δέκα

95 16 18
                                    

Dendam adalah racun.

Bila sentuh bibir maka dusta hadir, bila sentuh kerongkongan maka dengki bergelantungan, bila sentuh hati maka sisa kemanusiaan telak mati.

Dendam adalah untuk mereka yang sedia mati dalam sepi.

Maka biarlah mereka padam oleh api.

Tiada lagi konversasi bersahutan sepanjang perjalanan di bawah fajar, kecuali kaki kuda hitam yang Hugan curi dari seorang pengawal saudaranya. Ah, bukan, tidak lagi sudi Hugan menyebut laki-laki itu sebagai saudara.

Makhluk apapun di muka bumi yang memiliki keberanian untuk berkhianat terhadapnya adalah bajingan.

Kepala Tabib pantas mati diterkam ikan hiu lentera. Koloni burung walet, seluruhnya, pantas mati. Mereka hanya sekumpulan bersayap dua yang manipulatif dan kompak membodohi Hugan sejak lampau.

Ketika api menjalar ke seluruh dinding dan lantai benteng, Hugan terburu-buru mencari Yvores.

Laki-laki itu berada di satu ruangan-kamarnya-berdiri menerawang ke luar jendela sembari menyesap isi cangkirnya dengan senyuman khidmat, seolah kobaran api yang mengelilingi mereka hanyalah pertunjukan simfoni kesukaannya.

Yvores terkekeh, dia kira semua penduduk keturunan bangsa istimewa telah binasa. Rupanya mereka melewatkan satu insan yang luar biasa putus asa.

Hugan hendak meraih tangan Yvores, mengajak dia lari menuju keselamatan bersamanya. Tetapi, tentu bukan adegan itu yang menjadi penutup cerita.

"Sekalipun kamu temukan mahkota itu, tidak akan mengubah fakta bahwa kamu tidak pernah pantas menggantikan ayah. Raja Hugan... oh, terdengar lebih kacau dari benteng yang terbakar. Terdengar seperti pembuka dongeng kehancuran kastil kita."

Teguk racun pertama.

"Hanya karena ayah selalu memihakmu, bukan berarti seluruh dunia akan tunduk kepadamu, Hugan."

Teguk berikutnya.

"Aku berada di pihak seluruh dunia, yang siap mengudeta kapanpun kamu berani menyentuh singgasana."

Teguk terakhir yang menjadi binasa.

Atap-atap runtuh, panas semakin bumbung, dan Hugan tak lagi mengenali saudaranya.

Yvores telah mati.

Setidaknya demikian yang tertanam dalam ego Hugan.

Padang Nirwana.

Adalah peristirahatan terakhir penduduk Seodaliz.

Phira terkesima, pemakaman yang terpampang di hadapannya ternyata sedikit berbeda dari deskripsi pada kolom koran pagi, atau rubrik cerita pendek tentang bangsa vampir yang menjadi penjaga pemakaman dan akan mengisap darah siapapun yang sedang berziarah.

Sejauh mata memandang, tidak terlihat jubah atau gigi taring vampir, hanya bukit hijau landai yang ramai bunga putih dan deretan nisan yang memuat identitas si mayat di bawahnya.

Sang pemuda rambut panjang memimpin jalan tanpa suara, pedang yang hilang dari punggungnya membuat dia tampak lebih manusia. Langkah Hugan panjang namun lamban, sedangkan Phira sangat berhati-hati agar tidak menginjak terlalu banyak bunga meskipun itu agaknya mustahil.

Mereka berhenti di suatu petak dengan nisan tanpa nama-hanya simbol yang tidak bisa teridentifikasi penduduk awam. Hugan melepas jubahnya, "Ini makam ibuku."

Phira tersentak mundur. Luka pada bahunya yang belum pulih tiba-tiba berdenyut, beradu keras dengan degup jantungnya.

Phira pun pernah meneguk racun pada pagi-pagi kala harga manisan di pasar semakin tinggi, pada siang-siang ketika Tuan Rajut tidak menyiapkan bahan masakan, pada malam-malam di mana bintang tidak jatuh dan kayu bakar tidak cukup untuk sepanjang malam. Racun itu masih pekat mengalir dalam darah.

Burning Escape [TXT Hueningkai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang