Dari tepi bukit, Hugan memandangi kondisi pemukiman Seodaliz Selatan yang hampir seutuhnya porak-poranda.Sungguh nestapa.
Rumah-rumah, pohon-pohon rindang, bahkan puluhan kedai dan tenda jualan di pasar seluruhnya hangus terbakar. Para penduduk yang masih dapat diselamatkan segera mengungsi ke atas bukit, di mana sang pangeran dan koloni burung walet telah menyediakan tenda-tenda evakuasi.
Hugan meraih lilitan yang terikat di atas kunciran rambutnya untuk dikencangkan. Kain hitam tersebut digunakan sebagai masker. Semua pengungsi harus menggunakan masker demi melindungi saluran pernapasan dari kepulan abu.
Apa yang terjadi? Siapa yang merencanakan segala kekacauan ini?
Seekor burung walet mendarat di pundak tegap Hugan, membuat si empu menoleh penasaran. "Apa dia sudah sadar?"
Burung corak hitam-cokelat dengan sayap runcing dan ekor panjang itu mendecit singkat, membuat Hugan langsung bergegas ke salah satu tenda pengungsi yang terletak cukup jauh dari tenda lain.
Di dalam tenda tersebut tentu saja ada..., "Siapa kamu!?"
Seorang bebal usia muda yang nyaris kehilangan nyawa sejenak lalu.
Hugan merasa sedikit lega. Duduklah dia, bersila di hadapan gadis rambut perunggu yang tampak panik akibat satu tangannya terikat ke kaki tenda—merupakan tindakan preventif, karena kemungkinan besar gadis itu akan langsung melarikan diri pascasiuman.
"Mari kita lihat apakah kamu baik-baik saja, Nona. Siapa namamu?"
Yang ditanyakan malah mengernyit heran. "Kenapa menanyakan itu? Kamu tahu siapa aku."
"Kalau begitu, kamu pasti masih ingat siapa namaku, bukan?"
"Kenapa aku harus ingat?"
"Baiklah, kita coba sekali lagi," Hugan melepaskan masker yang menutupi separuh parasnya sebelum menatap lurus lawan bicaranya. "Kamu masih ingat siapa nama pangeran tertampan dari Kastil Seodaliz ini?"
Saking tercengungnya, gadis rambut perunggu itu sampai kehilangan kata-kata.
Sungguhan dia bercanda dalam situasi seperti ini? Selera humor manusia darah biru sangat aneh.
"Tidak."
"Ah, sial. Ternyata benturan di belakang kepalamu berdampak fatal sampai seperti ini," Hugan mengusap wajahnya putus asa.
"Yang aku ingat hanya Hugan. Bukan pangeran tertampan dari Kastil Seodaliz atau apalah yang kamu katakan tadi."
"SANGAT FATAL," malah tambah frustrasi pemuda itu.
Phira tak percaya dia akan menjadi saksi sisi narsistik pangeran bungsu dari Kastil Seodaliz.
Bagian belakang kepalanya yang terbentur mendadak berdenyut, sakit dan memusingkan.
Lanskap terakhir yang terekam oleh ingatan buram Phira adalah tanah kelahirannya yang terbakar. Gadis itu baru mengetahui, bahwa dirinya telah pingsan selama hampir delapan jam.
Ingin lekas keluar Phira dari tenda pengungsian, harus segera mencari Iswa.
Kata Hugan, sebagian penduduk yang terkena ledakan dinamit sempat dievakuasi. Artinya, masih ada harapan bagi adiknya untuk ditemukan di luar sana dalam keadaan bernyawa.
"Tolong lepaskan tanganku dari ikatan ini. Aku harus mencari adikku."
"Aku sudah mencarinya untukmu. Tetapi, kurasa dia tidak di sini."
"Akan aku cari ke pemukiman, atau ke rumah kami, atau ke mana pun. Aku akan menemukannya sendiri. Jadi, tolonglah. Tolong lepaskan aku," Phira memohon sambil bertekuk lutut, tetapi, Hugan yang berkuasa di sana tidak cepat luluh.

KAMU SEDANG MEMBACA
Burning Escape [TXT Hueningkai]
FantasiUntuk kali pertama, aksi pencurian Phira tertangkap basah. Phira terpaksa melarikan diri sebelum penduduk Seodaliz memenggal tangannya, atau lebih fatal lagi, membongkar identitas yang gadis itu sembunyikan selama ini. Pelarian Phira menjadi kelana...