ένα

288 23 5
                                    

Seodaliz Selatan.

"Apa yang ingin kamu makan malam ini?"

Phira meloloskan kedua lengannya ke dalam balutan mantel hijau lumut kesayangan, milik ibu mereka, mantel yang menjadi penghadang ulung tusukan angin kuartal akhir. Rambut ikal perunggu gadis itu terikat dalam gulungan rapi, sehingga tidak menyulitkan si empu ketika berada dalam ronde pelarian.

"Buah?" Iswa, adik Iswa, menyahut dari depan tungku perapian. Api harus terus menyala jika mereka tak ingin mendengar ocehan Tuan Perajut, sang pemilik rumah tua ini, tentang kulitnya yang sensitif terhadap dingin. Padahal hujan hanya turun dini hari tadi, pagi ini langit sudah kembali cerah.

"Pir, misalkan? Atau apapun yang kamu inginkan sebenarnya tidak masalah."

Setelah mengencangkan tali sepatu bot milik mendiang ayah, yang sebenarnya agak kebesaran, Phira mengusap rambut pendek Iswa yang senada perunggu. "Akan ada pesta manisan hijau jika kita beruntung."

"Benarkah?" Mata Iswa berbinar-binar, kecintaannya terhadap manisan gamblang terpancar. "Luar biasa, musim gula hijau telah datang lagi. Cepat sekali, ya? Rasanya baru kemarin kita diam-diam membuat gulali tengah malam. Sayangnya gagal total, pancinya hangus dan kita dimarahi habis-habisan oleh Si Tukang Benang yang temperamental itu."

Tawa Phira hampir meledak. Beruntung Iswa lebih dahulu menunjuk ke meja kerja Tuan Perajut, memperlihatkan bagaimana beliau tengah terlelap seperti bayi dengan dengkuran algojo. Akan menjadi masalah bila mereka membangunkannya, bukan?

"Aku akan kembali secepatnya."

"Jaga dirimu, Kak."

Phira menangkup wajah mungil adiknya, menyatukan kening hangat mereka dalam pejam sambil tersenyum. Adalah tradisi keluarga mereka sejak kecil. Meskipun ayah dan ibu telah tiada, dua bersaudara itu tetap melestarikan apa yang telah diajarkan orang tua mereka. Untuk selalu saling percaya, saling terbuka, dan saling menjaga.

Andai Tuan Takdir bisa diajak duduk minum teh dan bernegosiasi, Phira tidak mungkin membiarkan Bangsa Bara Api merenggut nyawa ayah dan ibu pada petang itu. Petang yang sekarang disebut sebagai Masa Kegelapan dalam buku sejarah. Dimana nyawa setiap nyawa harus rela menerima eksekusi tanpa terkecuali. 

Katakanlah Phira dan Iswa beruntung, mereka sempat melarikan diri ke bukit bersama para penggembala domba sekaligus rombongan domba mereka, para penebang kayu yang sedang berkemah di hutan, dan para penjelajah yang sedang memperluas cakupan peta wilayah Seodaliz. Sisanya terlalap amukan merah menyala, menjadi ladang abu, lalu menyatu dengan jalanan yang kini terinjak-injak setiap pasang sepatu. 

Invasi Bangsa Bara Api sungguh padam moral. Mereka enggan memisahkan siapa target sebenarnya dan siapa penduduk tak bersalah. Semua dipukul rata untuk dibumi rata.

Kini, sepuluh tahun telah berarak, luka-luka keluarga yang ditinggalkan pun mulai berkerak. Termasuk luka milik Phira dan Iswa. Hanya tersisa mimpi buruk dan serangkai ketakutan yang terjahit dengan bayangan. Ketakutan bahwa suatu hari mereka akan kembali diserang tanpa aba-aba. Yah, siapa yang mampu memprediksi masa depan?

Selangkah meninggalkan rumah, Phira tersambut oleh aksi kejar-kejaran pasukan angin dengan para daun cokelat yang rasanya sama sekali tak seperti cokelat. Andai perisa tumbuhan sesuai warna mereka, mungkin hidup akan jauh lebih mudah. Terutama bagi Iswa yang terobsesi manisan. Warna cokelat untuk rasa cokelat yang lezat, ungu untuk rasa buah buni yang sedikit masam dan manis, kuning mungkin untuk rasa jagung manis, merah muda untuk rasa persik (bayangkan seberapa ajaib jika seluruh begonia di kebun memiliki rasa persik), atau, ah, mari hentikan khayalan konyol ini.

Burning Escape [TXT Hueningkai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang