18

12 1 3
                                    

REKONSILIASI: 18

─────

Aku mendengus kesal saat Juan mengirimiku pesan soal ia tak bisa menemuiku hari ini. Katanya, ia mungkin akan datang besok. Atau besoknya. Atau besoknya lagi. Aku semakin lama sebal dengan Juan yang tidak terus terang ia sedang menjauhiku. Aku benci kepura-puraannya, aku tidak menyukai itu. Jelas ia sedang marah, tapi bukannya seharusnya aku? Ia berujar seakan tahu apa yang sedang aku rasakan, seakan paham apa yang sedang aku pikirkan.

Di mana akal sehatnya, coba?

Bayu juga meneleponku tadi pagi ia tidak ke studio hari ini: ia tidak akan mampir. Dan itu hal yang bagus! Maka dari itu aku ingin mengajak Juan berdiskusi soal apa yang harus aku lakukan agar aku tidak kembali plin-plan dengan perasaanku sendiri. Tapi argh! Aku kesal—teramat kesal. Juan ini tidak tahu, ya, aku sudah mati-matian latihan dan galdie kotor dan gladi resik soal apa yang harus aku katakan padanya—yang kemudian diceramahi soal ini itu? Aku lebih baik mendengar Dimas dan Tania ribut dibandingkan ceramahan sialannya itu.

Sok tahu, aku membatin.

Jadi begini rasanya menjadi Tania yang dulu hampir setiap hari bertengkar dengan Dimas Berisik. Aku menghela napas panjang, berusaha menenangkan amarahku.

"Kenapa?" suaranya terdengar dengan jelas seiring ingatan itu tanpa sadar aku putar kembali di dalam kepala.

"Apa?" tanyaku, menaikkan satu alis.

"Ngeliatin gue. Naksir ya lo?"

"Kepedean lo," dengusku.

Ia menanyakan "kenapa?" sekali lagi dengan nada yang tidak sabar. Ia sepertinya sudah terlampau penasaran.

"Gue pingin lo bantu gue," aku menunduk, kalimat selanjutnya akan terlalu memalukan untuk dikatakan apabila menatapnya langsung.

"Bantu apa?"

"I.... I don't know how to explain that..."

"Then it means you don't quite understand that profoundly."

"I know...."

Ada keheningan yang tertumpuk dengan suara-suara percakapan di warung tegal ini. Aku sungguh tidak ingin mengatakan hal ini.

"Pura-pura," aku menarik napas dan menghembuskannya, "deket sama gue."

"Gue emang deket sama lo," ujar Juan.

"No—yes—no, I mean... close as in love interest."

"The hell? Is it about Bayu again? Because if it is I'm sorry I can't."

"Juan, please.... you're the only hope I have to convince him that I've moved on—at least partially."

"Gak mau."

"Elaborate kenapa lo gak mau," aku memaksa. "It's not a big deal... we're just gonna do things we usually do."

"Like what?"

"Having convo....? You're gonna do things to my hair and that kind of stuff in front of him. It's not a big deal, right, Juan? Those are the things you also do as your daily life, not a big deal. Lagian temen-temen kita juga udah ngira kita deket—in that way."

"Then what? Let's assume he is convinced, everything's back to normal, he's not gonna be awkward around you. You and him are going to be close just like before. That's what you're asking for all this time?"

Aku mengangguk, mengingat terakhir kali Bayu datang ke apartemenku, ia masih terasa asing dan jauh. "Yes...."

"Biar gue jelasin kenapa lebih baik Bayu tetep canggung sama lo," ujar Juan yang membuatku melotot. "Domino effect. Dia ngelihat lo sebagai temen deket, almost like a best friend kalau lo gak tiba-tiba confess."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 01, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RekonsiliasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang