δύο

99 15 7
                                    

Setelah pelarian panjang, nyaris 60 jam tanpa jeda dan acuan peta, sang penunggang kuda putih yakin dia telah berhasil meninggalkan perbatasan Seodaliz Pusat. Entah di wilayah mana mereka sekarang, setidaknya bukan lagi di dalam hutan belantara seperti malam-malam sebelumnya. Artinya, mereka bisa rehat sejenak dan memulihkan tenaga.

Pemuda berjubah kelabu itu melompat turun dari punggung kudanya, membiarkan sepatu bot legamnya bercengkerama dengan pijakan yang bukan lumuran tanah basah, melainkan hamparan rumput segar dan randa tapak kuning yang dikara. Desau dan terpa angin dingin menerbangkan bunga-bunga kecil di sana, seolah ikut menyambut mereka. Rasanya seperti menginjak surga.

Jubah yang melilit pada kerah si pemuda dikendurkan, menyisakan kemeja satin kuning dan rompi perangnya yang sangat berat, karena terbuat dari bahan penangkal logam dan api. Sekalipun demikian, dia tetap akan menggunakan rompi tersebut selama sedang rehat. Apapun yang terjadi, dia tidak boleh sampai lengah. 

Pasukan Kuda Hitam yang entah utusan siapa pasti masih gencar memburunya di luar sana. Bahkan tidak mustahil jika mereka kembali muncul malam ini dan mengejar mereka lagi. Hanya tinggal menghitung tenggat, dan sisa keberuntungan, dan sedikit insting untuk mencari markas persembunyian.

Mulai dari atas kepala, Hugan perlahan menumpahkan sisa air dari botol minum ketiganya. Sampai terbasuh helai-helai rambut hitam panjangnya, wajah lelahnya, leher jenjangnya, sisanya dibiarkan menetes sebagai penyegar pakaian. Namun, botol ketiga adalah botol terakhir mereka, sehingga pencarian mata air perlu dilakukan.

Hugan menyugar rambutnya sebelum mengusap surai kudanya. "Beristirahatlah, kawan," kemudian tali kekang mamalia kaki empat itu diikatkan ke batang pohon kukuh di dekatnya. "Kita akan pergi besok sebelum fajar tiba."

Bersama tiga botol di tangan, Hugan berjalan menyusuri padang randa tapak yang semakin elok ketika berterbangan mengisi udara. Tak jauh dari sana, si pemuda menemukan aliran sungai yang cukup jernih, tampak aman untuk melepas dahaga.

Setelah mengisi botol minum, Hugan melepas sepatu botnya yang telah mencekik jari kaki hingga lututnya selama tiga hari berturut-turut. Pemuda itu menggeram pelan ketika kaki telanjangnya bertemu air dingin yang deras menggulir. Banyak lecet dan lebam keunguan pada sekujur kaki Hugan, tetapi, sama sekali tidak terasa perih sebelumnya. Mungkin akibat mati rasa.

Hugan merenggangkan persendiannya yang kaku sembari memikirkan kembali situasi apa yang sedang dihadapi sekarang.

Pasukan Kuda Hitam itu jelas bukan utusan suatu kerajaan. Kemungkinan mereka hanya sekelompok bandit yang menyerang. Jika hendak menabuh genderang perang, seharusnya mereka lengkap membawa artileri dan pimpinan mereka, bukan bergeriliya dengan senjata tangan dan senapan jarak pendek seperti persekutuan bebek sungai kotor. 

Lebih masuk akal, Pasukan Kuda Hitam ialah sekumpulan bandit yang mendengar kabar kematian Sang Raja dan mengetahui sistem penyerahan tahta yang terbilang tak biasa. Iya, Hugan semakin yakin akan keabsahan skenario tersebut.

Sang Raja, ayah Hugan, tewas dua bulan lalu akibat sakit keras. Beliau meninggalkan wasiat untuk Hugan dan kakaknya, bahwa penyerahan tahta akan ditentukan melalui pencarian mahkota leluhur mereka. Siapapun di antara Hugan dan sang kakak yang lebih awal menemukan mahkota tersebut akan resmi menjadi penerus ayah mereka. Menjadi Raja di Kastil Seodaliz.

Semula, Hugan menolak untuk mematuhi wasiat ayah mereka. Dia sangat menyayangi sang kakak melebihi apapun di dunia. Mereka tumbuh dewasa dan melalui segala hal terbaik dan terburuk bersama. Sama-sama terlahir sebagai pangeran, sama-sama berlatih untuk melindungi kastil mereka, sama-sama menyaksikan kematian ibu mereka di medan perang, sama-sama menyaksikan singgasana ayah mereka diambil alih kekosongan, kini, mereka sama-sama disediakan peluang untuk menjadi pemimpin kerajaan. 

Burning Escape [TXT Hueningkai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang