisi itu terpampang di layar TV-ku.

"Bagus, tonton aja," ujarnya sembari memakan piscok yang ia beli. "Apa motivasi lo nonton itu?"

"Ada Anya Taylor-Joy," jawabku jujur. "Tapi dia baru ada di musim kelima, kan? Gue males nonton banyak-banyak season...."

"Pelan-pelan aja," sarannya. "Maksudnya sehari dua episode."

"Itu mah sampai lebaran monyet gak selesai-selesai, Bay...."

Ia tertawa. "Satu season gak banyak kok. Enam episode per-season."

"Oh, oke," aku setuju. Nanti saja deh, kalau ia sudah pulang. "Mau nonton apa?"

"Katanya mau nonton Peaky Blinders?"

Aku menggeleng. "Nanti aja, habis lo balik. Atau besok. Gue mau menghayati."

"Emangnya kalau ada gue jadi gak menghayati gitu?" tanyanya yang kujawab dengan anggukan.

"Iyalah. Gue gak terlalu suka nonton kalau ada temennya," ujarku. Karena merasa ada yang janggal dengan kalimatku barusan, aku buru-buru menambahkan, "Ini bukan ngusir, ya, Bay..."

"Iyaa," kekehannya terdengar kemudian. "Apa aja deh, yang lo mau. Tapi bosen kalau Candy Jar."

"Dih? Emang lo pernah nonton!?"

"Pernah, lah. Lo bolak-balik rekomen itu tiap gue nanya mending nonton apa."

Aku nyengir. "Menurut lo bagus gak?"

"Bagus," aku hampir memeluknya karena jarang-jarang ada yang mengatakan hal itu. Namun kuurungkan karena kalimat selanjutnya adalah, "Tapi bukan selera gue aja. Itu terlalu heart-warming."

"Dih... lo emang suka disakiti kali ya," kesalku.

"Eh lah kok ngambek," Bayu tertawa. Ia mengacak rambutku.

RekonsiliasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang