έξι

66 11 0
                                    


Penduduk Seodaliz Selatan yang selamat dari serangan dinamit, tetapi tidak berada di tenda evakuasi, kemungkinan besar melarikan diri ke pemukiman terdekat—pemukiman Seodaliz Utara tepatnya. Itulah mengapa Phira dan Hugan sepakat untuk menjelajahi Seodaliz Utara dalam misi menemukan Iswa.

Lusa, koloni burung walet yang bertugas sebagai juru rawat (alias tabib) di tenda evakuasi akan mulai melakukan pencarian korban jiwa. Mereka harus menunggu kadar intensitas radiasi menurun terlebih dahulu, sehingga aman untuk menyisir wilayah yang terdampak ledakan.

Kepala Tabib—yang dijumpai Hugan dan Phira di dalam tenda tadi—berjanji akan terbang mengantarkan kabar kepada mereka apabila menemukan korban yang terduga sebagai Iswa. 

Phira sungguh berharap agar tabib itu tak akan pernah datang. Sebab, jika dia datang, maka hanya mimpi buruk yang membersamainya.

"Hugan, apa kamu berteman dengan berbagai koloni burung?"

"Tidak juga. Banyak sekali hewan yang datang ke Kastil Seodaliz, meminta kursi di kerajaan. Tetapi, Yang Mulia Raja tak pernah segan untuk menolak mereka. Raja kita sungguh bijaksana," Hugan tersenyum tipis sambil menunduk, kerinduan atas mendiang ayahnya mulai bergerumul. 

Sedangkan Phira sibuk menggaruk kepala, berpikir keras.

Kenapa pula hewan-hewan meminta kursi dari kastil? Sejak kapan mereka butuh duduk? Atau jangan-jangan kursi kastil terbuat dari emas murni yang bisa dicuri?

"Kata Beliau, dalam peradaban kita, nilai moral antara hewan dan manusia tidak jauh berbeda. Sama-sama kelaparan, sama-sama kehausan, sama-sama serakah. Me-Nuhankan apapun yang membuat kita merasa puas dan kenyang. Setelah kupikirkan lagi, mungkin ada benarnya."

Angan-angan si gadis perihal meminta kursi kastil seketika lenyap. 

Serakah? Benar. Tidak diragukan lagi. Sebagai seorang yang rela melakukan apapun atas dasar penagihan hak kenikmatan dunia, Phira pikir perkataan Sang Raja cukup akurat. Jelas tidak ada makhluk yang ingin hidup kelaparan dan kehausan, bukan?

"Tetapi, kenapa tiba-tiba menanyakan itu?"

"Hanya penasaran. Kamu termasuk keturunan bangsa burung atau apa?"

Hugan tertawa lepas, melempar kepalanya ke belakang sambil memegangi perutnya, selayak bocah-bocah yang suka menertawakan lelucon awak pasar sambil mengendarai sepeda ayah mereka.

Phira menatap pemuda rambut panjang itu sedikit terlalu lamat. Gadis itu baru menyadari selisih usia mereka sepertinya tidak terpaut jauh.

Mungkin mereka bisa menjadi teman—walau Phira sebenarnya kurang paham apa dan bagaimana cara merekrut teman. Selama ini Phira hanya mempunyai Iswa sebagai rekan berbagi suka duka, begitu pun sebaliknya.

"Kamu pasti berpikir seperti itu karena melihatku bekerja sama dengan koloni burung walet. Bisa dimaklumi," mata Hugan berair akibat terlalu nikmat tertawa. 

"Sayang sekali jawabannya adalah tidak. Keluarga Kastil Seodaliz tidak terlahir dengan keistimewaan apapun. Ehm, secara konstitusional, kami hanya sekumpulan manusia bermartabat yang ingin melindungi tanah Seodaliz."

Rambut perunggu Phira bergoyang saat kepalanya mengangguk-angguk. "Jadi, kenapa kamu ingin meneruskan tahta ayahmu?"

Adalah pertanyaan yang sebenarnya telah bergaung di dalam benak hampa Hugan selama belasan tahun. Andai tidak dilahirkan sebagai bangsawan, apakah aku masih ingin menjadi seorang raja? Pertanyaan ini tak pernah luput dari pejam matanya sebelum terlelap.

Hugan mengangkat dagunya tinggi-tinggi. "Tentu saja karena aku ingin menjadi pemimpin terbaik di tanah kita. Raja yang legendaris, tak terlupakan sepanjang sejarah. Setiap tetes darahku akan kudedikasikan untuk kesejahteraan penduduk di tanah Seodaliz. Sekolah-sekolah, kebun-kebun, domba-domba, dan apapun, akan kuberikan demi kesejahteraan kalian semua."

Burning Escape [TXT Hueningkai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang