Atap rendah dan dinding gubuk penginapan yang terbuat dari kayu lapuk membuat berbagai suara dari luar terdengar jelas dan jernih. Suara rintik hujan, nyanyian burung hantu yang dikomando guntur, sampai ketukan-ketukan ranting pohon pada jendela kamar yang terkunci. Jika lebih menghayati, gema lolong serigala pun dapat terdengar samar-samar.
Konon, lolong serigala merupakan indikasi peristiwa mistis. Sesuatu terkait hantu-hantu rawa.
Phira tak kunjung terpejam meskipun telah berbaring dua jam di atas matras. Kain yang menyelimutinya terus-menerus digaruk, gelisah menggerayangi sekujur kulitnya. Phira perlahan mengganti posisi untuk melihat punggung Hugan. Pemuda itu tampak tertidur pulas.
Kesempatan bagus. Sekarang atau tidak selamanya.
Menongkah gemetar, si gadis rambut perunggu pelan-pelan merangkak untuk meraih pedang yang bersandar di dekat pintu. Tetapi, muatan logam pada senjata tersebut membuatnya begitu berat untuk sekadar dipindahkan. Bilah pedang itu diangkat menggunakan kedua tangan, lantas diarahkan tepat ke sisi wajah sang pangeran.
Di dalam kamar sunyi-senyap itu, hanya suara napas dan degup jantung Phira yang terdengar begitu keras. Phira menahan napas. Tangannya mulai berhenti bergetar. Sekali ujung runcing itu jatuh menusuk, nyawa Hugan tak akan bertahan lebih dari hitungan sekon.
Dan Phira dari Selatan akan tercatat sebagai pembunuh dalam sejarah Seodaliz.
Semua dikarenakan dongeng Hugan barusan. Bagaimana dia dengan tenang menceritakan, bahwa Sang Ratu mendukung strategi pembantaian para Menteri Kastil Seodaliz terhadap seluruh penduduk yang merupakan bagian dari bangsa istimewa—Bangsa Bara Api adalah salah satunya.
Bangsa istimewa dianggap sebagai parasit dalam kasta penduduk Seodaliz. Mayoritas dari mereka—keturunan bangsa istimewa—cenderung berperilaku dominan dan memiliki ragam postulat yang berpotensi menjamurkan kesenjangan sekaligus menentang pemerintahan. Raja dan Ratu yakin, cepat atau lambat, perang antarpenduduk akan meletus. Itulah mengapa genosida akhirnya terjadi di tanah Seodaliz sepuluh tahun silam. Mengantar mereka kepada Masa Kegelapan.
Tangan Phira kaku. Hanya tinggal sejengkal menuju penuntasan dendam yang terpendam bertahun-tahun, tetapi, nuraninya tak kunjung mengizinkan. Dengan napas tertahan di ujung tenggorokan, Phira melangkah mundur sedikit-sedikit, lalu meletakan pedang Hugan ke tempat semula tanpa menimbulkan bising.
Tidak. Iswa tidak akan bangga memiliki kakak seorang pembunuh.
Phira terpaksa meninggalkan gubuk penginapan sebelum bisikan iblis kembali merenggut akal sehatnya. Buru-buru gadis itu mengambil obor dari depan gubuk untuk dijadikan penunjuk jalan yang, sebenarnya, kalah kuasa dengan pekatnya kegelitaan rawa. Pelarian dini hari pascahujan pun dimulai.
Pelarian dini hari memang jauh lebih mengerikan dibandingkan jam-jam lain. Tetapi, insting Phira berkata, matahari akan segera terbit dalam waktu dekat. Kelak hingga saat itu tiba, dia harus sanggup bertahan hidup.
Selain intuisi dan api dari obor, penuntun pelarian Phira adalah koloni gagak hitam yang terbang kalang-kabut. Kepakan sayap dan kicauan mereka sangat ribut. Aneh. Koloni gagak hitam berarak menuju satu destinasi tidak terlihat seperti agenda wajar. Iya, katakanlah mereka sedang melakukan migrasi, tetapi, mengapa harus kalang-kabut seperti itu?
Beberapa gagak hitam terbang rendah dan menarik-narik mantel Phira. Phira berlari semakin cepat sambil mengayunkan obor dalam genggamannya ke segala arah, berupaya mengusir para burung kurang ajar yang terus menganggunya.
Bruk!
Phira tersandung lalu jatuh tak tertolong. Obornya padam ketika tubuh Phira menghantam tanah berlumpur. Gadis itu menggeram, amarah dan resah bercampur aduk dalam darahnya yang menetes dari luka sobek pada kulit lengannya. Tangan Phira mengepal kuat-kuat, menahan diri agar sesuatu yang paling berang dalam dirinya tidak mengambil alih.
Namun, ketika lolong serigala menggema dari kejauhan, gadis malang itu tak lagi punya pilihan.
Kalung manik putih yang melingkar pada lehernya dicabut dalam sekali hentak. Setiap butir maniknya jatuh tersebar, menghilang di antara tanah berlumpur dan rerumputan liar. Phira tak kuasa menahan desak air matanya, rongga dadanya terhimpit sesal yang membuat sesak.
"Ayah, Ibu, Iswa... maaf. Aku telah melanggar janji."
Telapak tangan Phira memanas, kuku-kukunya seakan hendak meleleh, lalu dari ujung jari-jemarinya mulai memercik merah api. Sekali gagak hitam kembali mendekati, Phira hanya butuh mengayunkan tangan ke arah hewan itu dan membuat mereka terbakar hidup-hidup.
Di dunia luar yang terlampau pirau dan kacau, tidak butuh lagi menyembunyikan persona sejati sebagai keturunan Bangsa Bara Api.
Demi melindungi diri, inilah momen yang tepat bagi Phira untuk menjadi diri sendiri seutuhnya. Bermain dengan kobaran api yang sejak lahir menyala dalam atmanya.
Obor yang padam kembali disulut, kali ini terjamin akan senantiasa menyala. Phira menjadi lebih berani, pijakan kakinya semakin pasti. Makhluk apapun yang nekat mengusik hanya akan terbakar habis olehnya. Keji, tetapi, ialah satu-satunya siasat agar pulang menjadi mungkin.
"Phira! Phira, tunggu!"
Gadis pembawa obor itu sontak menoleh ke belakang. "Sial, kenapa dia mengikutiku!?"
Ternyata Hugan mengekorinya. Tidak, Phira tidak bisa mengambil risiko bertemu sang pangeran lagi. Mereka hanya akan terjebak di ambang membunuh atau terbunuh, tak ada yang lain.
Lari, Phira. Lari... Lari!
Kaki mereka beradu cepat dengan larian koloni gagak hitam, menjauhi lolong serigala yang terus-menerus membangunkan fajar, menembus singsing kebiruan yang telah mengakar di ufuk temaram.
Jembatan Berma telah nampak. Tanpa pikir panjang Phira sengaja menjatuhkan obornya ke tanah, sehingga rerumputan liar dan tanaman sekitarnya konstan merambatkan api yang sulit untuk dilewati. Strategi Phira berhasil membuat Hugan berhenti mengejar.
Gadis rambut perunggu itu menyeringai, memandangi sang pangeran dari sela-sela kobaran api yang membentang di antara mereka. Tatapan lejar Hugan seakan meneriakan sesuatu kepada Phira, entah apa, sesuatu yang sarat kecewa dan putus asa. Ah, tahu apa putra mahkota perihal kecewa dan putus asa?
Fuh... Phira mengembuskan napas panjang. Namun, pergerakan kecil itu justru menjadikan kobaran api di hadapannya lebih besar dan ganas. Phira sendiri pun terperanjat, tak sangka kekuatannya bisa sedemikian dahsyat.
Setelah yakin Hugan tidak akan mampu menerobos benteng api yang dia ciptakan, Phira lekas melanjutkan pelarian menuju rumah yang telah nampak di ujung sana, di mana biru pagi mulai bercahaya.
Tepat ketika sepatu bot Phira melewati perbatasan antara Seodaliz Utara dan Selatan, sebuah ledakan skala raksasa membuatnya kembali jatuh terhempas kasar ke tanah. Kepalanya membentur pagar jembatan, menimbulkan sakit tak tertahankan.
Sebuah dinamit baru saja diletuskan. Seluruh penduduk Seodaliz Selatan menjadi korban.
"Tidak... Iswa... Larilah...."
Phira, untuk kali kedua, harus menjadi saksi tak berdaya atas kehancuran tanah kelahirannya. Amukan merah api dan bumbung hitam pekat menggerogot habis wilayah tersebut.
Seisi dunia sekali lagi menjadi tempat yang begitu gelap. Dan keji.
KAMU SEDANG MEMBACA
Burning Escape [TXT Hueningkai]
FantasyUntuk kali pertama, aksi pencurian Phira tertangkap basah. Phira terpaksa melarikan diri sebelum penduduk Seodaliz memenggal tangannya, atau lebih fatal lagi, membongkar identitas yang gadis itu sembunyikan selama ini. Pelarian Phira menjadi kelana...