επτά

65 12 15
                                    

Hutan Hiu Lentera.

Makhluk biru yang berterbangan dan berkilauan di antara pohon-pohon membungkuk itu adalah ikan hiu lentera. 

Kakek Kurcaci bilang, ikan hiu lentera selalu bercahaya dalam kegelapan terlepas di perairan maupun di daratan. Mereka berkeliaran seperti peri-peri cantik yang memperindah hutan.

Phira menggenggam sauk jaringnya dengan kedua tangan, berniat mengayunnya demi menangkap salah satu ikan hiu lentera. Tetapi, ikan-ikan berkilau itu ternyata sangat lincah berterbangan ke sana-ke mari. Baru kali ini Phira menyaksikan sirip-sirip ikan bisa beralih fungsi menjadi sayap.

Tanpa sadar Hugan tersenyum melihat Phira yang mulai jengkel. Pendek sekali sumbu kesabaran gadis rambut perunggu itu.

"Anak-anak cantikku sedang berpesta. Lihatlah mereka. Cantik sekali, bukan?" Bola mata Kakek Kurcaci yang separuh kelabu terpantul sinar kebiruan, penuh puja. "Kalian tahu mengapa mereka bercahaya?"

"Apa karena tubuh mereka menghasilkan energi listrik? Maksudku, seperti belut listrik," Hugan membuat asumsi berdasar buku ilmiah yang pernah dibacanya.

"Tidak... Tidak serumit itu, anak muda. Lebih sederhana."

"Apa mereka menyerap cahaya matahari di siang hari?"

Kakek Kurcaci menggeleng lagi, masih terpatri senyum lembut di antara kerut wajahnya. "Sedikit... lebih sederhana lagi."

Phira menggigit gagang sauk jaringnya sebelum memanjat pohon terpendek agar lebih mudah menjangkau para ikan. Cukup ambisius dalam berburu rupanya. 

Setelah berada pada posisi cukup tinggi, Phira mendudukki pangkal batang pohon dengan hati-hati, membiarkan kakinya bergelayutan sedangkan fokusnya tak lepas dari para ikan.

"Apa karena mereka terlahir seperti itu?"

"Nah! Cerdas sekali! Kamu pasti anak paling cerdas di sekolahmu," Kakek Kurcaci bertepuk tangan semringah untuk si gadis yang bergelayut di atas pohon. Bagaimana jika beliau tahu kalau Phira sebenarnya tidak pernah menginjakan kaki ke bangunan bernama sekolah?

"Sama seperti manusia, hiu lentera juga memiliki ruh. Yah... semua yang bernapas memang memiliki ruh. Benar, bukan? Dan semua ruh pastilah memancarkan cahaya."

"Tetapi, manusia tidak memancarkan cahaya," Hugan bersedekap, mulai skeptis. "Jumlah hewan dan tumbuhan yang memancarkan cahaya juga tidak sebanyak itu, setahuku."

"Oh... Anak muda yang naif," Kakek Kurcaci terkekeh ringan kemudian menunjuk rombongan hiu lentera yang tengah berdansa dalam lingkaran buatan mereka. 

"Anak-anak cantik itu tidak terlalu tebal kulitnya, kulit mereka licin, dan amis, dan sirip-siripnya rentan sobek. Tidak seperti kita manusia. Kulit manusia itu terlapis tanah, dan air, dan garam, dan dosa-dosa lama, dan dosa-dosa baru. Tentu saja cahaya kita tertutup rapat, Nak."

Kakek Kurcaci meraup udara rakus setelah memanjangkan satu per satu jarinya. "Satu-satunya cahaya yang menembus keluar kulit kita hanyalah kebaikan. Iya, hanya itu."

Hugan terhenyak mendengar petuah sang kakek bertopi merah. Dia curiga, jangan-jangan lelaki lanjut usia itu bukan sembarang manusia. Bijaksana sekali tutur katanya. Mungkinkah beliau separuh Dewa? Tetapi, untuk apa Dewa bermukim di tengah hutan dan membudidayakan ikan hiu lentera yang menyala-nyala?

Burning Escape [TXT Hueningkai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang