εννέα

54 10 2
                                    

"Bicara apa kamu? Itu mustahil. Hentikan omong kosongmu."

Sebenarnya Phira sudah memprediksi akan menjadi seperti ini. Tidak mungkin Hugan akan mempercayai kesaksiannya mentah-mentah. Terlebih, gadis itu tidak memiliki bukti apapun di tangan dan yang menjadi tertuduh adalah sedarah Hugan.

Phira enggan menyerah, dia menyangkut pautkan tragedi pembunuhan si burung walet di Hutan Hiu Lentera. Bagaimana para ikan hiu lentera yang berkilauan cantik tiba-tiba berubah menjadi beringas hanya karena seekor burung? Peristiwa itu lebih amis dari kulit-kulit ikan bila dipikirkan kembali.

Bagaimana jika para ikan hiu lentera mengendus motif kotor Kepala Tabib yang menyamar di balik bulu-bulu burung walet, sehingga mereka langsung beramai-ramai memusnahkannya?

Bagaimana jika sejak awal Yvores memang tidak ingin Hugan menemukan mahkota tersebut?

Bagaimana jika Hugan terbunuh?

Phira hendak pergi sendiri. Apa gunanya berkelana bersama seseorang yang tak lagi mempercayainya? Buang-buang waktu saja.

Namun, Hugan masih bersikeras menahan gadis itu. Sekalipun meragukan kebenaran atas kesaksian Phira terkait botol berisi cairan hitam yang dibawa burung walet ke kamarnya, sungguh, Hugan tetap tidak rela ditinggalkan olehnya.

Pada akhirnya, Phira harus sedikit mengalah. Gadis itu mampu merasakan seberapa buncah hanya dengan memperhatikan mimik dan gerak-gerik Hugan. 

Hugan menyayangi Yvores, sama seperti Phira menyayangi Iswa. Sejujurnya, Phira pun akan menolak percaya andai seseorang tiba-tiba berpikiran buruk tentang saudarinya—meskipun di kemudian hari kebenaran pasti tersingkap jua.

Diberikanlah Hugan tenggat untuk segera meneguhkan pilihan—lari bersamanya atau tinggal bersama saudaranya. Jangan serakah, Hugan. Kamu tidak bisa menyatukan dua kepala berlawanan dalam satu ruangan.

Si bungsu dari Kastil Seodaliz setuju, akan dia renungi baik-baik dan membuat keputusan sebelum matahari terbit. Hatinya terguncang, terombang-ambing dalam ombak abu-abu yang begitu memabukkan. Hugan mengurung diri di kamarnya, menatap kosong dinding putih tulang yang terkelupas dan retak.

Apakah selain dinding-dinding ini, ikatan persaudaraan mereka juga harus retak?

Ck, memang siapa dia sampai bisa menuduh kakakku sesukanya? Hugan mulai mengalahkan sisi sentimennya yang tak berdasar.

Andaikan Yvores ingin berlaku jahat terhadapnya, mengapa tidak dilakukan sejak sekian tahun lalu? Kala mereka masih hidup di kastil bersama-sama? Menyerang Hugan bukanlah perkara sulit jika dilakukan sejak dahulu. Pasalnya, si bungsu selalu patuh kepada si sulung.

Dan, mungkin, Hugan pun tidak akan kabur jika Yvores hendak membunuhnya. Sebab Yvores selalu punya kausa yang cemerlang, dan Hugan selalu mempercayainya seperti siput yang membutuhkan cangkang.

Kemudian pemuda rambut panjang itu bangkit, mengangkat cangkir berisi air yang terletak di nakasnya.

Diamatinya aroma maupun warna, tetapi tidak tampak mencurigakan sama sekali. Maka bibir cangkirnya didekatkan untuk diteguk—

"Hugan!"

Cangkir sontak terlepas dan terpecah tanpa sempat tersesap. Hugan melempar matanya ke sekeliling dengan panik, tiada seorang pun nampak dalam tilik. Padahal dia yakin barusan mendengar suara familier meneriakkan namanya.

"... Ibu?"

Dalam penantian, Phira yang tidak bisa tenang memutuskan untuk menyusuri setiap penjuru benteng diam-diam. Berjingkat-jingkat dia agar tidak tertangkap basah oleh para pengawal. Siapa tahu ada barang—ah, tidak perlu barang—serbuk yang bisa dikantongi sebagai bukti.

Burning Escape [TXT Hueningkai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang