Seodaliz Utara.
Arus deras Sungai Tahir membawa dua bani Seodaliz yang sedang dalam pelarian dari hulu hingga dekat hilir. Beruntung mereka berhasil menepi ke darat sebelum terseret sampai Laut Guram, di mana Sungai Tahir bermuara. Laut Guram merupakan arena jajahan para perompak yang bengis dan kelaparan, tiada manusia yang pulang bernyawa usai kunjungan ke sana.
Rambut dan pakaian keduanya basah kuyup. Hugan bersyukur telah melepas jubahnya, jika tidak, mungkin dia akan tenggelam sejak awal mengarungi sungai.
Hugan menepuk-nepuk punggung si gadis yang masih terbatuk-batuk dan berusaha memuntahkan semua air yang tak sengaja ditelannya. "Kamu baik-baik saja?"
Gadis itu langsung menepis kasar tangan Hugan, lalu bangkit dan mengambil jarak aman dari si pemuda. Meskipun basah dan banyak sobekan, gadis itu enggan melepaskan mantel yang dikenakan. Bahaya jika wajahnya terekspos, terutama di hadapan orang asing.
"Kenapa kamu menarik tubuhku tadi? Sekarang bagaimana aku bisa kembali ke rumah?" Si gadis bertudung terdengar sangat marah dan ketakutan.
"Aku tidak punya pilihan. Rombongan yang mengejarku di jembatan tadi, kamu lihat mereka, bukan? Mereka itu sekelompok pembunuh yang sedang mengejarku," Hugan melangkah perlahan mendekati gadis itu. "Jika aku biarkan kamu di sana, mungkin mereka akan membunuhmu juga. Tanpa sebab."
Gadis itu sontak mundur semakin jauh, tetapi, bot cokelatnya malah terantuk lintangan kayu sehingga dia jatuh terduduk. Rasa takutnya semakin membengkak. "Siapa kamu?"
"Hugan," lantas satu kaki si pemuda bertumpu di atas tanah demi menyejajarkan wajahnya dengan wajah gadis bertudung itu. "Dari Kastil Seodaliz."
Andai tidak tertutup tudung mantel, kerut kecurigaan pada raut gadis itu pasti akan kentara jelas. Kastil Seodaliz katanya? Pemuda di hadapanku ini seorang putra mahkota? Hah, lucu sekali. Siapapun bisa muncul dan mengaku sebagai darah biru. Dia pikir aku akan tertipu semudah itu?
"Baiklah, Hugan dari Kastil Seodaliz," kemudian rambut perunggu berantakan gadis itu ikut menjadi salam pembuka. "Jadi, bagaimana kamu akan mengantarku kembali ke Selatan?"
Untuk sekian jenak Hugan terbungkam dalam pukau. Entah karena sudah terlalu lama semenjak terakhir sang pangeran melihat perawakan kaum hawa atau memang Phira adalah gadis yang menawan.
"Untuk sementara lebih baik kita tidak ke sana. Nyawamu akan menjadi taruhannya."
"Lalu?" Phira memilin-milin mantelnya, mengeluarkan air dari sana sampai setengah mengering. "Aku punya saudara. Dia akan merengek mencariku jika aku tidak pulang sebelum malam."
"Ah, begitu rupanya," Hugan tersenyum getir sembari melepas sepatunya, membiarkan rumput liar yang kasar bermain di kulitnya. "Meninggalkan saudara memang tidak mudah."
"Benar sekali, Tuan Muda. Itulah mengapa aku harus pulang," ada nada mengejek dalam ucapan Phira yang tampaknya Hugan tak sadari. Setelah mantel mengering, Phira mengeluarkan air dari sepatu botnya, juga menata rambutnya yang mungkin tersangkut ganggang.
"Kamu tetap akan pergi sekalipun ada bahaya yang mengancam?"
Netra Phira dan Hugan kembali bertemu. Yang satu tampak sangat heran, sedangkan yang lain tampak sangat gelisah. Si sangat gelisah memiliki luka gores panjang di sisi wajah, membuat si sangat heran sedikit kasihan. Tetapi, si sangat gelisah hanyalah seorang penipu yang tak butuh belas kasihan.
"Tentu saja. Tidak ada bahaya apapun yang boleh mengancam adikku," Phira kembali mengalungi mantelnya di pundak, hendak beranjak. Namun, ketika gadis itu berbalik, yang tersuguh di hadapannya hanya rawa-rawa remang mengerikan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Burning Escape [TXT Hueningkai]
FantasyUntuk kali pertama, aksi pencurian Phira tertangkap basah. Phira terpaksa melarikan diri sebelum penduduk Seodaliz memenggal tangannya, atau lebih fatal lagi, membongkar identitas yang gadis itu sembunyikan selama ini. Pelarian Phira menjadi kelana...